Reka Ulang Biar Tidak Sia-Sia
Akibat S2 Abdullah Menderi
Cerpen Iswandi Usman
Abdullah akhirnya terisolir. Sebab dia putoh kawat. Lantaran memperjuangkan S2. Maka dia di rantai. Ia memang telah menyerahkan S2 itu pada petugas keamanan yang berhasil menangkapnya untuk diproses melalui jalur hukum. Abdullah tertangkap tangan ketika dia sedang berpesta sabu pada suatu sore. Lalu ia masuk bui dan terkurung di sana bertahun-tahun lamanya. Abdullah memang tak memilih mati-matian mempertahankan S2, sehingga dia tak terkubur dengan barang haram itu. Walau sel isolasi baginya melebihi pengap dalam liang lahat sebagai mana pernah ia dengar dari sang penceramah di atas podium-podium akbar yang pernah ada di kampungnya tentang lahad. Karena Abdullah telah sakit jiwa, petugaspun kehabisan akal dalam pembinaan. Akhirnya Abdullah dikembalikan pada keluarganya.
Abdullah termangun di balik jeruji buloh teureuk beratapkan daun rumbia yang mulai bolong. Duduk bersandar pada dinding dan tiang bambu kumuh. Pantatnya berlapis tikar pandan yang mengusut, pemberian mendiang ibunya ketika pertama kali Abdullah di culok ke balik gubuk itu oleh keluarganya. Abdullah memandang tiap sudut ruangan, dekil. Yang ada hanya kehampaan. Yang ada hanya suasana cemong yang penuh bau. Di gaseu gubuk menempel beberapa ekor cecak yang kerab memberakinya tiap malam saat Abdullah sedang terbaring. Sarang laba-laba menjerat beberapa ekor nyamuk yang kemudian dilahap oleh penguasa sarang sampai tak bersisa. Abdullah perlahan merendahkan pandangan hingga ke sudut lantai. Kecoa berlarian keluar masuk melalui jerjak-jerjak seruas jari dengan semaunya. Berpesta-pora dengan kotoran demi kotoran yang kian menjamur di setiap celah yang ada. Atap yang bocor melembabkan suasana.
ss.jpg
Terkadang. Orang-orang yang lewat yang merasa kasihan pada Abdullah, sesekali juga menyodorkan rokok dan sedikit makanan seadanya. Walau terkadang ada juga anak-anak kecil yang lewat yang tak menyukai keberadaan Abdullah di sana sesekali juga menyodorkan geuleupak dengan melempari ke arah gubuk hingga memberantakkan dinding lapuk dan mengenai jidad Abdullah. Enak gak enak Abdullah harus mencicipinya dengan perasaan yang ada. Mungkin begitulah makanan baginya kini, tak kan mungkin seenak atau senyaman di syurga, sebagaimana yang ia bayangkan ketika pertama sekali mengenal dengan S2 yang menjanjikan segalanya hayeu, tapi itu semua hanyalah sebatas harapan dan omong kosong. Gubuk itu telah dianggapnya sebagai hotel atau apartemen untuk dihuni. Mau merokok harus menunggu sedikit belas kasih dari orang. Makan harus menunggu orang yang iba. Bahkan yang tak diharapkan sekalipun ada yang gratis untuk Abdullah. Kalau tidak geuleupak maka boh lupieng yang keras. Atau sesekali anak batu sebagai surprise dari anak-anak nakal yang meugandoe. Itu jarang ada. Sebab itu baru ada jika ada kejutan bagi Abdullah. Setahun belum tentu ada sekali, jika adapun rasanya takkan mudah hilang walau berselang berhari-hari. Keumong dhoe atau beukah bibi itu sudah pasti nyeri.
Abdullah mulai keras berpikir. 15 tahun lamanya. Akibat pikiran kerasnya itu ia menjadi semakin tidak waras. Karena ketidakwarasan itu, terkadang ada orang yang tak menyukainya semasa Abdullah belum terkena jiwa, semakin membencinya. Maka Abdullah mendapat surprise. Abdullah pernah berusaha kabur dari balik jeruji dengan membobol dinding tembok selnya. Tapi dia tak sempat lari. Karena petugas cukub berhati-hati dalam mengawasi tiap gerak-gerik tahanannya. Walau pada akhirnya petugas kehabisan akal dalam berupaya melakukan pembinaan pada Abdullah. Abdullahpun dikirim ke Rumah Sakit Jiwa. Namun pihak rumah sakit juga tak cukup ilmu untuk menangani kondisi Abdullah yang teupeh jiwa. Yang pada akhirnya bermuara juga ke dalam gubuk kecil, buatan keluarganya.
Dengan kedua tangan dan kaki yang terantai. Abdullah masih berusaha memberontak dan menentang apa saja. Suara rantai yang meugrik-grik selalu saja berbunyi tiap kali Abdullah bergerak.
