Menanti Maaf dari Paya Bujok Tunong (3)

in #indonesia7 years ago


Source

Sebelumnya
Lanjutan 2

Hingga 'ketika' yang kuinginkan itu hadir. Sebagai bom ia meledak dalam hariku.

"Apa yang kau mau dari aku?"

Aku tercengang. Selembar sobekan kertas lusuh yang bertulis pertanyaan darimu. Kudapati di laci meja, menggelung sebongkah batu setengah kepalan dan menindih tas kumal yang telah jenuh menjadi wadah buku selama hari sekolah pertama bermula. Meski tanpa tanda-tangan aku cukup tau bahwa engkaulah yang menuliskannya. Tulisan tanganmu cukup sohor di kelas sebab engkaulah yang menuliskan daftar piket yang sudah berbulan melekat di sebelah kiri papan-tulis kita.

Di deret pertama, baris keempat kursi sebelah kiri kelas kita, aku nyaris terpental dari bangku yang kududuki. Mataku langsung membidik tempat dudukmu usai membaca. Kau masih becakap dengan Nita yang telah 2 tahun tak terpisah denganmu di posisi itu. Aku tak sabar menanti kerlingmu ke arahku. Tatap menghunjam jantung yang sungguh ingin kurasa perih-nyerinya kini.

Detik itu tiba. Engkau menatap ke arahku, seolah tau aku akan diam terpaku dengan tatapan berhias tanya. Kau pasti tak memahami, bahwa saat itu, rasa takut juga tengah menggelungku di peluknya.

Ah... Bahasa kita, San... Bahasa tanpa kata... Lambang tanpa aksara yang menjadikan aku kecanduan ngilunya. Memahami isi pembicaraan perempuan saja sudah cukup membingungkan. Apalagi mendulang diam yang cuma memberi isyarat gerak tubuh yang tiada mudah tereja maknanya.

Kubalik kertas buram kirimanmu. Kertas lusuh yang terlalu menderita untuk disebut surat. Tinta jell di pulpen menggurat sebaris kalimat:

"Istirahat kedua, di ruang Referensi perpustakaan."

Cuma itu yang mampu kutulis membalas tantanganmu. Sebisa mungkin aku berupaya meletakkan batu berselimut surat balasanku ke tangkup jemarimu. Tak perlu upaya keras agar segenap penghuni kelas tak menyadari tindakku yang berpura meminjam kamus Bahasa Inggris John M Echols - Hasan Shadily pada Hendri yang duduk di belakangmu.

***

Menuai detik penantian bukanlah jenis panen yang mampu kunikmati. Sebelum jam pelajaran usai menuju jam istirahat kedua kuacungkan jari meminta izin meninggalkan ruang kelas. Kamar mandi sekolah selalu menjadi alasan valid saat genting begini.

Bermodal dusta atas izinku ke kamar mandi pada Bu Gusti, kukayuh langkah tergesa ke perpustakaan. Menanti kau dengan tungkai kaki meniru gerak penjahit. Norepinephrine, adrenalin, serotonin dan melatonin berpadu menjadi kwartet penyanyi yang melantunkan gelisah.

Aku jadi bimbang. Benakku makin kesal sebab saat itu, ungkapan Abraham Lincoln yang singgah ke otakku:

"Tiap orang yang menanti mungkin akan memperoleh sesuatu, tapi itu cuma sisa dari mereka yang giat."

Sebisa mungkin kuredam otak untuk tak memilih kata makian pada presiden Amerika ke-16 itu. Jarum-panjang jam di atas pintu masuk perpustakaan masih menyisakan 1 garis menit lagi sebelum menyentuh angka 12. Dan... bayang tubuhmu di ambang pintu yang menghalangi larik cahya yang masuk ke pintu, menimpa meja di hadapku.

"Kau tak sabaran..." ujarmu. Setelah seluruh penantian panjang, cuma 3 kata itu yang melintasi geligi dan bibirmu. Tak ada puji. Lebih terasa sebagai hujat menghunjami sekujur tubuhku nan berlumur gelisah.

"Ini bukan jenis penantian yang bisa kutunda. Meski mempercepat masa penantian membuatku harus menunggu lebih lama, aku siap," aku menjawab penilaianmu dengan berusaha tampak sebagai Dermawan Kata.

"Jadi?" tanyamu dengan nada menggelayuti hening ruang berlingkung buku.

"Aku tak paham pertanyaan kau, San..." jawabku, berusaha tak membalas tanya dengan tanya.

"Aku sudah menanyakan dalam surat tentang apa yang kau mau dariku," jawabmu menyerang. "Itu jawaban yang kumau dari kau," imbuhmu.

"Segala yang ada pada kau. Segala tentang kau," jawabku tak sebersitpun meragu.

"Hmmm... Kau yakin siap dengan keinginan itu?" desakmu.

"Ya," jawabku dengan sepenuh keyakinan yang kupunya.

Matamu membalas jawabku dengan tatap nakal-menantang. Aku seperti kehilangan momentum. Ada sesuatu dalam caramu menjawab saat itu. Kau begitu yakin mengukur tiap detik dengan jawaban setajam Katana tempaan Hattori Hanzo. Aku kelabakan dalam batin. Apa yang sesungguhnya sedang kau persiapkan?!

Setelah jutaan acuh yang kau tunjukkan sejak pertama kita saling mengenal di masa orientasi, hari-hari di setiap jam pelajaran yang menyiksa dengan seluruh sikap abai yang ada di jagad.

"Baik. Aku akan memberimu 6 jam waktu hidupku. Tak lebih. Minggu depan aku tinggal sendiri di rumah. Kutunggu kau. Datanglah jam 4 sore," saat gema suku kata 're' belum usai bergema di telingaku, engkau beranjak bangkit, meninggalkanku dengan selaksa tanya.

Lenggang langkahmu menuju kantin. Hasrat untuk membeli kudapan sirna oleh pertemuan semusykil makna π.

Mataku terpacak pada sampul buku bertulis The Runaway Jury. Sepertinya John Grisham cukup mampu menambah bimbangku.

Bersambung...

Sort:  

Luar biasa, katanya kaya, follow @nasir83

Terimakasih sudah singgah, Ngon...

Aku kembali ke baris paragraf pertama berkali-kali agar dapat benar-benar ku proyeksikan imagi tulisan ini secara utuh.

Bukan karna tak dapat ku gapai kata-katamu @sangdiyus, tapi karna aku terus tersesat dalam realita artifisial yang terprogram dalam ingatan, tersusun kembali kenangan yang seharusnya tlah memudar dan buyar saat sampai pada kata Bersambung...

Aku kembali ke baris paragraf pertama...