Tantangan Memperlakukan Anak sebagai Raja, Tawanan dan Sahabat

in #steempress5 years ago (edited)

Tantangan Memperlakukan Anak sebagai Raja, Tawanan dan Sahabat


 

“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” (Sayyidina Ali bin abi Thalib RA.)


 

Tantangan bagi orang tua dalam mendidik anak di era sekarang begitu kompleks. Meski orang tua terhadap anak sendiri, tidak menutup kemungkinan akan ada pengaduan balik seperti halnya sudah banyak pengadu akibat didikan guru yang tidak diterima murid dan atau orang tua wali muridnya.

Saya dan suami sadar, jika mendidik anak kandung, apalagi anak didik (baik di sekolah maupun mengaji di rumah) yang notabene adalah anak orang lain, jaman sekarang ini sangat besar tantangan serta dampaknya.

Kami sadar jika sebagai orang tua atau guru/ustadz untuk mendidik anak bukan hanya melalui sudut pandang pribadi seperti orang tua kita dalam medidik kita dulu. Karena kami tahu kita juga dituntut untuk memperhatikan perkembangan zaman agar anak kita mampu bersaing serta mampu memaksimalkan potensi mereka sepenuhnya sesuai dengan perkembangan zaman.


Sejak awal, suami selalu mengingatkan saya kalau sebaiknya kita mengikuti Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dalam mendidik dan mengajar anak-anak. Dimana menurut Sayyidina Ali, pengelompokan dalam mendidik anak terbagi dalam tiga tahap. Perlakukan anak sebagai raja, perlakukan anak sebagai tawanan dan perlakukan anak sebagai sahabat.

1. Perlakukan anak sebagai raja (usia 0-7 tahun)


Bukan berarti orang tua menjadikan anak sebagai raja, menuruti semua keinginannya, tetapi orang tua memberikan perhatian penuh kepada anak. Pada usia 0-7 tahun anak sedang mengalami masa emas.

Semampu mungkin rawat anak dengan tangan kita sendiri. Perhatian sekecil apapun tapi tulus dari lubuk hati pasti akan membekas pada ingatan mereka.

Guru mengaji saya pernah bilang, saat anak memanggil, segeralah jawab dan hampiri. Sesibuk apapun usahakan utamakan anak. Insyaallah kelak anak akan langsung menjawab dan menghampiri kita juga kalau kita memanggilnya.

Masih banyak hal kecil lain yang kita lakukan akan berdampak sangat baik bagi perkembangan perilaku anak. Sebagai orang tua atau guru, senantiasa sekuat tenaga untuk menyenangkan hati anak (bukan memanjakannya) yang belum berusia tujuh tahun, insya Allah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, perhatian dan bertanggung jawab.

Intinya pada masa golden age, anak belajar dari sikap kita kepadanya. Dan jujur jadi contoh yang baik itu tantangan sangat berat lho.

 

2. Perlakukan anak sebagai tawanan perang (usia 7-14 tahun)


Di usia ini orang tua sudah harus bisa mengubah cara mendidik anak dengan menekankan kedisiplinan.

Pada tahap anak menuju remaja, logikanya tumbuh berkembang cepat sejalan dengan rasa keingintahuan nya yang tinggi. Pada fase ini juga anak akan mengalami pubertas. Karena itu anak harus dipersiapkan disiplin sebelum menginjak pubertas dimana dalam ketentuan kepercayaan kami (yaitu rukun Islam) ajaran harus dilakukan sendiri. Kalau tidak akan jadi dosa.

Pada usia ini anak harus dididik dengan keteladanan, mana yang baik dan mana yang salah. Apa konsekuensinya dari hal yang ia perbuat. Seperti tawanan perang, didikan dilakukan untuk menekan pemahaman mengenai sesuatu serta menekankan kedisiplinan anak tentang kewajiban.


Pada usia pubertas, seorang anak mengalami perkembangan fungsi wilayah sexnya. Keingintahuan anak terhadap sex, emosi yang tidak stabil dan mencoba hal baru yang ditemuinya di luar keluarga. Karena itu, orang tua harus memperhatikan, mengawasi anak dalam berteman dengan siapa saja, dan bergaul dengan masyarakat yang bagaimana.

