Akhir Penantian Setelah 14 Tahun

in #steempress6 years ago


Dina Firza sibuk melayani tamu yang datang melayat ke rumahnya. Ia mengajak tamunya untuk mencicipi makanan yang telah tersedia di depan rumah.

Tenda kecil dengan kursi di bawahnya digelar untuk para tamu. Hari itu ia membuat kenduri tujuh hari ayahnya.

Baharuddin, ayahnya hilang 14 tahun lalu saat tsunami menghantam pesisir Aceh, 26 Desember 2004. Jasad mantan keuchik Lambada Lhok itu ditemukan hari Rabu tanggal 19 Desember 2018 bersama 46 jenazah lainnya di Dusun Lam seunong, Kajhu, Aceh Besar.

Perempuan berusia 28 tahun itu ingat betul kejadian yang membuatnya terpisah dari keluarga. Saat itu ia masih duduk di kelas satu SMA 1 Baitussalam.

“Waktu gempa kita semua keluar rumah, ayah saat itu sampai dari masjid masih dengan sarung,” kisah Dina.

“Melihat rumah nggak ada kerusakan, ia ganti celana lalu pergi dari rumah dengan beberapa temannya dengan mengendarai mobil.”

Kabar mengenai robohnya penjara Kajhu menarik minat Baharuddin dan teman-temannya. “Ayah buru-buru pergi ke sana.”

Dina, ibu bersama saudaranya masih di rumah saat orang-orang berteriak air laut naik dan mulai lari. “Tidak ada yang tau tentang tsunami dulu. Saya kira hanya banjir biasa atau gelombang pasang, ya santai saja dirumah saat diajak.”

Ketika orang berlari tambah banyak dan sang ibu memerintahkan anaknya untuk ikut. Ia baru berlari beberapa meter ketika suara air itu mendekat. Hitungan detik ia pun terhempas.

Air mendorongnya ke atas bangunan dan merapat ke dinding yang disebut tower air Kuala Gigeng oleh warga setempat. Ada seorang laki-laki yang ikut terselamatkan bersamanya di bagunan dua lantai itu.


Dina Firza. FOTO: Khiththati/acehkitacom.

“Kami turun dan waktu itu air dengan cepat surut, jalan aspal sudah kelihatan, kawasan Lambada ini lapang yang tinggal hanya tower itu dan mesjid."

“Hanya ada kami berdua di situ, kita masih syok dan baru saja bicara sebentar ada suara lain yang datang, abang itu meminta saya untuk naik kepohon kuda-kuda tak jauh dari tower,” kisah Dina lagi.

“Badan saya sudah gemetar semua dan kehilangan tenaga untuk memanjat, pohon itu juga sudah tidak ada dahan lagi, abang itu menawarkan bantuan dan akan membantunya memanjat setelah ia berhasil, tapi gelombang itu kembali datang dengan cepat,” tambahnya lagi.

Gelombang kedua datang lebih cepat dan suaranya lebih besar. “Bangunan sudah pada bersih, kata dia air seperti diblender gitu, saya kemudian dibawa lebih jauh dan ketemu sebuah rumah, abang itu hilang dan tidak selamat, gelombangnya tinggi sekali.”

Dina berusaha menaiki lantai dua rumah yang sudah rusak akibat tsunami dengan menginjak sampah yang ada. Ia takut bangunan rumah itu juga akan roboh.

Ketakutan lainnya disebabkan karena hanya ia sendiri di situ. Tak jauh dari situ ada rumah lantai dua yang kelihatan lebih kokoh serta lebih ramai.

“Suara saya sudah serak mencoba berteriak ke rumah sebelah yang lebih ramai orangnya, tapi karena mereka untuk bertahan dulu sampai airnya sedikit tenang.”


FOTO: Khiththati/acehkitacom

Siang itu ia berjalan kaki melewati tumpukan sampah dan mayat menuju Lambaro Angan. “Awalnya saya tidak ingat keluarga semuanya kosong tapi saat melihat banyaknya mayat di jalan saya mulai kepikiran.”

Tak lama berselang Dina baru mengetahui, ia tinggal sebatang kara. Ayah, Ibu, dan tiga saudaranya hilang ditelan gelombang.

