KOTA TIKUS

in #writing7 years ago

Karya: Divin Nahb

457bde180271f7f476fbf6a84dc07acf.jpg
Para tikus berkumpul via theaustralian.com.au

Bukan hanya dua kaki yang digunakannya untuk berjalan, kedua tangannya pun ikut membantu. Dia meliukkan tubuh dan membuat bagian perutnya yang membuncit bergoyang. Bulu-bulu hitam yang menggumpali kulitnya menyesuaikan gerak, mengumbar bau tengik yang menyengat. Dan matanya masih sama, merah nyalang hendak menelan malam.

Sepanjang tempat itu, suasana sepi. Dengusan kesalnya begitu terdengar di telinganya yang lancip. Dia kelaparan. Hidungnya mulai mengendus tajam, mencari letak aroma mengenyangkan. Dia mampu menangkap aroma itu, dan lekas menceburkan diri ke dalamnya. Tumpukan sampah. Dia berpesta dan menikmati makanannya sendiri, rakus. Ekornya menegang, mulutnya semakin moncong, dan kumis-kumisnya seolah memanjang, saat dia mendengar banyak kaki dari arah berlainan menuju tempatnya.

Itu mereka. Seperti dia. Tikus-tikus hitam yang kelaparan. Satu-persatu mengerubungi sampah-sampah yang berserakan. Tanpa permisi, mereka pun ikut berpesta pora melahap makanan basi, menjilati lendir-lendir yang seumpama kuah kental aduhai dari restoran mahal yang dibayar dengan kartu gesekan. Tubuh mereka yang sudah bau tengik semakin menjadi baunya, hanya dalam hitungan detik. Gelimang harta bagi mereka, adalah gelimang sampah di malam bercahaya bulan bulat di langit kelam.


Jam 12 malam, dia telah berdiri di depan gerbang yang terbuka lebar. Dengan ditemani bayangnya, dia melangkah. Di punggungnya menempel tas ransel yang digamblok. Ada sesuatu yang sengaja dibawanya, titipan kekasihnya sebelum tunduk di bawah ketiak orang lain yang bergairah. Kekasih yang menjadi mantan hati, bahkan mantan keyakinan yang sempat dijunjung tinggi. Seperti pecandu, mantannya meninggalkan pijakan yang sempat membuatnya kagum dan luluh. Tentang penyelamatan sisa-sisa kebaikan.

Dan malam ini, dia ada di sepanjang jalan kota sepi. Kota yang pernah diceritakan padanya memiliki berbagai macam penduduk. Segala jenis wajah pasti akan ditemui di kota ini. Bahkan, orang-orang di luar kota ini memberikan nama hebat. Yaitu kota Makmur. Kata mereka, kota ini memang pantas disebut seperti itu karena penduduknya hidup rukun, damai, jujur, dan adil. Tidak ada satu masalah pun yang tidak bisa diselesaikan warga setempat.

Hakim, pejabat, pengusaha, polisi, dokter, guru, pedagang, ibu rumah tangga, dan lainnya merasa kerasan tinggal di sana. Mereka mengajarkan anak-anak bagaimana menjalani kehidupan dengan baik. Bagaimana bertahan dan menyelesaikan sebuah masalah yang ada di depan mata. Hingga, anak-anak paham di mana letak kebenaran dan kesalahan. Lantas, anak-anak pun mulai membaur. Bukan hanya di kota itu, melainkan di kota-kota lain.

Sesuatu yang salah pun mulai mereka hadapi. Kota di luar kota mereka, kacau. Kebenaran dan kesalahan menjadi pegangan aneh bagi orang-orang. Mereka memandang jika orang-orang itu tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan sebenarnya. Sesuatu yang seharusnya dilakukan untuk bertahan hidup, malah dihindari. Demikian juga dengan sesuatu yang seharusnya dibungkam, malah dikatakan. Hah, kehidupan apa itu?!

