Belajar Arti dan Makna Kata – Pendahuluan
Sudah bisa menulis dan membaca bukan berarti kemudian pasti benar paham semua apa yang sudah ditulis dan dibaca, lho! Sangat diperlukan sekali kerendahan hati untuk belajar, membuka mata hati, membuka lebar telinga, dan memiliki wawasan luas yang terbuka untuk bisa benar mengerti arti dan makna kata, apalagi yang ditulis oleh orang lain. Setiap orang terutama yang sudah memiliki karakter dan jati diri yang kuat di dalam menulis, memiliki pilihan kata dan cara menguraikannya masing-masing dan ini yang seringkali membuat orang “SALAH BACA dan GAGAL PAHAM”.
Setiap tulisan itu seperti cap jempol yang juga menunjukkan karakter, cara berpikir, latar belakang, pola pikir, kepribadian, bahkan juga emosi setiap penulisnya, dan jika tidak dibaca juga dengan keadaan yang stabil dan tenang, maka makin susah dan sulit lagi untuk mampu mengerti dan paham tulisan yang dibaca. Oleh karena itulah, orang dulu tidak main-main dalam belajar membaca dan menulis, apalagi yang berhubungan dengan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan, serta seni. Orang dulu sampai mau tirakat dan puasa agar mampu benar paham dan mengerti. Bagaimana orang "jaman now"?!
Membaca dan berdiskusi tentang tulisan per kata dan kalimat yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, seperti di foto ini, sangat membantu untuk bisa lebih mengerti dan paham isi tulisan Pram, bukan hanya terpesona dengan tulisannya semata. Satu minggu satu paragraf, meski berbulan-bulan tetapi asyik banget!
Pengalaman "salah dibaca dan gagal dipahami" sudah sering harus saya hadapi apalagi ketika saya sering menulis dengan subjek “Seks” walau objeknya adalah “anugerah terindah yang diberikan Allah untuk dihormati dan dihargai”. Banyak yang salah berpikir, apalagi yang sudah porno duluan, karena kata “seks” yang ada dalam benak sudah menjadi objek dari “porno, tabu, kotor, dan dosa”. Kalau sudah demikian, maka akan sangat sulit sekali mengubah “mindset” yang sudah tertanam ini, tulisan tentang kritik politik dan sosial yang ditulis dengan menggunakan “seks” sebagai subjek pun jadi dipandang hanya sesuai dengan mindset kepornoan, ketabuan, kekotoran, dan dosa yang ada di kepala itu. Padahal, jika saja berpikir lebih jauh, mana mungkin seorang Gus Shalah yang jelas ulama besar Indonesia dan adik Gus Dur itu mau meluncurkun buku “Wahai Pemimpin Bangsa!!! Belajar Dari Seks, Dong!!!”. Sudah keburu negatif duluan, apalagi jika hanya membaca separuh-separuh dan mencari sepenggal-sepenggal dari internet, di mana ada tulisan tentang Ratu Seks Indonesia, yang kalau tulisan yang dibuat oleh seorang dokter itu pun dibaca, maka akan malu hati sendiri. Ayo siapa yang pikirannya porno dan kotor?! Hahaha....
Tentunya menemukan karakter, cara menulis, dan kepribadian dalam menulis itu butuh sekali proses. Untuk menulis sama seperti orang lain itu memang tidak masalah, tetapi alangkah baiknya memiliki jati diri, baik dalam pemilihan kata dan cara menulisnya. Inilah yang akan sangat membantu juga agar seorang penulis tetap bisa mempertahankan originalitasnya di dalam menulis. Meskipun berbeda, tetapi itulah yang membuat seorang penulis bisa bertahan lama menulis. Biarpun bentuk tulisan berbeda-beda, apa yang ditulis juga beragam, tapi selalu ada ciri khas, sehingga meski tanpa nama pun, bagi yang sudah paham akan tahu persis siapa penulisnya dan tujuan dari penulis tersebut. Toh, penulis sejati tidak akan pernah ribut soal upvote dan reward, apalagi rebutan panggung, yang penting sudah mampu mengeluarkan pemikiran dan isi hatinya, maka sudah menjadi penulis yang paling merdeka dan bahagia.
