Tiba-Tiba Saya Menulis Sepenggal Puisi ini dan Tidak Tahu Mengapa Saya Harus Menceritakan Kisah ini Kepadamu

in #travel7 years ago (edited)

Di Pulau Lintang
bahasa adalah bayang-bayang
bagi peradaban yang ditelan zaman
bau tungku di perapian diterpa hawa dingin
dan harum daging babi hutan
seperti perjumpaan terakhir
yang memilukan
sebab belantara menjelma perkebunan

(RFH, April 2018)


minecraft-steve-zombies-hd-wallpaper.jpg
sumber: Wallpapersguru.com

Kalau mendengar frasa “orang rimba” atau “Suku Anak Dalam” di Jambi, kira-kira apa yang ada dalam benak kalian, guys? Orang yang tinggal di hutan belantara dan menetap di rumah kayu tanpa dinding? Atau suku pedalaman yang jauh dari peradaban modern? Eits, ternyata di jaman now tidak semua orang rimba loh masih tinggal di hutan, sebagian sudah menetap di permukiman bantuan pemerintah sebagaimana orang-orang rimba di Pulau Lintang.

Mereka yang tinggal di permukiman adalah orang rimba yang kehilangan hutan. Hidup berumah dan menetap laiknya orang modern, ternyata bukanlah mimpi buruk bagi mereka. Nah, masih penasaran dengan kisahnya? Kali ini saya akan menceritakan kisah perjalanan saya ke Pulau Lintang.

Suatu ketika, saya dan dua teman perempuan berkunjung ke Pulau Lintang untuk keperluan riset. Pulau Lintang bukanlah sebuah pulau yang berada di tengah laut, melainkan nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Dari Kota Jambi ke Pulau Lintang perjalanan ditempuh empat jam saja. Kami pun berhenti di salah satu rumah masyarakat dusun yang sangat dekat dengan permukiman orang rimba. Teman saya lalu menelpon Pak Mustafa, Jenang orang rimba Pulau Lintang. Jenang adalah penghubung antara orang rimba dan masyarakat luar.

3. Jalan Setapak menuju Pulau Lintang.jpg
sumber: dokumen pribadi

Pak Mustafa dan lelaki rimba telah menyiapkan dua motor, untuk masuk ke dalam permukiman, kami harus melalui jembatan gantung yang sempit dan melalui jalan setapak yang kiri kanannya penuh hijau dedaunan pohon karet. Saya dan teman saya pun dibonceng Pak Jenang di motor bebeknya. Kalau istilah khas Jambinya tarik tigo atau bonceng tiga, sementara teman saya yang lain dibonceng lelaki rimba.

Yang paling mendebarkan saat perjalanan menuju ke dalam permukiman, yakni melewati jembatan gantung, sebab kami harus menanjak dengan kemiringan sekitar tujuh puluh derajat. Pak Jenang melaju dengan kencang, sementara kayu-kayu jembatan mengeluarkan irama laiknya menyambut kedatangan kami.

Jantungku semakin tak beraturan menghadapinya. Sungguh pengalaman yang menegangkan. Ditambah lagi saat melintasi jalan setapak beraspal yang ada penanjakan dan penurunan yang lumayan curam. Saya yang ketika itu berada di posisi tengah tak henti-hentinya berdoa agar perjalanan kami selamat sampai tujuan.

Ya, jalan setapak menuju permukiman orang rimba Pulau Lintang telah diaspal oleh pemerintah sebab saat itu Mensos datang kunjungan ke sana. Sangat berbeda dengan jalan setapak menuju Makekal Hulu, Taman Nasional Bukit Duabelas. Jalan setapaknya belum diaspal. Bila hujan turun, jalan pun akan menjelma kubungan lumpur.

Setibanya di Pulau, kami pun turun di depan gapura yang terbuat dari batang pohon. Di atas batang pohon itu tertulis Selamat Tiba Bahagoee Orang Rimba yang artinya selamat datang di permukiman orang rimba. Sepintas, saya heran sekaligus penasaran. Terdapat sederet rumah papan bercat putih pemberian pemerintah. Kebetulan, saat itu tumenggungnya sedang tidak ada. Tumenggung adalah kepala rombong orang rimba. Ya, semacam ketua RT Guys.

1 gapura permukiman orang rimba.jpg
sumber: dokumen pribadi

Sepintas saya tidak percaya, apa benar lokasi ini dahulunya hutan belantara? Akibat ilegal loging, hutan yang dahulunya mereka tempati menjadi habis. Mau tidak mau mereka harus menghadapi persolan baru, yakni harus menghadapi masalah ekonomi dan masalah sosial yang lain, seperti berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat dusun. Mereka juga sudah memakai pakaian utuh, ini sangat berbeda dengan orang rimba yang masih berada di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.

Salah satu perempuan rimba yang akrab disapa dengan Induk mengatakan bahwa biasanya pemerintah sering memberikan bantuan berupa sembako satu kali dalam sebulan. Namun sudah tiga bulan ini, orang rimba Pulau Lintang sudah tak lagi mendapat bantuan.

