Gajah Yang Hilang di Depan Mata
Lampu merah perempatan Bank Indonesia (BI) Kota Lhokseumawe dengan paksa menghentikan semua kenderaan yang melintas, para pemilik SIM (surat izin mengemudi) yang sadar aturan langsung parkir teratur sebelum garis Zebra Cross dan menunggu lampu hijau menyala pertanda kenderaan boleh berjalan kembali, walaupun beberapa sepeda motor ada juga yang menerobos, mungkin mereka belum bisa membedakan warna merah dan hijau atau barang kali mengalami gangguan buta warna.
Aku terjebak di lampu merah ini sekitar jam 12.00 siang, waktu puncak saat matahari menunjukan keperkasaannya, angka di Timer petunjuk waktu yang di pasang pada Traffic Light terasa begitu lambat berganti, lima detik berlalu hawa panas mulai terasa menampar-nampar wajah dan menyengat kulit, ubun-ubun seakan mendidih bahkan helm yang kupakaipun tak mampu merendam panas.
Rasa tidak nyaman ini membuat ransel yang kusandang semakin berat, padahal isinya hanya proposal permohonan bantuan untuk dana pendidikan anak-anak rentan penyalahgunaan narkoba yang belum jelas mau ditunjukan kepada siapa.
Sejak enam bulan terakhir kami memang sedang menggalang dana untuk menjamin keberlanjutan pendidikan anak-anak kurang mampu yang rentan menyalahgunakan narkoba atau anak-anak para pengedar kelas teri dengan tujuan memutuskan mata rantai peredaran narkoba yang telah di warisi selama empat keturunan di desa kami, sebuah desa di kota Lhokseumawe Aceh yang terlanjur mendapat stigma sebagai “kampung Begal dan Narkoba”.
Banyak orang di kota ini bahkan mungkin juga di seluruh dunia sepakat menghakimi pelaku pencurian, rampok, jambret, pemakai narkoba juga pengedar sebagai orang jahat dan tak pantas di kasihani. Pandangan ini tak bisa disalahkan, karena perbuatan itu jelas melanggar hukum, bertentangan dengan norma sosial dan nilai agama selain itu juga merugikan orang lain.
source
Awalnya juga aku sama seperti banyak orang, ikut menghakimi mereka sebagai penjahat, sampai suatu hari Nyak Gam, seorang bocah yang menyadarkanku untuk lebih bijak menilai.
“Kenapa tidak sekolah , ini kan bukan hari libur?” aku menegurnya dengan nada kasar
“Tidak ada ongkos bang ! sarapan aja belum ! gak sempat mikir sekolah” jawabnya ketus.
Dekgam baru naik kelas tiga SMP mereka empat bersaudara, kakaknya yang tertua sudah menikah dan punya dua anak suaminya pengangguran untuk memenuhi kebutuhan hidup terpaksa jual narkoba sekedar bisa beli beras dan jajan anak yang sudah kelas dua SD, abang yang nomor tiga sekarang di penjara karena ditangkap dua bulan lalu dalam kasus narkoba, Nyak Gam anak keempat, yang bungsu adiknya sudah kelas enam SD, ibunya buruh cuci yang dibayar 150 ribu perbulan, sedangkan ayahnya tidak bekerja dan sedikit mengalami gangguan jiwa. Selama ini biaya hidup di rumah Nyak Gam di tanggung Rahim anak kedua yang menggantung hidup dari narkoba, pekerjaan ini diwarisi dari ayahnya yang sekarang kurang waras.
Keluarga Nyak Gam tinggal di rumah berkonstruksi kayu ukuran empat kali empat meter persegi kama tidur untuk ibu dan ayahnya hanya disekat triplek. Kalau Nyak Gam ngantuk tinggal pilih tempat tersisa atau tidur dirumah teman.
“Bang Rahim ditangkap polisi bang ! sejak dia masuk penjara udah gak ada yang kasih jajan dan ongkos ke sekolah” ucap Nyak Gam datar.
Rahim di ringkus polisi dua minggu lalu, sejak itu asap dapur di rumah Nyak Gam tak lagi mengepul, ia sedih karena ibunya juga mau ke medan cari kerja, upah dari mencucui tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup apalagi untuk keperluan sekolah.
“Bang Rahim pasti kecewa kalau tau Nyak Gam tidak sekolah, dia pesan Nyak Gam harus sekolah tinggi, setinggi-tingginya, rajin ngaji jadi orang berguna, jadi orang sukses, jangan jual narkoba, bisa bantu keluarga, tapi sekarang kayaknya gak mungkin lagi bang… makan aja susah apalagi sekolah, kalo mak jadi pergi siapa yang jaga kami? Sudah tiga hari tidak ada makanan di rumah”
Masya Allah… aku tersentak, Nyak Gam dan keluarganya harus kelaparan dan terancam putus sekolah karena mesin uang di rumahnya macet, aku mulai berpikir betapa zalimnya orang-orang yang menghakimi Rahim sebagai orang jahat karena di mata keluarganya Rahim adalah pahlawan.
