Ratapan Anak Pinggir Sungai || Episode V
TEPAT pukul 07 pagi, aku sudah berada di depan pintu rumahnya. Dari celah-celah jedela, terlihat Anwar sedang merapikan tempat tidurnya. Kamar tidur Anwar pas berada di posisi sebelah kanan pintu utama.
Aku langsung memberikan salam sambil mengetuk pintu rumahnya. Anwar yang lagi merapikan tempat tidur langsung ke luar dari kamar untuk membuka pintu.
“Tepat pukul tujuh ya” kata Anwar sambil membuka pintu.
Aku langsung masuk ke rumah Anwar, tanpa menghiraukan ucapan Anwar.
“Kamu serius ingin berjumpa dengan bupati?” tanya Anwar samaku.
“Kamu juga tahukan, siapa di belakang pabrik itu?” tanya Anwar lagi padaku.
Kekhawatiran Anwar memang sangat wajar. Pabrik itu berdiri bukan tanpa ada yang backup. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, salah-satu pejabat teras di kabupaten berada di belakang pabrik itu.
Kondisi perpolitikan yang barus selesai beberapa bulan yang lalu, semakin memperkuat posisi dia di dalam pengaruhi kebijakan di tingkat kabupaten. Pasalnya, kandidat dukungannya sebagai calon bupati dalam Pemulihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) itu, meraup suara tertinggi dan mengalahkan tiga pesaingnya.
Aku sebenarnya heran, saat pemilukada, izin-izin perusahaan ekstraktif sangat mudah keluar izin, begitu juga perpanjangannya. Aku tidak tahu apa motif sebenarnya kemudahan bagi mereka dalam pemberian izin, atau perpanjangan izin saat pemilukada.
Tapi, berdsarakan informasi yang aku dapatkan dari mulut ke mulut. Mereka merupakan pemodal untuk calon-calon bupati yang sedang bertarung. Sehingga siapapun yang terpilih, mereka dengan leluasa dapat mengandalikan kebijakan pemerintah. Bupati layaknya pion dalam permainan catur untuk melindungi raja.
“Jangan takut War, kita bergerak bukan sendiri, Pak geusyik sudah mendukung rencana kita. Janganlah kita kalah sebelum bertempur” aku berusaha untuk menyakingkan Anwar.
Anwar hanya terdiam mendengar penjelasanku, namun dari raut wajahnya, Anwar masih terlihat ragu dengan segudang kekhawatiran yang tersimpan dibenaknya.
Mungkin, Anwar masih teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu. Saat itu, aku dan Anwar mandapatkan teror dari anak buah suruhan perusahaan. Kami sudah pernah membuat perlawan dengan perusahaan itu. Karena keberadaannya sangat menyengsarakan warga. Semua cocok tanaman, yang merupakan sumber pedapatan warga selalu mengalami kegagalan pascapabrik itu berdiri.
“Kring… kring… kring….” Suara handphone di sakuku berbunyi.
“Assalamu’alaikum, ini dengan Bapak Boy ya?” Tanyaku setelah mengangkat telephone dari Pak Boy. Sebelum aku ke rumah Anwar, aku telah menghubungi Pak Boy. Mungkin karena faktor kesibukannya, atau karena terlalu masih pagi. Pak Boy tidak sempat mengangkat telephone ku, tapi aku sempat mengirimkannya short message service (SMS; pesan singkat).
Setalah aku berkomunikasi dengan Pak Boy sekitaran 10 menit melalui handphone dan menjelaskan secara singkat masuk dan tujuan pertemuan dengan bupati. Aku pun menutup telephone.
“War, kata Pak Boy. Bupati pukul 10.00 pagi nanti ada di kantornya. Tepi dia hanya setengah hari di kantor. Setelah itu ada pertemuan lagi katanya” aku menjelaskan sama Anwar hasil telephone-nanku dengan Pak Boy.
Anwar masih terlihat diam dan bingung, sepertinya trauma peneroran beberapa bulan yang lalu sudah kembali menghantuinya. “Wir, kau masih ingat kan resolve yang di todong anak buah suruhan perusahaan waktu itu”
“Ia War, aku masih ingat betul kejadian itu” perusahaan itu tidak segan-segan meneror siapa saja yang berani mengusiknya.
“Tapi gini War, kemarin kita bertindak tanpa sepengetahun Geusyik. Kita hanya mengandalkan kemampuan kita berdua. Makanya kita tidak berani bertindah lebih, setelah kita di teror sama anak buah suruhan perusahaan itu”
Memang saat itu, kami tidak berdiskusi secara luas dengan warga, hanya bermodalkan keberanian yang telah dirasuki amarah secara membabi buta. Kami mendatangi perusahaan, dengan harapan, mereka bersedia untuk mengevaluasi kembali keberadaan pabrik itu. Kalau tidak, kami mengamcam mereka akan membuat demo di depan perusahaan dan mereka harus bertanggung jawab atas kerusakan persawahan warga.
Dua hari kemudian, anak buah suruhan perusahaan datang menjumpai kami. Mereka memperlihatkan pestol jenis resolve sambil mengamcam “kamu tahu ini apakan?, kalau kalian berani macam-macam sama perusahaan, jangan salahkan kami, timah ini akan bersarung di tubuhmu”.
Aku dan Anwar saat itu memang terdiam. Kami tidak mungkin membuat perlawan, jumlah mereka lebih banyak dari kami. Aku tidak ingat lagi, berapa jumlah pasti mereka. Dari postur tubuh, kelihatannya mereka orang-orang terlatih, yang memang dipersiapkan untuk mengamankan asset negara.
“Kali ini kita sudah siap War, sama Geuyik sudah kita laporkan. Warga juga sudah tahu. Bahkan waktu itu, Apa Man kan pernah bilang, dia siap untuk mengumpulkan warga bila nanti kita perlukan. Ini momen tepat War untuk kita kasih pelajaran bagi perusahaan itu” aku berusaha untuk menyakinkan Anwar.
“Oklah Wir, kalau begitu, aku siap-siap dulunya. Kita pergi sekrang ke kantor bupati, biar tidak keburuan bupati keluar nanti” sambil masuk kembali ke kamarnya untuk menggantikan baju.
Aku tidak bisa meninggalkan Anwar dalam setiap kegiatanku. Dia orangnya sangat pendiam, tapi memiliki analisa yang tajam dalam pengambilan keputusan. Setiap prediksi yang dia lakukan, hampir semuanya tepat. Dia sangat lihai dalam memantau situasi dan kondisi. Berbeda denganku, aku orangnya sangat gegabah, sering mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan resiko yang bakal terjadi.
Posted from my blog with SteemPress : http://adillestari.com/ratapan-anak-pinggir-sungai-episode-v/
Saya ikut prihatin @munawir91
fiksi nyan Aduen, hehehe
yaa,,,bgitulh adanya keadaan yg terjadi dlm kehidupn ini.. sgla sstu yg trjdi,damai adlh jln terbaik.
slm persahabtn
Sepakat @fauzan11, perdamaian sangatlah indah. Semoga kita semua menjadi pelopor perdamaian di muka bumi . . .
thank,s
Gambarnya bagus siapa pelukisnya @munawir91 ?
Semoga bupati tersebut diberikan hidayah agar menjadi bupati yang bijaksana
Saya ambil di internet mbak @santiintan . . .
Ia Mbak, semoga bupati diberikam hidayah agar lebih bijaksana . . .