Anak-anak itu berontak. Mereka tidak ingin norma yang telah diterapkan pada mereka tidak memiliki arti di kota-kota selain kota mereka. Anak-anak itu merasuk ke jiwa anak-anak kota yang tengah mereka datangi. Bisikan demi bisikan menggerayangi naluri hingga kesadaran penuh tercapai. Semua anak bersatu membentuk gerakan ‘bertahan hidup’. Gerakan yang menitikberatkan pada kebenaran dan kesalahan yang telah diterapkan di kota Makmur.

Sayangnya, apa yang mereka lakukan dikecam habis-habisan. Tegas, bahkan dengan sebuah ancaman. Orang-orang di luar kota Makmur memiliki konsep kebenaran dan kesalahan yang jauh berbeda dengan mereka.

“Siapa yang mengajarkan kalian seperti ini?!”

“Mengajarkan apa?!” suara lantang satu anak kota Makmur menyorot tajam kedua mata laki-laki separuh baya di hadapannya.

“Rendahkan suaramu, anak muda!! Tak diajarkankah kau sopan dan santun?!”

“Aku bisa sangat sopan dan santun jika kau tahu apa itu kebenaran, kesalahan, dan bagaimana caranya bertahan hidup. Jika tidak, untuk apa aku bicara panjang lebar denganmu, bapak tua?!”

“Bah!! Persetan kau!! Siapa yang membuat kau seperti ini?!”

“Kota yang kalian katakan kota Makmur!!”


Anak-anak kota Makmur diarak warga menuju kota mereka. Seperti gerombolan tersangka, mereka dijatuhkan tepat di atas tanah orang tua mereka berdiri. Saling tuding pun pecah dalam situasi memanas saat itu, karena tak ada satupun warga kota ingin disalahkan atas tindak tanduk anak-anak mereka di kota lain. Tanpa disadari, warga kota terjebak dalam adegan salah-salahan. Semua yang tersembunyi meledak. Orang-orang tak lagi mengatakan kota itu sebagai kota Makmur. Namun, lebih dari itu orang-orang menyalahkan atas apa yang mereka lakukan.

Lalu tiba-tiba, mulut-mulut warga kota mengeluarkan asap hitam. Tercium bau busuk dari dalamnya. Bau tak sedap yang menggapai dan menjelajahi udara. Warga kota berseteru sengit, sementara orang-orang luar kota mereka menepi karena tak tahan bau mulut mereka. Orang-orang itu menutup hidung, agar bau yang terpendam dan membusuk di perut warga kota tak membuat muntah, bahkan mati. Tapi, berkat bau itu, orang-orang itu mengetahui kebenaran yang diyakini warga kota.

Bahwa, mereka hidup dalam kebusukan. Perut mereka membesar bukan karena makmur, melainkan karena menyimpan segudang kebohongan. Telah menggumpal, semakin hari semakin membesar dan menghitam pekat. Hari itu, gumpalan itu pecah dan keluar dari mulut mereka sendiri. Asap hitam bau busuk itu membuat mereka saling menunjuk wajah satu sama lain, membuka rahasia yang selama ini dikunci rapat.

Hakim bisa disuap para terdakwah yang jelas bersalah. Pejabat atas meloloskan usaha para pengusaha, asal uang sogokannya mampu membuat mata hampir melocot copot. Pejabat bawah meminta bayaran tambahan untuk sekadar pembuatan KTP. Polisi menyodorkan tangannya diam-diam, saat warga ada yang terkena tilang. Dokter tidak tergerak saat si miskin membutuhkan pertolongan. Guru mencatut uang yang seharusnya diperuntukkan bagi murid tak mampu. Pedagang memainkan timbangan. Ibu rumah tangga memakan uang arisan ibu-ibu lainnya.