Kemana para Hakim kehidupan saat Nyak Gam dan keluarganya terancam lapar dan putus sekolah? Derita mereka tak ada yang peduli dia seakan hidup sendiri dalam keramaian, kemana orang-orang yang menghakimi abang Rahim sebagai orang jahat?
Aku mencoba berganti peran sejenak menjadi Nyak Gam, merasakan lapar dan membayangkan masa depan yang suram, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali melanjutkan kerja Rahim menjual Narkoba karena itu pekerjaan yang paling mudah walapun beresiko tinggi, jika ini dibiarkan masyarakat terutama para Hakim kehidupan sedang menanti kelahiran pengedar baru maka mata rantai kejahatan ini tidak akan pernah putus.
“Kamu harus tetap sekolah Bangong ! abang akan bantu, selesaikan SMP nanti SMA masuk ke pesantren terpadu, ada sekolah dan ada ngajinya, mondok disana tidak perlu tidur di ruang tamu lagi, mau?” Aku coba memberi semangat.
“Mau bang… “ jawab Nyak Gam.
Oke, mulai besok ongkos ke sekolah abang yang tanggung,
“Makasih bang”….. ujar Nyak Gam dengan wajah yang mulai cerah.
Inilah awal kelahiran Program Beasiswa Muda Meuripee yang disingkat “B-daMe” sebuah kata dalam Bahasa Aceh yang bermakna memberi kedamaian.
Meuripee dalam Bahasa Indonesia artinya patungan atau saling mengumpulkan uang. Beberapa pemuda yang peduli pada kehidupan sosial dan berkeinginan kuat untuk menghapus Stigma “kampung Begal dan Narkoba” sepakat untuk berjuang bersama untuk memutus mata rantai kriminal di desa kami. Setiap bulan mereka iuran seikhlasnya agar anak-anak yang senasib dengan Nyak Gam bisa melanjutkan Pendidikan dan mendapat penguatan spiritual.
Nyak Gam dan puluhan anak-anak yang lain yang senasib harus masuk pesantren dan dibiayai secara gratis, harapannya suatu saat kelak mereka akan memiliki pemahaman ilmu agama dan menguasai bahasa Arab dan Inggris agar berpeluang melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sehingga peluang merubah nasib dengan cara yang sehat akan lebih terbuka. Sekarang sudah ada tiga orang yang mondok di Pesantren, tahun depan tujuh orang sudah dalam daftar antri.
Anak-anak ini akan menempuh pendidikan paling cepat tiga tahun sementara setiap bulan biaya yang dibutuhkan sebesar satu juta rupiah perorang, jika hanya mengandalkan infak pemuda dananya tidak akan cukup karena itu kami memutuskan untuk ekspansi keluar mencari dana dengan harapan ada dermawan yang tersisa di kota ini yang juga bersedia menjadi donator atau orang tua asuh mereka.
“Permisi Bang….” Suara lembut seorang mahasiswi beralmamater hijau membuyarkan lamunanku.
“Mohon partisipasinya, kami sedang sedang menggalang dana untuk saudara kita etnis Rohingya “ lanjut mahasiswi itu sambil menyodorkan kotak yang bertuliskan mahasiswa peduli Rohingya.
source
Menghargai jerih mahasiswi ini yang rela panas-panasan demi membantu Etnis muslim Rohingnya yang terzalimi di Myanmar, uang lima ribu di saku celana langsung berpindah tempat kedalam kotak sumbangan.
“Makasih bang” ucap mahasiswi itu sambil menabur senyuman tipis yang sedikit meredam panas.
Memang kepedulian masyarakat Aceh terhadap muslim Rohingya sangat tinggi, hampir seantero masayarakat dan mhasiswa bergerak mengumpulkan sumbangan untuk mengurangi derita muslim Rohingya yang sedang mengalami kejahatan kemanusiaan, diperkirakan mungkin setiap hari puluhan juta rupiah terkumpul.
source
Tak dapat dipungkiri setiap hari ada muslim Rohingya meregang nyawa di bantai di tanah kelahirannya dan Islam terancam punah di tanah Rakhine, terpaksa meninggalkan tanah airnya untuk menyelamatkan iman dan nyawa tak terhitung juga yang mati dalam pelarian karena kelaparan, “sangat layak di bantu !”.
Pantas saja lampu merah simpang Bank Indonesia selalui dengan relawan yang menenteng kotak sumbangan bertuliskan “ Peduli Rohingya”. Hari ini mahasiswa, seminggu sebelumnya ada kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang juga berpanas-panasan demi membela para Rakhine yang sedang mengalami kejahatan kemanusiaan, di minggu yang sama aku juga melihat mahasiswa dari kelompok lainnya di Simpang Empat Bireun sekitar lima puluh kilometer dari Lhokseumawe.
