Ratapan Anak Pinggir Sungai || Episode VIII
SETIBA di rumah, aku langsung merebahkan badan di tempat tidurku. Anwar yang juga merasa kelelahan, berbaring di ruang tamu sambil menonton tv. Kami merasa kelelahan akibat perjalanan hari ini.
Sore itu, aku lagi berada di rangkan (gubuk) persawahan. Padi sudah sudah mulai menguning. Orang kampungku merasa senang dan berbahagia. Hasil persawahan kali ini sangat baik, ketersedian air yang mencukupi membuat tandan padi penuh berisi. Hama, wereng; musuh bebuyutan padi sudah mulai berkurang.
Pabrik galin c yang berdiri kokoh di samping Kulam Cet Tambi itu, sudah tidak terlihat lagi. Sang predator itu sudah dipindahkan ke lokasi lain, yang jauh dari tempat persawahan warga. Pemerintah telah mengeluarkan rekomendasi untuk dipindahkan pabrik tersebut beberapa tahun yang lalu.
Susana Kulam Cet Tambi sudah mulai tenang kembali. Ikan-ikan tawar sudah terlihat kembali sambil bersenang ria. Kemurkaanya mulai hilang dan pergi bersamaan dengan predator itu pergi. Sebagian anak-anak terlihat duduk disamping Kulam Cet Tambi sambil memegang tali pancingan.
Sesekali tanganku manarik tali ikatan orang-orangan pengusir burung pipit. Aku bersantai di rangkang persawahan sambil menikmati suasana angin. Burung-burung pipit terbang sambil melirik padi-padi persawahan warga. Mereka berterbangan sambil berkurumanan layakanya pasukan bala tentera yang sedang malakukan pengamaman terhadap Negara.
Tanganku tak henti-hentinya menarik tali ikatan orang-orangan setiap kuruman burung pipit hinggap di tandan padiku, sambil aku goyang-goyangkan tanganku. Musim panen telah menghampiri kampungku. Kemakmuran kembali datang, warga terlihat penuh suka cita menyambut musim panen kali ini.
Emak-emak yang berjualan mie caluk, tape, dan bucai lalu-lang di pematangan persawahan. Mereka berjalan tertatih-tatih sambil membawa barang jualannya. “Nek Minah, na neuba tape?, Nek Minah ada tape?” Panggilku sambil melambaikan tangan ke arah Nek Minah yang lagi berjalan di pematanag sawah.
“Na gam, ada nak” sambil menuju ke arahku yang lagi duduk di atas rangkang persawahan.
“Saya minta tiga bungkus Nek”
Nek Minah menurunkan barang dagangannya, dan meletakkannya di tas rangkangku. Terlihat tangan Nek Minah memindah-mindahkan bungkusan daun pisang yang tersusun rapi dalam keranjang rotan tempat penarukan barang dagangannya. Lalu Nek Minah mengeluarkan tiga bungkusan tape yang sudah terbalut rapi dengan daun pisang.
“Berapa ini Nek?” Tanyaku sama Nek Minah.
“Sikureng ribe gam, Sembilan ribu gam” jawab Nek Minah sambil meletakkan tape di atas rangkang tempat dudukku.
Akupun mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari dalam sakuku. “Ini Nek uangnya” sambil meyerahkan uang sama Nek Minah.
“Get gam, baik nak” Nek Minah mengambilkan uangnya. Dan mengeluarkan selembar uang seribu rupiah untuk meberikan kembalilannya padaku. Nek Minah pun berlalu mendekati rangkang-rangkang lain.
Aku menikmati tape itu di atas rangkan persawahan sambil menikmati suasana kedamaian di tengah persawahan. Sesekali burung pipit meyapaku, dan aku sambut sapaan itu dengan tarikan tali orang-orangan yang berada di tengah persawahan.
“Wir… wir… wir…” aku terbangun mendengar suara itu. Anwar memanggilku dari ruang tamu.
“Sudah azhan, aku pulang shalat dulunya” kata Anwar sambil mematikan tv di ruang tamu.
“Ia War, aku mau shalat juga ini” balasku dari kamar tidur.
Ternyata aku tadi sempat tertidur dan bermimpi pradator perusak perut bumi itu sudah tidak lagi di kampungku. Bupati telah memindahkan lakasi pabrik galian c itu ke tempat lain yang jauh dari persawahan warga.
Langsung aku bangun dari tempat tidur menuju ke kamar mandi, setelah itu aku shalat zuhur dan berdoa semoga mimpiku tadi nyata.
Posted from my blog with SteemPress : http://adillestari.com/ratapan-anak-pinggir-sungai-episode-viii/
Amiin
Makasih @santiintan . . .
Mantap. pakon harus anak pinggir sungai. pasti na historis khusus mengenai judul nyan. na sesuatu kadang. heheheheh @munawir91
Ia Bang @munawarman. Ini bagian dari bernostalgia . . .