Di tahun 2010, saya pernah menulis sebuah artikel di Aceh Institute, berjudul “Antara Nietzsche dan Hasan Tiro”, yang juga kemudian saya re-publish di blog saya di Kompasiana. Tulisan tersebut saya buat untuk memberikan gambaran bagaimana Nietzche dan Hasan Tiro, yang sama-sama cerdas banget dan memiliki persamaan di dalam cara berpikir, hanya saja pemilihan kata dan cara menulisnya yang berbeda walau sama-sama satir dan sangat berani menjadi diri sendiri.
Contohnya: ”Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang”, kata Hasan Tiro. Sementara kata Nietzche, “”Adalah di sini bahwa jalan-jalan yang diikuti manusia terpecah. Apakah Anda ingin jiwa yang damai dan kebahagiaan?! Maka percayalah. Apakah Anda mengabdi kebenaran dengan lebih baik? Maka carilah kebenaran itu.” Kalau tidak dipikirkan baik-baik kedua kalimat di atas, dan benar mengerti serta paham arti dan maknanya, bisa salah kaprah, dan kembali lagi pada pemikiran mereka berdua tentang “Manusia tidak berkebudayaan” dalam istilah Nietzche dan “Yang telah kehilangan diri” menurut Hasan Tiro. Sedangkan istilah saya sendiri adalah “manusia penonton”, yang malas berpikir dan mencari kebenaran itu sebenar-benarnya, sehingga mudah sekali akhirnya dipermainkan oleh politik hermeuneutika bahasa. Jadilah kepala pentul korek api yang mudah dibakar dan kepala bola sepak yang keras tapi kosong isinya dan senang ditendang-tendang. Rugi, kan?!
Bersama Abu Doto sebelum beliau menjadi Gubernur Aceh untuk bincang-bincang dan tukar cerita tentang Hasan Tiro. Dari beliaulah saya mendapatkan cerita bagaimana seorang Hasan Tiro itu sangat serius sekali membaca dan apalagi menulis, tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Tulisan Hasan Tiro sangat kuat karakternya, mencari tahu lebih banyak dari orang terdekat dan sekitarnya, sungguh membantu untuk belajar lebih mengerti isi tulisan beliau.
“Makanya saya sepakat sekali dengan Hasan Tiro yang berkata, “Yang gabuk-gabuk cok si-hah yang bagah-bagah cok si-deupa”, - jika terburu-buru melakukan segala sesuatunya hanya mendapatkan hasil yang kecil. Tidak mudah untuk berusaha mencapai cita-cita dan keinginan. Dibutuhkan keinginan kuat melawan diri sendiri untuk bisa meraihnya karena semua ada proses yang harus dilewati.” “Antara Nietzsche dan Hasan Tiro” (https://www.kompasiana.com/mariskalubis/antara-nietzsche-dan-hasan-tiro_54fd501aa33311cb1550fa94).
Itu hanya contoh saja betapa kita amat sangat penting sekali memaknai dan mengerti setiap kata, kalimat, dan tulisan berdasarkan tekstual, kontekstual, yang tersurat dan tersirat. Apaan, tuh?! Apa yang dimaksud dengan tekstual? Kontekstual? Tersurat?! Tersirat?! Ini dia nih kenapa “Iqra” itu menjadi sangat penting dalam ajaran Islam. Sebab jika gagal paham dan mengerti, hanya membaca begitu saja, walaupun fasih, maka bisa berakibat fatal sekali. Tentunya bukan berarti hanya membaca saja buruk, itu sudah baik, tetapi alangkah indahnya dan baiknya bila juga benar paham dan mengerti. Oleh karena itu jugalah yang namanya rendah hati, bersih hati dan pikiran, tulus, ikhlas, sabar, dan jujur itu juga selalu ditekankan dalam semua ajaran agama. Yang rugi bukan orang lain, tapi diri sendiri! Mempermalukan diri sendiri karena gagal paham dan salah baca, pakai tambahan keras kepala pula, nggak ada untungnya sama sekali!!!