“ Akulah Abdullah. Nich Abdullah.” Berkata sambil membusungkan dada dan menepuk-nepuknya. Semua yang mendengar tak mengerti, yang menatapnya pun tak memahami, tapi juga seolah tak perduli. Abdullah terus membusung-busungkan dada dan menepuk-nepuknya berulang-ulang.
“ S2....” Sesekali Abdullah berteriak-teriak cukup keras dengan suara yang serak.
“ Pap Ma jih S2....” Ucapan-ucapan begitulah yang sering terdengar tiap kali melewati rumah tua itu, yang disampingnya ada gubuk kecil seperti kandang ayam. Di dalam gubuk kecil itulah Abdullah di nok sepanjang hayat hidupnya. Di dalam gubuk kecil itupulah Abdullah makan, kencing dan berak. Dulu, semasa ibunya masih hidup. Abdullah selalu di sodorkan makanan dan air. Tetapi, semenjak ibunya meninggal. Abdullah sering meminum air kencing dan memakan beraknya sendiri. Sesekali ia juga menangkap kecoa dan katak yang menyusup ke dalam gubuknya. Merobeknya, lalu memakannya, kemudian berak dan makan lagi. Jika ada burung merpati, ayam atau bebek tetangga yang masuk ke dalam gubuknya dan berhasil ia tangkap, itupun lumat dilahapnya hidup-hidup. Sedangkan bulu-bulu ayam dan bulu bebek ataupun bulu merpati ia simpan ke dalam celana dalamnya. Entah untuk apa.
“ S2....”
“ Pap Ma jih S2....”
Tentunya kau juga terharu mendengar cerita ini bukan? Kau pasti jijik saat membaca beberapa kalimat di dalam cerita yang kau anggap ( ok ) ini. Tapi, itu tak seberapa. Kuharap, tak seorangpun yang mencaci-maki jika saja kuceritakan sedikit lagi persoalan Abdullah dan kondisi Abdullah selanjutnya.
Pernah kucoba menjenguk Abdullah lewat lubang buluh rajut dinding gubuk kumuh itu dengan perasaan iba. Itupun hanya sekali dapat kulakukan. Tentunya aku harus memakai masker karena baunya. Aku kasihan melihat keadaan pria kerempeng itu dengan rambut acak dan panjang, kumis dan brewokan yang tebal. Janggut sudah menggapai dadanya. Pria itu tak lagi berbaju. Celana jeansnya telah koyak-koyak dan warnanya tak dapat lagi kupastikan berwarna apa. Penuh tanah. Sekujur tubuhnya mirip Teuleungdong. Tapi maaf kawan. Persoalan Teuleungdong itu tak dapat kujelaskan. Sebab aku juga hanya mendengar dari cerita-cerita angker yang dituturkan orang tua-tua kampung sambil mencari kutu di kepala cucu-cucu mereka. Mungkin sekedar untuk menakut-nakuti anak-anak yang sedang menangis supaya mau cepat diam. Atau apalah?
Kulihat pria itu seperti mencambak-cambak rambutnya. Lalu memakan sesuatu yang ia dapat dari sana. Darah mengalir melewati bulu jambang dan brewoknya. Greupeng raphuek yang sudah bernanah yang ia cakar dengan kuku-kuku panjangnya itu ia cemil dengan lahapnya. Klok kude. Menggaruk kurap dan glum di sekujur tubuh rawannya itu dengan tanpa ada sedikitpun rasa lagi.
“ Griik. Grik.” Suara rantai itu terdengar cukup keras, ketika pria itu spontan bangkit dan menatap tajam ke arah mataku yang sedang mengintipnya. Ia melotot ke lubang tempat mataku menempel. Sorot mata itu seperti kosong. Bagai tanpa ada harapan apa-apa lagi.
“ S2....”
“ Pap Ma jih S2....”
Kemudian. Pria itu duduk kembali. Sejenak. Pria itu melirik kembali ke arahku. Perlahan tubuhnya memiring. Lalu rebah di atas tanah dalam keadaan terkulai tak berdaya. Kamudian. Jiwanya yang sakit itupun semakin bertambah parah. Ia pun tertidur pulas. Dia telah mati.
Nah. Terlalu pendekkan cerita ini? Kau pasti akan berkata demikian. Tapi kawan. Sesungguhnya cerita ini sangatlah panjang, namun sengaja kupersingkat, karena aku sudah terlalu mengantuk. Sekali lagi aku minta maaf. Tokohnya terpaksa harus kubunuh agar cepat mati dan aku bisa cepat mengakhiri cerita ini. Sebab malam telah jam 3.
Iswandi Usman lahir di Matang Panyang Kecamatan Seunuddon Aceh Utara, 5 Februari 1981. Sehari-hari bekerja sebagai Guru PNS pada SD Negeri 8 Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.