Bahkan suami sering menerangkan kepada anak mengaji tentang kisah Imam Syafi’i dalam mengawasi anaknya. Dikisahkan Imam Syafi’i sangat memperhatikan pertumbuhan anaknya. Dan khusus kepada anak lelakinya, ketika memasuki usia baligh, sang imam selalu memeriksa pakaian dalam anaknya untuk memastikan apakah anaknya sudah mendapat mimpi basah?

Ketika Imam Syafi’i mendapati anaknya telah melalui fase tersebut, sang imam mengundang seluruh tetangga dan di depan mereka Imam Syafii mempersaksikan dan meminta anaknya untuk bersyahadat ulang. Pada hadirin beliau berpesan, jika mereka melihat anaknya berbuat salah, maka diminta untuk segera menegurnya.

Pengalaman Imam Syafii mengawal pertumbuhan anaknya dapat menginspirasi para orang tua untuk menjelaskan, mengajarkan pada anak hal-hal yang wajib dilakukan bila ia telah mendapat tanda ‘akil baligh’ tersebut.

Adalah kesuksesan bagi seorang ayah atau ibu jika memiliki anak mendapat pengalaman pertama mimpi basah dan anak berani cerita tentang hal itu kepada kita, orang tua nya. Ini menjadi PR besar kami juga terhadap Fahmi, putra semata wayang.

3. Perlakukan anak sebagai sahabat (usia 14 tahun ke atas)


Memasuki usia ini pada umumnya anak sudah akil baligh. Sebagai orang tua posisikan diri sebagai sahabat anak kita. Beri teladan yang baik seperti yang diajarkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu.

Bicaralah dari hati ke hati dengan anak, jelaskan kalau sekarang, anak sudah remaja dan beranjak dewasa. Kita komunikasikan selain mengalami perubahan fisik, pada usia ini anak juga akan mengalami perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan lingkungan.

Sudah pasti dalam melewati semua itu, anak akan menghadapi masalah. Saat itu posisi orang tua menjadi sahabat sangat diperlukan supaya anak tidak lari ke dunia luar.

Penting sampaikan kepada anak (khusus bagi yang Muslim) bahwa pada usia setelah akil baliqh ini, anak sudah harus bisa tanggung jawab. Anak sudah memiliki buku amalannya sendiri. Baik atau salah, kelak akan ditayangkan dan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Anak seusia itu pasti mulai banyak bergaul di luar. Entah karena tuntutan sekolah atau kegiatan ekstrakurikuler. Pun masa perkuliahan yang cukup padat dengan segala aktivitas. Sebagai orang tua, coba mengerti untuk memberi ruang lebih kepada anak. Tetapi tetap kita mengontrol dan mengawasinya.

Memperhatikan harus dilakukan tanpa bersikap otoriter. Supaya anak merasa dihormati, dicintai, dihargai, disayangi. Saat anak merasa percaya diri ia akan mempunyai kepribadian yang kuat, sesuai dengan apa yang orang tua contohkan.

Mulai percayakan tanggung jawab lebih kepada anak sehingga anak bisa belajar mandiri, gesit, cekatan, dan dapat diandalkan.


Jaman sekarang lagi ngetren menyuruh anak untuk belajar berenang, memanah dan berkuda. Tidak ada salahnya, kalau mampu dan bisa karena semua memang bermanfaat.

Berkuda dapat diartikan mampu mengendarai kendaraan. Berenang dapat diartikan dengan ketahanan dan kemampuan fisik. Memanah dapat diartikan dengan melatih konsentrasi dan fokus pada tujuan.

Di era modern, memberi keterampilan atau keahlian kepada anak dituntut lebih sebagai bekal agar percaya diri, jiwa kepemimpinan dan pengendalian diri yang baik. Mendidik anak agar selalu bersemangat, tidak mudah menyerah dan tegar dalam menghadapi masalah sehingga mandiri saat berpikir bisa bikin anak mampu merencanakan masa depan dan target hidupnya. Cmiiw.

 

"Jika engkau menasehati seorang anak maka jangan kau sebutkan bagian dari dosanya, agar rasa malunya tidak menjadikannya keras kepala."



Posted from my blog with SteemPress : http://tehokti.com/tantangan-memperlakukan-anak-sebagai-raja-tawanan-dan-sahabat.html