Kampus Etnis(ku)
Kampus Etnis(ku)
Ilustrasi oleh mediaparahyangan.com
Ingin memimpin karena dipercaya. Ingin bergerak karena panggilan jiwa. Tapi tak bisa. Kau perempuan, kau beda agama.
Di kampusku hidup lebih dari sejuta jiwa dalam balutan mahasiswa. Asal dari daerah berbeda-beda untuk satu tujuan yaitu BELAJAR, katanya. Dengan latar belakang “kampus perjuangan”, kampusku memiliki daya tarik sendiri pada setiap mahasiswa yang meminati belajar di kampus ini. Sudah sepatutnya mahasiswa di kampusku mempunyai jiwa militansi baja saat di butuhkan, dan bersifat rendah-rendahnya pada sesama manusia lainnya. Karena pada dasarnya manusia itu makhluk sosial dan disiplin ilmu kami juga fokus pada sosial.
Di kampusku, kami “harusnya” belajar banyak arti perbedaan. Tidak memaksakan kehendak dalam mengambil keputusan serta merumuskan keputusan bersama bukan sepihak. Namun yang terjadi sebaliknya. Miris memang, tapi ini faktanya.
Sudah menjadi adat dikampusku untuk memilih ketua angkatan untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin bagi angkatannya. Hal ini di musyawarahkan oleh angkatan itu sendiri tanpa campur tangan mahasiswa angkatan atas, semuanya di rumuskan secara KEKELUARGAAN, katanya. Semua berbanding terbalik dengan apa aturan seharusnya, tatkala arti kekeluargaan itu luntur ketika yang terpilih menjadi ketua angkatan itu, perempuan dan beda agama. “Bagaimana menurutmu?” Tanya teman saya. Saya berfikir sejenak ketika teman saya memintai pendapat perihal itu. saya pun balik bertanya detail alurnya bagaimana agar dapat memahami cerita lebih lanjut. Setelah menyeduh kopi hitam pancung biasa, cerita di lanjutkan dengan,- teman-teman di angkatan tersebut memilih seorang perempuan yang di yakini oleh mereka mampu untuk memimpin karena kedekatan secara emosional dan di anggap lebih peduli terhadap teman-teman yang lain (notabene pemilih perempuan ini adalah perempuan dan sebagian laki-laki). Namun, pihak laki-laki tidak sepakat dengan pernyataan tersebut,- tidak sepakat bukan dalam hal ketangkasannya dalam memimpin tapi karena alasan dia perempuan dan non-muslim. Bahkan, mereka (laki-laki) mengatakan kalau pemimpin di Aceh harus islam dan tidak boleh perempuan meski ilmu dan wawasan mereka menyamai atau melebihi laki-laki. Ku seduh kembali kopi, “ada sisi benar dan salah dari keputusan tersebut, tergantung dari perspektif mana yang digunakan, menurutku.”
Saya kira jika kita melihat dari perspektif agama itu sudah benar di lakukan, setau saya dalam islam perempuan hanya boleh memimpin sesame perempuan dan itu dalam kelompok atau cakupan lebih kecil. Dan memang jelas dalam islam bahwa ummat islam tidak boleh memilih memimpin yang beragama non-islam. Tapi jika di tinjau dari segi etika dan moral, saya rasa tidak arif mengatakan hal seperti itu kepada mereka yang beragama non-muslim dan di depan khalayak sekalipun mereka menyebutnya KELUARGA. Luntur rasa kekeluargaan itu tadi ketika statement kita memecah belah seperti itu, toh saya pikir ketua angkatan itu bukan hal yang besar, itu juga termasuk dalam kelompok kecil. Tapi yang ingin saya tegaskan adalah, semua mahasiswa disini adalah “PEMBELAJAR” dan pembelajar yang sedang “BELAJAR” seharusnya bisa membedakan saat situasi seperti apa harus bersikap apa, bukan langsung nge-gass saja atau asai ka iteubit ka bereh. Begitu kira-kira ungkapan yang cocok jika di Aceh-kan.
Banyak hal yang sama-sama harus di pelajari oleh seorang pembelajar, termasuk saya. Saya mengatakan itu bukan karena saya menganggap yang saya katakana benar, tapi karena proses belajar saya akan tau ketika saya salah akan di kritik dan itu “WAJAR”. Disini kembali saya utarakan apa yang tersirat dari hati saya. Semata-mata hanya gundah serta resah melihat perkembangan mahasiswa-mahasiswa di negeri syari’at ini. ini adalah untaian kata-kata menurut saya, bagaimana menurut anda?. Jawablah dan renungi dengan hati dan pola pikir anda sendiri. Wallahu’alam bishawab.
12;09 -12-19-2017
Folback