Lalu, anak-anak mereka mengerutkan dahi, bingung dengan kejanggalan itu. Tapi, bukannya sebuah pelurusan yang didapat, mereka malah menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan adalah pelajaran bertahan hidup. Bertahan dari kekalahan licik warga yang mereka hadapi. Balasannya adalah berbuat licik kembali. Anak-anak diajarkan agar bisa menghindari masalah dengan kebohongan. Tidak mengatakan kebenaran jika dengan itu akan mendudukkan mereka di kursi pesakitan.

Mendengar racauan mereka, orang-orang kota lain tercengang dan pergi meninggalkan kebusukan kota dan warganya. Hingga, hari-hari mulai menggulung minggu, kebusukan mulut mereka terbawa angin dan tercium sampai ke kota-kota lain. Orang-orang yang hidup demi kebaikan, keadilan, dan perjuangan geram bukan main. Satu di antara mereka adalah man tan kekasihnya.

Laki-laki yang diingatnya telah tunduk di bawah pesona perempuan—seperti budak pada tuan, dikenalnya dulu adalah seorang pemberani yang bicaranya lantang. Dengan kata-kata yang keluar bagai peluru yang siap menembus dada. Bersama dengan lainnya, laki-laki itu ikut menghujani mereka hingga wajah mengelupas malu. Mereka tidak tahan dan diam-diam meninggalkan kota, tanpa jejak.


Dia bisa mencium aroma malam yang bersetubuh dengan bau tengik tikus-tikus hitam. Tepat di depan dirinya berdiri, sampah berserakan dan tikus-tikus itu serempak menatapnya. Mereka marah karena merasa akan disingkirkan dari pesta yang tengah berlangsung. Sebab itulah, dia mundur perlahan mencari jalan lain. Menghindari tikus-tikus yang bukan menjadi tujuannya.

Hanya menemukan sisa kebaikan di kota ini yang menjadi tujuannya. Kebaikan yang lahir bersama dengan kelahiran bayi-bayi selepas kota ini dibabat kerahasiaannya. Bayi-bayi suci yang belum terjamah kerusakan moral mereka, yang meracik dusta hingga menjadi racun mematikan, yang akan berkembang semakin besar di perut kelak, jika tidak dihentikan. Dan kedatangannya, tentu untuk menyelamatkan bayi-bayi itu yang entah berada di ujung mana, di kota ini.

Dia pun hendak melanjutkan langkah mundurnya, tapi tiba-tiba semua terhenti. Tikus-tikus di hadapannya entah mengapa seolah diperintahkan pemiliknya untuk membalik arah menuju satu tempat. Angin malam yang menggigit sama sekali tidak menghalanginya untuk menguntit gerombolan tikus berbulu hitam. Meski dengan itu, dia harus ditampar bau tengik yang semakin malam semakin menyengat bulu-bulu hidungnya.

Seolah tidak peduli, dia melangkah maju, melewati rumah-rumah yang dilalui segerombolan tikus itu. Rumah tak berpenghuni yang merenta seperti manula di panti jompo. Cat-cat dinding terkelupas dengan beberapa bagian ditempeli lumut-lumut. Beberapa atap copot bergelantungan. Kayu-kayu kusen dimakan rayap. Dan pintu ngablak lebar.

Hingga di belakang rumah-rumah tua, gerombolan tikus menghilang. Langkahnya memburu jejak mereka. Lalu, dia berhenti dan terpaku di sekitar bukit. Matanya menelan pemandangan paling menjijikan. Ribuan tikus berbulu hitam menyergap tulang-tulang manusia yang berserakan. Tasnya jatuh dan menyembulkan sedikit kain putih dari dalamnya, kain yang hendak digunakan untuk menyelimuti bayi-bayi yang ingin dia selamatkan.

Namun, matanya tidak menangkap kehidupan. Kecuali tikus-tikus berbulu hitam yang masyuk menjilati tulang-tulang manusia. Manusia-manusia itu telah menjelma tikus dan menghuni kota. Kota Tikus. ***

Tangerang, Oktober 2010

Sort:  

Sip, mbak Divin. Terus menulis. Jangan berhenti.