Nah, ini baru pendahuluan, posting selanjutnya saya akan menulis trik bagaimana kita bisa mengerti dan paham kata. Sekarang, sih, siapkan saja satu buku tebal untuk membuat sebuah kamus kata pribadi dan juga sebuah buku untuk coret-coret. Biar kita semua bebas dari pembodohan dan kebodohan, serta benar bisa maju melangkah ke depan! Sabar yah! Sabar itu pangkal kaya hati dan jiwa baik di dunia dan akhirat!!!
Bandung, 2 Maret 2018
Salam hangat selalu,
Mariska Lubis
My name is khan
I'm SRK
hahaha huda hudu...
Hahaha.
Tadi mau komen serius, Teh, eh baca komen pertama dari si ketua pasukan huda hudu, udh ilang apa yg mau saya tuliskan tadi. Halah!
hahaha kakak...
Pendahuluan ditiap kalimat dalam kata, memang harus di cermati, agar si pembaca memahami arti dari tulisan itu. Mksh sudah mengajar kita semua.
BUkan hanya pendahuluan, tetapi isi dan akhir juga wajib dimengerti...
Tgk. Hasan Muhammad Di Tiro sebenarnya telah memberikan sebuah contoh yang seharusnya di ikuti oleh mereka yang mengaku bermazhab Tiroisme atau simpatisannya; menulis. Betapa pada tahun-tahun awal gerilya, setiap harinya bila sedang tidak memberikan kuliah kepada para anggota GAM, beliau menghabiskan waktu berkutat dengan mesin tik untuk menulis. Sejarah itu harus dicatat, by date, sedetil-detilnya, begitu pesan beliau. Tapi sayang sekali, budaya literasi seolah terabaikan oleh para penganut mazhab tiroisme.
Bukan hanya menulisnya saja yang patut diikuti, tetapi bagaimana beliau mampu berpikir sedemikian hebat sehingga bisa menulis dengan hebat itu pun perlu dicontoh... Sangat disayangkan memang, apalagi jikga tak ikuti saran untuk sabar dan memilih jalan damai untuk menang... Menjadi manusia yang merdeka seperti beliau itu juga yang menurut saya paling diabaikan...
Merdeka sejak dalam pikiran. Bahkan ketika banyak pasukan mendesak perjuangan bersenjata beliau tetap menolak dan mengutamakan perjuangan lewat jalur diplomasi dan politik. Hal itu yang menguatkan bargaining Atjeh Merdehka di mata internasional. Dan sayang sekali saat ini hanya sedikit yang paham landasan berfikir beliau dalam hal memerdekakan Aceh. Btw, nice post mba!
Merdeka sejak dalam pikiran. Bahkan ketika banyak pasukan mendesak perjuangan bersenjata beliau tetap menolak dan mengutamakan perjuangan lewat jalur diplomasi dan politik. Hal itu yang menguatkan bargaining Atjeh Merdehka di mata internasional. Dan sayang sekali saat ini hanya sedikit yang paham landasan berfikir beliau dalam hal memerdekakan Aceh. Btw, nice post mba!
Itulah kenapa bagi saya, beliau tidak tergantikan. Cara keras tidak akan membuat Aceh itu merdeka bahkan malah membuat jadi semakin kehilangan jati diri, dan ini sangat jauh sekali dari pemikiran beliau. Kemampuan diplomasi dan politik itu tidak bisa digapai bila terkurung dalam tempurung, butuh kemerdekaan dalam berpikir untuk bisa benar mampu berdiplomasi dan paham benar politik serta berpolitik. Percuma semua "pakaian dan polesan" yang dikenakan itu walau berteriak sedemkian lantangnya, sebab dari sanalah isi di dalam itu sebenarnya tidak utuh adanya. Sungguh saya sangat rindu sosok seperti beliau di Aceh.
