Tima Situek
SABTU 11 Agustus 2018, saya berkesempatan pergi ke Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Banda Aceh.
Sebagai warga Banda Aceh, saya tergolong telat hadir melihat kemeriahan PKA kali ini, jika dibandingkan dengan orang lain dari Gampong yang jauh.
Mobil pickup berjubel penumpang emak-emak dan anak-anak adalah ciri khas yang mewarnai kemeriahan pesta rakyat teraebut.
Macet, inilah alasan utama saya agak malas ke acara-acara seperti ini. Jika anak saya tak merengek minta pergi ke PKA, mungkin tak luluh juga hati ini untuk merasakan meriahnya hajatan ini.
"Abi, yuk kita pergi ke KPK, di KPK banyak jajanan," kata anak ketiga saya yang masih kecil.
Berita di televisi tentang korupsi telah menguasai memori anak saya, hingga tertukar antara PKA dan KPK. Hah!
Tiba di arena PKA sore lepas Ashar, suasana penuh sesak. Cari parkir harus memutar, jalan kaki lumayan jauh. Sesak berdesakan, aroma parfum macam ragam. Ada juga bau keringat khas dari baju para pengunjung. Komplit lah!
Jalanan masuk terganggu dengan para penjual dadakan yang tak tertib. Menggelar seenaknya barang jualan mereka. Sesekali satpol PP, polisi, dan bahkan Tentara terlihat memarahi pedagang nakal itu.
Kondisi tersebut terlihat sampai ke arena utama di dalam kompleks Taman Ratu Safiatuddin. Pemandangan ini, rutin terjadi jika PKA digelar, belum ada solusi jitu mengatasi pedagang nakal ini.
Mampir di Anjungan Aceh Besar, kebetulan sedang berlangsung acara intat Linto, antar pengantin laki-laki, khas Aceh Besar.
Pertunjukan semapa, balas pantun antara rombongan pengantin laki-laki dan keluarga pengantin perempuan di depan Rumah Adat Aceh Rayeuk, menjadi tontonan menarik pengunjung sore itu.
Di anjungan Aceh Rayeuk, saya mengenalkan peralatan atau perkakas zaman yang biasa dipakai masyarakat zaman dahulu, sebagian masih digunakan di era modern ini.
Ada Tima Situek (timba upih pinang) alat penampung air tradisional zaman dahulu. Orang tua zaman memakai alat ini untuk menampung air.
Saya kenalkan Tima Situek kepada anak-anak yang tidak pernah melihat ini sebelumnya. Ada juga Jengki, alat penumbuk padi, Bubee, paruek, broek leusong Batee dan lain sebagainya.
Tima Situek, agak menyita perhatian saya. Teringat kepada satu tulisan T Lembong Misbah tentang kemarahan seorang nenek yang tali timba Tima Situeknya ditukar dengan alat modern dari kota.
Bergeser ke Anjungan Aceh Selatan, ada pala dan replika naga. Di sana banyak orang berfoto ria, keluar masuk rumah adat melihat beragam macam produk dan hasil olah budaya orang Aceh Selatan.
Sore kemarin, agak sempit waktu. Berjejal orang cukup menghambat laju jalan kaki saya, akhirnya hanya sempat menikmati budaya kawasan Barat Selatan mulai dari Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya, Meulaboh, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Subulussalam.
Aroma kopi tabalik, kopi terbalik khas Aceh Barat menghentikan saya. Tidak jauh dari panggung utama, sajian kopi terbalik khas Meulaboh tuntas saya nikmati hingga jelang azan Maghrib tiba.
Pemuda pelajar Aceh Barat, Ipelmabar yang terlihat mengelola dapur kopi ini di samping Anjungan Aceh Barat.
Tima Situek dan Kopi Tabalik, terbalik. Itu yang sempat dinikmati di PKA kali ini. Sisanya ke kawasan Aceh pesisir yang belum tersambangi mulai dari Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara dan Aceh Timur yang juga menyuguhkan ragam budaya dan hasil alamnya.
Maghrib di masjid Al Makmur, Lampriek, penuh sesak. Di dalam arena juga ada mushalla-mushalla kecil, tapi kewalahan menampung jamaah.
Azan berkumandang, semakin ramai orang masuk ke arena, pusat informasi mengumumkan semua aktivitas dihentikan saat Maghrib, tapi suara itu berlalu. Orang semakin padat, merayap jelang malam tiba.
Diresteem ke 7735 follower yaa.. Apakah kita sudah mengklaim airdrop dari Byteball?. (Ini bagian dari kontribusi kami sebagai witness pada komunitas Steemit Indonesia.)