Dagang Candu

in #story7 years ago (edited)

image

Konon, di satu pemukiman yang terseok-seok usai konflik, sempat timbul utopia di pikiran masyarakatnya. Sebut saja di paruh akhir tahun 1984 di sebuah pemukiman di Timur Jauh.

Tahun itu (1984) saya kutip dari judul novel George Orwell. Pria ini pintar menyatir sosial dan politik masa otoritarian di Soviet, sebelum porak-poranda. Saya harap anda pernah membaca 'Animal Farm', satu karya monumental Orwell yang bercerita tentang tingkah babi yang menyerap moralitas manusia. Tak apalah, lain waktu kita bicarakan bagian ini.

Dalam tatanan utopis yang melenggang liar menuju distopia di tahun 1984 tadi, terbelah lah dua kubu. Pentolan dari masing-masing kubu itu, sebut saja namanya Toni Aspoedoen dan Kojak Marboemi. Keduanya punya nama alias, disapa Jakar dan Pentung, sehari-harinya. Entah si sakit mana yang menjuluki mereka seperti itu.

Tumbuh di rentang masa-masa kelam, baik Pentung dan Jakar membaur dalam masyarakat yang tengah dijangkit distopis --lintasan masa depan yang suram. Krisis sembako, sempitnya lapangan kerja, perampokan rawan, padat penduduk, got-got sepanjang jalan yang bau, sampah memadat dan genangan air yang penuh sarang nyamuk.

Preman-preman bergerak leluasa atas komando dua pentolan itu. Mereka berdagang candu dengan serampang. Bertakhta di pojok-pojok pasar, jalanan, sekolah, rumah bordil, sampai ke loji peribadatan. Mereka bahkan punya meja resmi di teras-teras kantor birokrat.

Candu yang dijual sembarang itu, bukan candu biasa. Selain fisik, mereka juga menyasar pikiran dan perasaan orang-orang. Untuk membuai badan, mereka menyorong alat isap pada umumnya. Tapi untuk candu perasaan, ada satu kenikmatan, namanya 'keghoiban'.

Si Jakar dikenal sebagai kepala kelompok Pecinta Langit, sedang Pentung jadi ketua di divisi agitasi kelompok Pemuja Bumi. Mulanya, mereka berasal dari satu moyang, darah yang sama merah, organ yang sama jumlah.

Perpecahan bermula karena berebut potensi air saat kemarau. Janjinya pada warga, air akan diminum sama-sama. Syaratnya, masing-masing sub-mukim harus pilih pemimpin untuk mengatur penyalurannya.

Didapuklah Jakar dan Pentung. Mereka bikin tim, untuk permudah urusan, semacam kabinet. Dan mereka tempati hirarki masing-masing kelompok, semau mereka.

Entah sial darimana, singkatnya, lantaran sulit dapat air, mereka memancang batas pelan-pelan. Lama-lama mereka malah saling rebutan wilayah air yang debitnya dimana-mana ada, tapi dimana-mana juga banal.

Lantaran ribut dingin ini, keduanya menjauhi dialektika, disempil untuk menyandingkan hitam putih dalam warna-warna, tak lagi memikir rakyat.

Yang menyamakan mereka, adalah keduanya banting setir sejak jadi pentolan, dari petani ke pedagang candu. Karena bagi mereka, candu bisa mengunci otak orang agar tenang dibuai khayalan. Dengan demikian, cukup mereka yang berseteru, sementara warga dibuat teler.

"Candu membentuk peradaban, peradaban yang 'terkendali'," kata Kojak dalam satu malam yang memabukkan. Candu bikin warga bisa diatur, dipantik, dan dilepas liar jika perlu.

Mungkin kapan-kapan kita bicarakan rusuhnya seperti apa. Sampai disini dulu, foto yang saya selipkan barangkali terkesan kurang nyambung dengan cerita. Kendati, bacaan di potongan majalah itulah yang bikin saya memunculkan postingan ini.

Ide, seakan mengendap. Ia pecah ke beberapa bagian sebagai sisa ingatan terhadap apa yang dibaca dan ditafsirkan. Selembar halaman buku, cuplikan artikel yang dibaca tadi pagi, baliho yang tegak di seberang lampu lalu lintas, mural di tembok pinggir jalan, ocehan penyiar di radio, semua hanya lalu sekian saja.

Hingga apa yang keluar dari semua medium tadi menciptakan sebuah tema yang beririsan satu sama lain. Mereka seperti kompak menyuarakan satu frasa. Parahnya, entah kenapa hari ini yang keluar adalah Semaraknya Dagang Candu.

Lagipula, berhubung prinsip 'interpretasikanlah sesuatu sebelum itu suatu saat dipersoalkan' masih melekat di kepala, maka keindahan bersteemit ria jadi wadah saya untuk berimaji liar, menghubung-kaitkan istilah candu, air, keghoiban, rusuh, dan barbarisme yang belakangan menyasar orang-orang. Seraya membiarkan kebingungan menjalar kemana-mana, karena candu membuat semua tindakan kerap membingungkan lagi tak bernalar..

*Foto: potongan majalah Tempo edisi 19 Februari 2018