Apakah Kita Harus Terus Menulis?
Menulis membuatku seperti hidup kembali. Itulah motto yang saya gaungkan di blog kebanggaan saya -- setidaknya karena pernah juara blog sekali dan isinya juga paling banyak dibanding blog lainnya, di samping indeks DA dan PA yang sedikit menyenangkan hati untuk dilihat. Sayangnya, sudah sekian lama tak mengudara lagi.
Apakah kita harus terus menulis?
Saya rasa, semua penulis pernah mengalami hambatan dalam menulis. Menemukan motivasi menulis saat pikiran terasa buntu dapat dilakukan dengan banyak cara. Melakukan hal-hal positif yang disukai, misalnya berkebun, bersepeda, atau sekedar menikmati pemandangan asri di lingkungan sekitar. Mendengarkan alunan musik atau menikmati novel kesukaan, sekedar menyegarkan kembali pikiran. Minum kopi atau camilan kecil juga dapat membantu. Pendeknya, semua hambatan (blocking) itu mesti dinikmati dengan cerdas agar dapat membuahkan hasil. Syukur-syukur, bisa menghasilkan ide-ide baru.
Kenapa kita harus terus menulis?
Orang-orang besar terus mengembangkan diri dan pemikirannya dengan membaca, berdiskusi dan menulis. Ketiga aktivitas ini merupakan satu kesatuan yang membantu mengembangkan pemikiran mereka. "Aku berpikir maka aku ada" demikian sebuah ungkapan filosofi Yunani yang amat terkenal itu.
Lewat tulisannya, kita bisa membaca pikiran orang-orang besar. Tentu, tulisan yang dimaksud adalah tulisan yang mengedepankan logika berpikir dan referensi yang jelas. Kalau bahasa Arab-nya "hujjah" yang kuat. Abdullah Gymnastiar, seorang ulama pengusaha yang dikenal dengan konsep "Manajemen Qalbu"-nya memberi tips mengukur informasi (yang dapat disajikan dalam bentuk tulisan tentunya) yaitu BAL: benar; akurat; dan lengkap.
Saya tak banyak membaca. Bagaimana saya harus menulis?
Membaca, berdiskusi, berkontemplasi dan melakukan perjalanan-perjalanan dapat menjadi bahan bakar bagi tulisan kita. Para penulis profesional mewajibkan diri mereka sendiri (dalam istilah bahasa Arab disebut "dawam"--mendawamkan) kegiatan menulis sebagai suatu rutinitas. Dengan sendirinya, kegiatan "mencari input" termasuk hal-hal yang sudah disebutkan tadi, turut menjadi kebiasaan para penulis tersebut.
Meskipun dapat saja kita menulis dengan mengabaikan prinsip-prinsip tulisan yang berbobot, namun dengan sendirinya tulisan kita tidak akan berkembang. Bahan tulisan sebagus apapun, tanpa kualitas hanya akan menjadi remah-remah literasi yang bahkan tidak bernilai. Sebaliknya, obrolan opini warung kopi pun, jika dikemas dengan menarik dan memiliki bobot gizi yang tinggi dapat bermanfaat bagi para pembacanya, sekurang-kurangnya, dapat membuka wawasan dan menginspirasi.
Menulis dapat menjadi "senjata" untuk mewujudkan kebaikan. Melalui menulis, kita dapat mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan ilmu pengetahuan. Melalui tulisan, kita dapat menyebarkan pesan perdamaian. Melalui tulisan, kita dapat mempromosikan program-program bermanfaat bagi masyarakat dalam mendorong kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Tulisan dapat menjadi pendorong untuk merealisasikan kebaikan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan dapat pula dimanfaatkan untuk menyebarkan kebohongan, kebencian, pemahaman-pemahaman yang merusak sendi masyarakat dan nilai-nilai yang kita hargai bersama, peperangan, dan sebagainya.
Dengan menulis, ibaratnya kita menggambar dunia yang ingin kita wujudkan. Kita dapat membagikan sudut pandang yang kita gunakan dalam mengukur suatu masalah. Kita juga bisa menarik umpan balik dari saran dan komentar audiens. Belajar membuka diri untuk menerima akan selalu ada hal-hal yang belum sempurna, karena ketidaksempurnaan adalah akrab dengan kealpaan kita selalu insan makhluk dari sang Maha Sempurna.
Semoga semakin hari, semakin cinta kita dengan aktivitas menulis.
Demikian sekedar renungan akhir pekan. Selamat berakhir pekan. Tetap sehat, tetap semangat, supaya kita bisa terus jalan-jalan dan makan-makan bersama wisata kuliner. (Intermezzo, hehe).