Catatan Akhir Tahun 2019

in #writing5 years ago


Gak kerasa ya kita udah berada di penghujung tahun. Biasanya di akhir tahun kaya gini di tv banyak yang bikin liputan mendatangi orang pintar untuk tahu ramalan di tahun depan. Seringnya sih yang minta diramalkan soal bencana, pernikahan artis, atau hal-hal yang bikin orang selalu waspada. Walau suatu ramalan itu masih dianggap subyektif, tapi tetep aja banyak orang yang mempercayainya bahwa ramalan itu sudah pasti terjadi. Tapi itu kembali lagi ke personal masing-masing ya, kalo aku sih simpel selama itu baik ya diaminin tapi kalo itu sebaliknya ya dilupain hehe..

Karena judulnya catatan akhir tahun, jadi dalam postingan kali ini aku hanya ingin sharing tentang insight-insight selama satu tahun ini. Aku tidak akan berbicara soal check list target yang sudah tercapai, enggak sama sekali. Karena dari beberapa tahun belakangan ini aku gak pernah bikin check list-check list yang kek begituan karena aku menyadari fokus pada proses lebih penting daripada fokus pada checklist.

Di tahun ini banyak sekali tema besar dalam hidup yang berkaitan dengan pentingnya bersikap. Bersikap berasal dari kata dasar sikap, yang berarti berpendirian. Biasanya orang yang berada di area krisis itu banyak banget dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan memilih. Sebenernya aku tidak berada di fase quarter life crisis, bukan. Tapi lebih pada berada di fase menentukan arah langkah dari suatu kondisi yang telah diyakini.

Resign Kerja

Meyakini sesuatu itu butuh pengujian. Karena yakin saja nggak cukup bagiku kalau tanpa adanya pembuktian. Begitu pula dengan ranah profesi. Semenjak dua tahun belakangan ini aku berprofesi sebagai psikolog. Karena tergolong masih psikolog muda maka hampir segala case aku terima, termasuk dengan case-case yang berkaitan dengan kekerasan. Tentu semenjak kuliah aku sudah punya kepeminatan khusus yaitu ke arah seksual, namun aku merasa untuk bisa mencapai bentuk tersebut aku perlu ada beberapa pengalaman yaitu masih memiliki irisan untuk memperluas sudut pandang.

Tentu saja bagi fresh grade seneng banget bisa langsung dapet kerjaan tanpa harus melalui tahap seleksi yang rumit. Dua bulan semenjak lulus aku menempati suatu posisi sebagai psikolog di suatu lembaga layanan yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak. Walau deg-degan akan menemui kasus yang seperti apa, namun aku semangat karena akan mendapati hal baru yang akan aku pelajari. Selama hampir satu tahun bekerja aku tak hanya belajar soal menangani kasus-kasus kekerasan, namun juga aku banyak belajar soal ilmu dasar apa akar kekerasan dan mengapa akar tersebut sulit untuk dicabut. Proses belajar yang sebenarnya banyak aku alami saat menghadiri forum-forum diskusi berat yang tak jarang bikin pusing. Karena bagiku belajar suatu landasan filosofis itu lebih berat. Ujian demi ujian dalam berproses aku lewati, hingga satu titik ada suatu pertanyaan dalam hati yang sering membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan soal tidak nyaman dengan pekerjaan, tapi lebih pada ada hal yang bertolak belakang dengan prinsip hidupku selama ini. Dengan pertimbangan yang cukup lama, hingga akhirnya aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan yang selama ini banyak memberikan pelajaran.

Memulai Kembali

Setelah memutuskan resign tentu saja aku perlu menata kembali hidupku. Sebelumnya hampir setiap hari waktuku habis untuk pekerjaan. Namun setelah resign otomatis aku yang mengatur waktuku sendiri. Sebelum aku bekerja di lembaga tersebut sebenarnya aku sedang merintis suatu layanan konsultasi psikologi. Namun karena waktu habis di pekerjaan, maka layanan konsultasi pribadi hanya aku layani tiap weekend. Sehingga aku memulai lagi untuk keliling atau istilahnya babat alas untuk bertemu banyak orang dan mengisi forum di beberapa tempat dan memberikan layanan konseling secara cuma-cuma bagi yang membutuhkan. Hitung-hitung promosi sih. Tentu dalam beberapa bulan di awal bisnisku belum settle, tapi aku tetap menjalani karena ini bagian dari pilihan yang perlu dipertanggung jawabkan. Hingga pada satu titik aku kenikmatan tersendiri ketika mengisi forum-forum diskusi di komunitas-komunitas. Mengapa aku suka, karena bisa mendapatkan banyak sudut pandang dari berbagai sisi. Bertemu orang dalam forum diskusi itu berbeda dengan bertemu orang ketika di seminar. Diskusi memberikanku ruang dialog dua arah sehingga bisa sangat membantu nutrisi otak. Soal branding atau menjadi dikenal itu aku jadikan bonus.

Menemukan Bentuk

Dalam proses setahun yang aku jalani ini tentu saja tidak semulus yang terlihat. Banyak suka duka yang aku lewati, bahkan rasa insecure juga sering muncul. Namun disitulah nikmatnya berproses. Kita tahu ke mana akan melangkah, namun diperjalannya kita akan menemui kejutan-kejutan yang seakan membuat kita harus membuat pilihan mau lanjut atau tidak. Dan pada fase inilah aku mulai menyadari bahwa untuk mendapatkan suatu bentuk kita perlu belajar menerima. Kata orang jawan "nrimo sek.." yah bisa dibilang jangan melawan. Arti kata melawan itu bukan soal memberontak, tapi lebih pada melihat sesuatu dari sisi sulitnya dulu daripada sisi peluangnya. Dengan belajar menerima dulu secara tidak langsung kita belajar untuk siap menghadapi apapun yang akan terjadi, baik atau buruk sekalipun.

Aku percaya setiap fase kehidupan seseorang itu pasti akan mengalami konflik. Baik itu bayi, anak-anak, remaja, dewasa atau yang sudah tua. Tapi kembali lagi, namanya konflik itu harus dihadapi bukan dihindari. Semakin kita berusaha mengindari suatu konflik, maka saja kita sedang menumpuk konflik dalam diri kita sendiri. Mungkin bukan sekarang kita akan menghadapi situasi penuh konflik, tapi bisa jadi nanti.

Selamat tahun baru 2020, semoga tahun depan kita semakin dewasa dalam berproses.


Posted from my blog with SteemPress : http://celotehyori.com/catatan-akhir-tahun-2019/