Ratapan Anak Pinggir Sungai || Episode VI
SAAT Anwar kembali ke kamar untuk menggantikan pakaiannya, aku langsung melihat jam di tangan. Sekarang suduh pukul delapan pagi. Tidak terasa perdebatanku dengan Anwar sudah hampir satu jam. Itulah asyiknya aku sama Anwar. Butuh waktu berjam-jam untuk berdebat dengan Anwar sebelum kami ambil suatu keputusan.
Bahkan tidak jarang, perdebatanku dengan Anwar harus ada yang menengahi. Biasanya, kalau parang urang saraf aku dan Anwar tidak ada titik temu. Geusyik menjadi solusi akhir, sebagai peniup peliut bak wasit di lapangan. Kami jarang membantah keputusan geusyik, walaupun diskusi seru tetap terjadi.
Jarang tempuh kampugnku dengan pusat ibu kota mencapai 30 KM. Kami membutuhkan waktu dua jam untuk pergi ke pusat ibu kota dengan menggunakan sepeda motor. Jarak tempuh sejauh itu tidak melelahkan. Karena hampir semua infrastruktur jalan sudah bagus, selama Anggaran Dana Gampong (ADG) ada.
Sebelum ADG ada, tahun 2015 ke bawah. Jalan di gampongku hancur-hancuran. Kecapean warga yang turun ke kota dua kali lipat. Setelah capek dengan jarak tempuh hampir tiga jam, ditambah dengan kecapean bantingan tubuh untuk menghindari lobang-lobang di jalan. Aku membayangkan perjalanan itu, layaknya kita sedang berpacu kuda.
Selesai menggantikan pakaian, Anwar langsung menuju sepeda motor yang telah siap aku luncurkan. Kami sangat menikmati perjalanan itu, sambil menceritakan rencana masa depan kami untuk berkeluarga. Anwar sudah ada dambaan hati. Namanya Lia. Dia sekarang lagi di luar kota untuk mengikuti pelatihan tentang operator gampong.
Wanita cantik, lulusan DIII kesekretariatan itu sekarang mengabdi untuk Gampong Cet Tambi. Posisi Lia sebagai operator gampong sangat membantu warga. Dulu, sebelum Lia menjadi operator gampong. Warga terpaksa turun ke kota untuk membuat secerik kertas yang perlu di tanda tangan Pak Daud.
Kelihatannya, Lia sangat menikmati perkerjaannya di gampong. Tidak seperti cewek-cewek PDPK lainya. Sibuk kesana kemari untuk mebawa seberkas map yang penuh dengan angka-angka prestasi di dalamnya. Bahkan, tidak segan-segan untuk berbuat “nakal” agar mendapatkan posisi yang strategis di depan bosnya.
Aku salut sama Lia. Tahun 2015, setelah menyelesaikan kuliah, ia langsung menghibbahkan dirinya untuk Gampoang Cet Tambi. Sengat terasa manfaatnya, keberadaan satu orang yang menghibbdahkan ilmunya untuk pengembangan Gampong Cet Tambi. Dapat tertolongkan kebutuhan ratusan warga.
Nyak Mah, pernah menyampaikan padaku. Sebelum Lia manjadi operator gampong. Ia harus mengeluarkan uang Rp 25.000,00 untuk membuat selembar surat keterangan miskin; Rp 10.000,00 untuk minyak sepeda motor, Rp 10.000,00 lagi untuk makan siang. Sedangkan Rp 500,00 untuk biaya foto kopi. Hanya tersisa Rp 4.500,00 lagi untuk uang pegangan dia pulang. Kaykanya “lebih besar modal ketimbang untung”.
“Eeiitt… eeiitt… eeiitt…” aku menekan rem sepada motor secara dadakan.
“Kenapa Wir?” Tanya Anwar secara spontan.
Dari awal aku sudah merencanakan untuk singgah di warung tempat Nyak Mah jualan. Karena larut dalam ayunan sepeda motor, warung Nyak Mah hampir terlewatkan. Makanya rem sepeda motor terpaksa aku tekan secara dadakan.
“Ta jep kupi dile saboh glah sapo bak warung Nyak Mah, kita ngopi saja dulu di warung Nyak Mah” jawabku sama Anwar sambil mematikan sepeda motor.
Jampun masih menunjukkan pukul 08:30 pagi, masih tersisa waktu sekitaran tiga puluh menit lagi untuk bisa kami nikmati di jalan.
“Nyak Mah, lon neu boh kupi saboh, Nyak Mah, saya dibuatin kopi satu” sambil mengambil sepotong kue yang sudah tersedia di atas meja.
“Get gam, ho nyan rencana gagah-gagah that?, baik nak, mau kemana itu, kok kelihatanya gagah-gagah sekali?” Tanya Nyak Mah sambil menanyakan Anwar mau pesan minum apa.
“Lon neu bi syit kupi saboh. Pane na reh Nyak Mah, si Wir hawa di jak u keude uroe nyoe, saya juga kopi satu. Ini Nyak, si Wir mau ke kota hari ini” jawab Anwar sambil mancandaiku.
Warkop Nyak Mah terletak di pinggir jalan, beratapkan rumbia. Tidak ada satu bendapun yang dapat menghalangi angin, untuk manyapa kami. Aku dan Anwar menikmati suasana alam di warung Nyak Mah sambil menikmati kopi. Angina sepoi-sepoi terasa menusuk ke relung hati kami.
Tidak terasa 15 menit kami sudah berlalu di warung Nyak Mah. Tiba-tiba handphoneku kembali berbunyi. “War, Pak Boy telephone” kataku sama Anwar. Aku langsung mengangkat telephone Pak Boy.
“Walaikumsalam Pak” aku menjawab salam dari Pak Boy melalui handphone. “Kami sudah di jalan ne Pak. Sekitaran satu jam lagi sudah tiba di kantor bupati” aku menjelaskan sama Pak Boy.
“Besok saja kalian balik lagi, hari ini bapak tidak bisa berjumpa dengan kalian. Ada pertemuan mendadak yang harus bapak ikuti” jawabnya tanpa ada beban sedikitpun sambil mematikan handphone-nya.
Posted from my blog with SteemPress : http://adillestari.com/ratapan-anak-pinggir-sungai-episode-vi/
Rencana baik yang tertunda
Tetap semangat ! 💪💪
terimakasih @santiintan, telah singgah di postingan ini, semoga cerita ini dapat terhibur steemian semuanya . . .