"Aceh adalah sesuatu yang bisa membuatmu rindu, bahkan sebelum kau meninggalkannya" - Senja Jingga
Sepakat, membaca dan memahami itu butuh proses. Setiap kata yang dipilih oleh penulis bukan saja untuk mengantarkan makna, juga membawa pesan tertentu, bahkah sangat simbolik. Ini yang kerap tidak disadari. Kadang sebagian orang merasa tahu apa yang dituliskan, tapi tidak mengerti apa yang ingin disampaikan. Maka dalam ilmu bahasa ada yang namanya semantik, sintaksis hingga semiologi (semiotika). Saya kira para penulis perlu belajar ilmu bahasa itu. Tulisan mbak @mariska.lubis jadi pengingat untuk para penulis dan pembaca untuk mempelajari bahasa agar memahami keseluruhan dari sebuah bacaaan atau tulisan, tidak cuma makna permukaan.
Saya sepakat sekali dengan abang, kita harus belajar ilmu bahasa jika ingin menjadi penulis dan pembaca yang baik, dan tentunya butuh sekali kesabaran berproses untuk mempelajarinya. Terima kasih bang sudah memberikan tambahan penjelasan.
Suka membaca tulisan mba @mariskalubis, bahasanya ringan dan mudah di mengerti. Artinya mba termasuk orang yang tidak sombong. Terimakasih sudah berbagi.
amin, semoga bisa tidak sombong...
Setiap orang mampu menulis. Namun, apakah tulisannya memiliki makna? Jangan2 hanya sekedar tumpukan kata yang tak ada manfaatbdi dalamnya. Menulis ada berbagi, berbagi inspirasi berbagi kebaikan berbagi motivasi melalui tulisan2 y kita tulis. Namun, jika menulis sekedar menulis tanpa memperhatikan apa y hendak di sampaikan. Siap2 saja tulisannya tak bermakna. Lantas sia2 saja. Setiap penulis sudah pasti ada satu dua hal y ingin di sampaikan. Seperti y kakak sampaikan jika menulis tanpa wawasan takutnya nanti hanya sekedar tulisan y tak dapat di pahami apa y hendak di sampaikan. Bagi y membaca tulisan orang sudah barang tentu harus menggali apa isi tulisan tsb agar mengerti apa y hendak di bagi oleh penulis itu sendiri. Sukses terus untuk kakak @mariska.lubis :D
Bagus kali kak @mariska.lubis, bisa untuk bacaan belajar nie
silahkan dibaca dan dipelajari yah...
Kak @mariska.lubis tampaknya harus sering melatih cara atau daya interpretasi, agar tidak gagal baca dan sudah pasti gagal paham.
Terimakasih atas pencerahan ini
dimulai dari belajar arti dan makna kata dulu, agar nanti bisa ke sana... semoga berguna dan bermanfaat.
Inspiratif sekali, berarti kanda @mariska.lubis sudah tidak asing bagi orang aceh, karena sudah menulis tentang pemimpin pergerakan di aceh. Thanks for educate, saya tunggu kembali pengetahuan lainnya, sukses selalu kanda
Ya kalau yang suka membaca dari lama, mungkin sudah pernah membaca tulisan saya untuk Aceh dan di Aceh di mana-mana...
Wow berarti saat ini saya sedang berkomentar langsung dengan penulis tersohor nasional, maklum saya lupa untuk membuka wawasan lainnya selain bidang disiplin ilmu saya, kalau sejarah aceh saya baru membaca Aceh sepanjang abadby muhammad said dan tulisan hasan tiro sendiri atjeh meurdeka... Trm kasih [email protected]
Bener kak. Kadang, hanya dengan judul, banyak diantara kita yang langsung memutus bagaikan seorang hakim. Dia menyatakan kita salah. Meskipun dia sudah membaca berulang kali tulisan kita. Karena sudah mengatakan salah. Maka perdebatan dilanjutkan berkali-kali. Semoga kakak sabar dan terus mengajari kami yang haus akan ilmu dsri kakak.
Memang tidak mudah sebenarnya membaca dengan baik dan benar, apalagi mengerti... Sabar itu wajib! hehehe... ;)