Ratapan Anak Pinggir Sungai || Episode III
HUJAN sudah mulai turun, pertanda kemarau telah meninggalkan kampungku. Tubuhku yang kedinginan, telah Aku baluti dengan kain sarung semalam. Aku duduk bersila kaki di depan pintu, sambil manatap ke langit. Hujan semakin deras, kedinginan semakin merasuki tubuhku. Aku masih duduk di depan pintu, badan terasa malas untuk aku gerakkan.
Adzan pun berkumandang, pertanda malam telah siap menamaniku. Aku bergegas mengambil payung untuk pergi ke Meunasah (surau). Lalu aku angkatkan kain sarung setengah lutut, agar tidak kebasahan percikan hujan. Kedinginan magrib itu, tidak mengurangi shaf shalat di Meunasah kampungku.
“Wir, nampaknya kita sudah tidak tidur malam ini”, belum sempat aku jawab sapaan dia, suara iqamah telah berbunyi. Aku hanya sempat menganggung, sambil tersenyum padanya. Sebenarnya, aku sudah tahu maksud perkaataan itu. Tetapi karena berbarengan dengan suara iqamah, aku tidak langsung menanggapinya, hanya membalas dengan seyuman sambil mengangguk-angguk. Magrib itu, aku dan dia shalat berjamaah di Meunasah seperti biasa.
Kegelisahan orang kampungku hanya dua. Disaat kemarau, gagal panen. Disaat hujan, banjir tiba. “Ia War, begadang lagi kita” aku menyambung kembali percakapan yang semput terputus suara Iqamah tadi. Penjang lebar aku berbicara dengan Anwar setelah selesai shalat berjamaah.
Poin yang aku tangkap dari percakapan itu, Pak Geusyik (Kepala Desa) telah menyampaikan keluh kesah warga sama Pak Amir. Selaku camat di Kecamatanku. Akar persoalannya tentang predator perusak bumi, yang didirikan di samping Kulam Cet Tambi itu. Kebutulan, Anwar ikut sama Pak Geusyik tadi saing waktu berjumpa dengan Camat.
“Wir, Pak Amir tidak bisa berbuat apa-apa. Itu semua kewenangannya di tingkat Kabupaten”. Aku menghelakan nafas dalam-dalam saat mendengar ucapan Anwar. Hasil pertemuan Pak Geusyik dengan Camat belum membuahkan hasil.
Secara hirarki, Pak Camat tidak mungkin melewan atasanya di Kabupaten. Aku dan Anwar sangat paham tentang itu. Makanya dalam pertemuan itu, Anwar hanya diam saja.
Setiba di rumah, aku kembali termenung. Menghayati kembali percakapanku dengan Anwar di Meunasah tadi. “Memanglah dia itu, sudah diajarkan huruf dan angka oleh mamakku, masih juga menyusahkan orang kampungku”. Dialah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kemurkaan Kulam Cet Tambi. Setelah predator itu dia berikan izin untuk mengeruk isi bumi.
“Mohon perhatian kepada semua penduduk Gampong Cet Tambi, hujan semakin deras, air sungai sudah meulai meluap, mohon semua perabotan rumah tangga untuk dinaikkan ke tempat yang lebih tinggi” suara Apa Man itu terdengar sengat jelas di telingaku melalui pengeras suara Meunasah.
Begitu aku turun ke bawah, Ayah dan Mamak sudah sibuk mengangkat barang rumah ke tempat yang lebih tinggi. Rupanya Ayah sudah duluan tahu, selesai shalat magrib tadi, ayah tidak langsung pulang ke rumah. Ayah masih duduk di Meunasah sambil berbincang-bincang dengan warga. Mereka juga mengamati perkembangan air sungai, yang terletak pas di pinggir Meunasah.
Suara Apa Man tadi melalui pengeras suara, rupanya atas kesepakatan Ayah bersama warga untuk di umumkan kepada warga.
“Cepat kamu turun ke bawah, bantu angkat ini, biar tidak di bawa air nanti” pinta mamak dengan suara yang tinggi. Aku langsung turun, sambil mengamati gerak langkah mamak yang super panik itu. Dari cara gerekkannya, seakan-akan luapan air sudah memenuhi seisi rumahku.
Ayah juga ikut membantu mamak, tapi ayah lebih tenang dalam menghadapi agenda rutinitas kiriman alam ini.
Setelah semua perabotan itu kami angkat ke atas. Kami beristirahat di pekat malam yang penuh was-was itu. Repetan mamak di depan lilin, sekali-kali terdengar. Sudah menjadi hal yang lumrah di kampungku. Pemadaman listrik berbarengan dengan datangnya kemurkaan dari Kulam Cet Tambi. Repatan mamak itu, terkadang membuat Aku senyam-senyum di dalam hati.
Keesokan harinya, aku langsung menjumpai Anwar. “War, kampung kita tidak mungkin selalu begini, masak di saat musim hujan dan kemarau sama-sama membawa petaka. Apakah seburuk ini kampung kita? Aku nyakin tidak”
Aku berusaha menyampaikan keluhanku sama Anwar. “Apa yang harus kita lakukan, Pak Amir saja sudah angkat tangan” timpa Anwar atas keluhanku. Semua warga kampungku sepakat, petaka itu merupakan oleh-oleh dari predator perusak bumi, yang berdiri di samping Kulam Cet Tambi itu.
“Kita harus menjumpai Bupati, pabrik itu harus keluar dari kampung kita” aku berusaha untuk menyakinkan Anwar. “Mana mungkin kita jumpai dia, agendanya sudah sangat padat, tidak sempat dia menjumpai kita”.
“Jangan pesimis kau War, kita coba aja dulu, siapa tahu dia berbaik hati untuk menjumpai kita” aku berusaha untuk menyakinkan Anwar.
Setelah panjang lebar aku berdebat dengan Anwar, akhirnya dia sepakat untuk menjumpai Bupati.
“Ok, kita besok akan menjumpai Bupati, mudah-mudahan dia bersedia untuk menemui kita” kata Anwar dengan penuh semangat.
Aku merasa senang karena Anwar sudah bersedia menemaniku untuk menjumpai penguasa di kampungku. Sambil pulang aku berguman dalam hati. “Mudah-mudahan pertemuan besok, Bupati bersedia untuk memindahkan predator itu ke lokasi lain, yang tidak merusak bentang alam”
Posted from my blog with SteemPress : http://adillestari.com/ratapan-anak-pinggir-sungai-episode-iii/
Sepertinya @munawir91 berbakat menjadi penulis cerbung (cerita bersambung) kalau dibukukan bisa jadi novel nih 😊
Ceritanya benar-benar nyata dan saya ikut larut dalam cerita tersebut
Semoga kampung di tempat tinggal kamu baik2 saja ya 🙂
Hehehe . . .
Makasih @santiintan . . .