Sarjana Saja Tidak Cukup
Sarjana Saja Tidak Cukup
Memancing topik pembicaraan supaya Fahmi, putra kami semangat belajarnya, saya suka ajak anak bercerita soal sekolah, cita-cita, dan apa yang diinginkannya kelak, setelah saya tua. Jawabannya selalu lucu dan polos.
“Mi, senang gak sekolah?” Jawabannya hanya mengangguk.
“Ami mau sampai kapan sekolah?” Jawabannya di luar dugaan. “Sampai gak boleh sama ibu...” Biyung, ibu mana yang akan melarang anaknya belajar? Semiskin-miskin nya kita, pasti tidak ingin anak putus sekolah.
Cukuplah saya yang mengalami untuk belajar, harus memutar otak mencari cara bagaimana supaya bisa punya uang untuk biayanya. Mengandalkan orang tua jelas tidak mungkin. Untuk makan sehari-hari saja sudah sangat susah. Jangan sampai anak sendiri merasakan kesulitan mendapatkan kesempatan belajar seperti yang saya alami, apalagi kalau harus putus sekolah...
Tahun 99 krisis moneter melanda bangsa kita. Berbarengan dengan aksi disana-sini menuntut turunnya pemimpin R1 ke dua. Tidak hanya harga melambung naik, dampak lainnya banyak perusahaan bangkrut, pegawai kena PHK, penjarahan banyak terjadi dimana-mana. Bagaimana mau lanjut sekolah kalau cari makan saja susah.
Jadi TKW pelarian saya pada akhirnya. Tujuan awal mau ke Arab Saudi sebagaimana tujuan mayoritas warga Cianjur pada umumnya. Tapi pihak perusahaan malah menyalurkan saya ke Singapura, dengan alasan saya bisa menggunakan bahasa Inggris. Lanjut ke Hong Kong dan akhirnya menetap di Taiwan sembilan tahun lamanya. Di sini saya mulai mengenali internet, mempelajari banyak hal supaya pulang bisa membawa bekal.
Bangga sekaligus salut dengan semangat teman-teman yang meski memiliki banyak kesibukan, tetap memilih melanjutkan sekolah/kuliah meski disambi dengan pekerjaan yang menguras pikir dan tenaga. Membagi waktu supaya target tercapai. Memilih mengurangi waktu istirahat supaya dapat kesempatan untuk belajar.
Kekurangan bukan jadi halangan. Kalau niat sudah tertancap, semangat akan terus menyala. Perekonomiannya di keluarga bisa dibilang mulai membaik, namun selalu ada sesuatu yang mengganjal. Saya selalu merasa tidak cukup pintar.
Maka saya pun ikut beberapa kelas pelatihan keterampilan dan komputer. Lanjut sekolah jarak jauh meski saat itu masih terasa susah. Buat saya apapun caranya, saya yakin bisa jadi celah untuk mulai mengejar pendidikan yang selama ini tertinggal.
Setiap libur tidak lagi pergi bersama teman ke taman dan nongkrong, duduk-duduk, dan makan-makan. Ada waktu luang dihabiskan di kelas, mengejar pelajaran yang tertinggal, dan mengerjakan tugas. Besoknya, kembali kerja seperti biasa. Tidak cukup itu, tidur pun selalu larut demi bisa membaca buku.
Entahlah saya masih selalu merasa pengetahuan saya kurang. Saya yakin dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan hidup ini tidak akan sia-sia. Paling tidak cara pikir kita bisa berubah, pola hidup ikut berubah. Dengan belajar terus mungkin paling tidak bisa memperbaiki pola kerja dan pola hidup?
Senang saja kalau yang dilakukan menjadi lebih terstruktur dan terencana. Bisa menyelesaikan tanggung jawab, dengan hasil yang lebih baik.
Tujuan terus ingin belajar bukanlah dilatarbelakangi dorongan pendapatan semata. Namun, keinginan memperbaiki kualitas diri dan dengan ilmu yang dimiliki bisa membantu sesama.
Okelah, perbaikan ekonomi menjadi salah satu tujuan juga, tapi itu hanya salah satu, bukan tujuan utamanya. Hanya kalau bisa sambil mencoba memenuhi hak untuk memperoleh pendidikan, kenapa tidak?
Setelah punya ilmu atau keterampilan, langkah selanjutnya bukan memperkaya diri, tapi bagaimana bisa menggunakan pendidikan yang telah susah payah diraih untuk membangun sesuatu yang bisa membantu orang lain. Bisa menjadi manfaat bagi sesama. Itu yang ingin saya tanamkan tidak hanya pada diri saya, tetapi juga kepada Fahmi, putra semata wayang kami.
“Karena itu sampai kapan pun ibu tidak akan melarang kamu berhenti sekolah, Mi. Rasul mengajarkan kewajiban menuntut ilmu sampai tutup usia. Athlubul 'ilma minal mahdi ila lahdi : Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
Bukti kalau usia bukan penghalang dalam menimba ilmu, siapa saja bisa menutut ilmu setinggi mungkin dimanapun dan kapanpun, adalah wanita paruh baya asal Sumatera Utara, Diana Patricia Pasaribu Hasibuan.
Nenek Diana sukses meraih gelar Sarjana Filsafat di usia 69 tahun, lalu di usia ke-73 tahun menyelesaikan program Master Teologi, dan di usia ke-77 tahun Diana lulus dengan gelar Doktor dari Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia (STTBI).
Image result for diana patricia pasaribu hasibuansindonews.net
Ada lagi Leo Plass, dikenal sebagai manusia paling tua kuliah. Leo Plass berhasil menyelesaikan kuliahnya di Eastern Oregon University pada tahun 2011 saat umurnya memasuki usia 99 tahun. Ini menjadikannya sebagai pemegang rekor untuk lulusan sarjana tertua dalam sejarah.
Manusia paling tua jadi sarjana
Karena itu, jangan hilang semangat untuk mengejar ilmu dan pendidikan. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, dan semoga perjalanan hidup kita semakin bermanfaat bagi sesama. Amin.
Posted from my blog with SteemPress : http://tehokti.com/sarjana-saja-tidak-cukup.html