Ancaman kemusnahan Islam, rasa solidaritas sesama muslim atau kejahatan di luar batas kemanusian yang menyebar di Media massa dan media social mungkin mendorong sebagian masyarakat untuk ikut andil menyelamatkan kepunahan manusia disana.
Sayangnya tidak banyak yang tahu, di Indonesia khususnya di Aceh juga sedang terjadi pemusnahan dan pembodohan manusia secara perlahan dan sistematis oleh Narkoba (narkotika dan obat-obatan terlanrang) bahkan menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) setiap hari ada lima puluh orang mati karena narkoba.
Di Aceh barang haram ini sudah mulai masuk pelosok desa, menghancurkan akal sehat generasi dan perlahan mereka mulai meninggalkan kehidupan islami walaupun status agamanya tetap islam, kriminal meningkat tajam, kualitas sumberdaya daya manusia turun pada titik terlemah. Anehnya masyarakat hanya berdiam diri dan hanya menggerutu tanpa peran apapun untuk melakukan pencegahan.
Jika pembiaran oleh masyarakat ini berlanjut, aku membayangkan menara seribu masjid di Aceh dan gelar serambi Mekkah hanya akan menjadi simbol kebanggaan atau kenangan seperti kita mengenang kejayaan Andalusia di masa lalu.
Panas semakin menusuk ubun-ubun, mataku mulai remang.. tiba-tiba aku melihat tulisan di kotak sumbangan yang dibawa mahasiswi tadi berubaha menjadi “ Aceh Darurat Narkoba ! Ayo selamatkan generasi bangsa !”
Alhamdulillah ! pasti anak-anak asuhan B-daMe akan belajar di pesantren dengan lancer mereka akan menjadi generasi yang kuat dan menjadi penyelamat menara seribu masjid dan menjaga serambi Mekkah, para pengedar kelas teri akan bisa dilatih ketrampilan mendapatkan dukungan modal untuk wirausaha, masa depan Aceh akan cemerlang…..
Woiiii….. jalan ! suara keras dari belakang menyentakku dari lamunan, ternyata lampu sudah berganti hijau sementara aku masih diam ditempat, motor segera ku pacu.. di arah kanan sepintas terlihat mahasiswi tadi sudah menyingkir ke pinggir jalan dan masih menebar senyum kesejukan.
Tapi kotak sumbangan di tangannya ternyata masih tertulis “ Peduli Rohingya” bukan “ Aceh Darurat Narkoba ! Ayo selamatkan generasi Bangsa! Ah…. Aku ternyata menghayal….
Mungkin mereka terlalu dekat dengan masalah sehingga tak terlihat mata, sementara nun jauh disana akan terang benderang karena terjangkau teropong media… entahlah.
salam
@zulsyarif
Sangat bermanfaat, izin share aduen beuh.
Lanjut .....
Sering trjadi d Kota kota
Di East Silver City Kiban ketua?
Postingan yg luar biasa bg
Mantapp !!!
Sudah kami upvote yah
Sejak enam bulan terakhir kami memang sedang menggalang dana untuk menjamin keberlanjutan pendidikan anak-anak kurang mampu yang rentan menyalahgunakan narkoba atau anak-anak para pengedar kelas teri dengan tujuan memutuskan mata rantai peredaran narkoba yang telah di warisi selama empat keturunan di desa kami, sebuah desa di kota Lhokseumawe Aceh yang terlanjur mendapat stigma sebagai “kampung Begal dan Narkoba”.
Kalimat itu yang mestinya menjadi acuan kita semua dalam aplikasi pengabdian terhadap agama dan bangsa. Semoga pemerintah, dermawan, dan pemangku kepentingan mampu menindaklanjuti program ini. Salut untuk abangda @zulsyarif.
Kedua pendapat tersebut ada benarnya, tergantung sudut pandang masing2.
Tp tdk bisa dipungkiri, jk suatu daerah banyak terjadi penyalahgunaan narkoba mk daerah tsb relatif tdk aman, sering terjadi pencurian. Narkoba musuh bersama, harus dibasmi. Pengedar kelas kakap hrs dihukum berat, pecandu hrs direhap. Penyalahgunaan jg terjadi krn ikatan sosial sdh rapuh, nafsi2, tdk peduli sama lingkungan.
Narkoba, itulah punca awal dek gam putus sekolah, karena ayahnya sebagai tulang punggung keluarga kini sudah menjadi tuleung gasin yang menjadi beban keluarga, dan itu karna narkoba yang menjadikannya tidak waras lagi. Semoga saja nasib dek gam menjadi lebih baik dan bermartabat berguna untuk bangsa dan agama. Aaamiin...
sangat menarik...
follow back