“Tentu bantuan itu sangat penting bagi kami karena pekerjaan suami masih berburu babi di hutan. Babi pun sekarang sudah tidak sebanyak dulu lagi. Penghasilan utama orang rimba masih berburu babi. Penghasilan itu tidaklah cukup sebab anak-anak kami ada yang sudah bersekolah. Terkadang anak tidak mau sekolah kalau hanya diberi uang jajan Rp1.000,00 saja. Harga barang pun sudah semakin naik” ucap perempuan itu.

6.permukiman orang rimba pulau lintang.jpg
sumber: dokumen pribadi

Selain berburu babi, sebagian orang rimba juga membudi daya ikan lele dan beternak kambing, bantuan salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap orang rimba. Di saat-saat tertentu, masyarakat dusun acapkali memesan ambung dan lukah kepada orang rimba. Orang rimba sangat mahir membuatnya.

“Lumayan sekali, buat nambah penghasilan,” kata lelaki rimba yang kemudian dialihbahasakan Pak Jenang kepada saya.

rfho.jpg
sumber: dokumen pribadi

Di permukiman ini, terdapat sebuah balai yang digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus tempat berkumpulnya orang rimba. Mayoritas orang rimba di Pulau Lintang sudah beragama Kristen. Pak Mustafa mengatakan agama Kristen sudah masuk ke orang rimba sejak tahun 1970-an. Pendetanya sendiri sudah ada dari orang rimba, jadi tidak perlu lagi ke luar.

4. Balai Orang Rimba.jpg
sumber: dokumen pribadi

Pak Mustafa, lelaki berdarah Jawa, yang menjadi jenang karena panggilan jiwa. Dahulu orang tuanya juga seorang jenang. Selain di Pulau Lintang, Pak Mustafa juga seringkali ke hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Di sana ia membuka kelas buat belajar baca tulis bagi orang rimba.

Dari balai, saya melihat sebuah bangunan yang tampaknya jarang digunakan. Pak Mustafa bilang itu adalah WC yang sudah dibangun, tetapi orang rimba Pulang Lintang lebih memilih beraktivitas MCK di sungai. Menurut mereka buang air di sungai lebih nyaman daripada di ruang tertutup sebab serasa menyatu dengan alam. Walhasil, bangunan WC pun tak pernah dimanfaatkan.

rfhi.jpg
sumber: dokumen pribadi

Meski orang rimba Pulau Lintang mengatakan bahwa mereka lebih nyaman tinggal di permukiman daripada di hutan, masih ada orang rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang menganggap hutan adalah rumah dan pohon-pohon adalah saudara kandung. Mari lestarikan hutan!


Catatan: Seminggu ke depan, saya akan mengunjungi permukiman orang rimba di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Muaro Bungo Provinsi Jambi. Tepatnya sih bukan berkunjung, saya akan tinggal di permukiman bersama orang rimba. Kalau kemarin saya bersama teman-teman, besok saya harus pergi sendirian. Kesendirian terkadang hal yang menggembirakan. Sebuah petualangan yang kelak akan saya dongengkan ke anak cucu. Oh iya, Guys, di permukiman orang rimba sangat sulit menjangkau signal. Jadi, kalau saya izin tidak nge-post seminggu boleh ya! Tapi kalau saya singgah ke kota dan ketemu signal, inshaa allah saya akan buat postingan.


rfhh.jpg

Sort:  

Wah ditunggu pengalaman berikutnya. Sungguh pengalaman hidup yang luar biasa...hehe

Pertanyaannya apa mereka telah di"peradabkan" menjadi lebih beradab, dengan telah menjarakkan mereka dengan kehidupan asli mereka, ataukah mereka sebenarnya lebih beradab ketika masih hidup bersama hutan? Jujur, aku sendiri benci untuk menjawab pertanyaan ini, mulai ketika beberapa tahun lalu aku meneliti kehidupan "orang-orang Musi" atau yang sering juga disebut dengan Suku Lubu.
Makasih untuk treadnya adinda....

Beberapa tradisi banyak hilang, Bang semenjak mereka pindah ke permukiman. Kalau kata temanku orang rimba di bUkit Duabelas, "Ketika hutan yg kami anggap sbg rumah sudah hilang, maka kami bukan lagi masyarakat adat. Kami hanyalah manusia pohon karet yg tak ada bedanya dgn masyarakat modern, yg berfokus pada ekonomi keluarga." Aku miris mendengarnya.

Orang-orang Musi yang kujumpai dulu adalah mereka yang telah akrab ke darat, karena biasanya mereka hidup di pesisir Sungai Musi yang mengalir dari Rejang Lebong hingga ke Sumatera Selatan. Mereka hidup dari memburu ikan atau berang-berang. Miris melihatnya, mereka yang di darat itu berjalan sepanjang kota untuk meminta-minta. Sore hari mereka kembali gubuk mereka yang hanya beratapkan daun pisang di tepi Sungai Musi.

Iya bang. Kayaknya ga jauh beda nasibnya ama di sini. Orang rimba Jambi di jalan lintas yg jadi peminta2. Nah, semoga mereka selalu diberkati Tuhan. Meski tidak bisa menolong dgn uang, inshaa allah doanya sampai.😜

Wah petualangan yang indah

Saya sangat suka mengikuti perjalanan teteh. Ditunggu babak selanjutnya

Terima kasih babang pelukis paling keren💪😜