“Tidak ada yang ketemu jenazahnya termasuk kembaran saya, makanya penemuan mayat korban tsunami kemarin tidak menarik minat saya," ungkap alumni Unsyiah ini.

Penemuan jenazah sang ayah mengejutkannya. “Saya yakin memang ayah di sekitar situ karena ia pergi melihat penjara, pas diberitahu mantan keuchik Lambada Lhok sudah yakin saya, lagi pula bentuk fisiknya juga mirip dengan ayah,” tambahnya lagi.

Dina pada Magrib itu juga pergi ke Dusun Lamseunong. Setelah proses fardu kifayah selesai dilakukan oleh warga, ia membawa jasad ayahnya pulang kemudian mengulang proses mengafani dan menguburkan kembali di pemakaman desa malam itu juga.

Kartu identitas yang ditemukan bersama sang ayah disimpannya rapi-rapi untuk menjadi kenang-kenangan. “Masih KTP merah putih, dulu kan kemana-mana harus bawa ini kalau ingin selamat.”

Anak kedua dari empat bersaudara ini lebih tenang sekarang karena ayahnya mempunyai kuburan sendiri. “Sekarang ayah udah ada tempatnya sendiri, tidak kepikiran ayah berdesak-desakan tertimpa yang lain.”

“Namanya keluarga ya kita selalu berharap namun ini sudah 14 tahun berlalu sudah tidak perlu ada cerita yang sedih dan berurai air mata," tuturnya.

***


Taufik Alamsyah. FOTO: Khiththati/acehkitacom

Taufik Alamsyah baru saya menyelesaikan kopi sorenya di sebuah kedai kopi di kawasan Kuta Alam saat sebuah pangilan yang tak tersimpan di daftar kontak telepon genggamnya memanggil.

“Bang, pulang terus ke Kajhu, Kak Nida sudah ketemu,” telepon dari seorang perempuan yang tak dikenalnya itu membuat Taufik terkejut dan langsung memacu motornya ke lokasi yang disebutkan.

Kabar sore itu mengakhiri penantian Taufik Alamsyah (50) terhadap istrinya yang hilang saat tsunami melanda Aceh 14 tahun lalu.

“Saya tidak menyangka setelah bertahun-tahun mencari dan berharap saya bertemu dengan istri saya di sini,” katanya.

“Selama ini saya selalu mengharapkan istri saya kembali dengan kondisi apapun, saya masih menunggu kabarnya dan harus melihat sendiri,” tambah Kepala Bagian Humas Pemerintah Banda Aceh itu.

Minggu, tanggal 26 Desember 2004, ayah seorang anak ini dibangunkan gempa kuat. Ia baru saya tidur selepas Subuh. Ada kenduri lumayan besar di kompleks perumahan Taufik, tamu yang berhadir banyak, beberapa tamu bahkan datang dari luar kota. Ia dan masyarakat kampung bergotong royong menyukseskan acara.

Istri Taufik baru saja pulang dari pasar, bersiap membuat kue untuk menghadiri pesta perkawinan di Ujong Pancu, kawasan yang nantinya juga luluh lantak diterjang gelombang tsunami.

Pagi itu orang-orang di kompleksnya dikejutkan dengan gempa, yang kemudian beberapa saat kemudian disusul teriakan beberapa orang bernada panik dari berbagai arah.

“Orang-orang mulai berteriak air laut naik, tapi saat itu saya pikir hanya banjir biasa, jadi saya santai saja sampai akhirnya lebih banyak orang yang lari dan berteriak, tidak pernah ada yang tahu tentang tsunami saat itu.”

“Bang selamatkan anak kita,” pesan Yunida, istri Taufik. Ia berlari bersama orang tuanya ke arah belakang rumah, mencari jalan pintas menyelamatkan diri.

Taufik memacu motornya ke arah persimpangan. Namun, kemacetan terjadi, ia bahkan sempat menabrak pengendara lain. Di tengah kepanikan itu, Taufik melihat dari arah belakang air berwarna hitam yang lumayan tinggi bergerak dengan kencang.

Taufik memeluk erat putrinya yang saat itu masih berusia lima tahun sampai akhirnya mereka terhempas bersama kerumunan orang lainnya dalam gelombang. Saat tergulung air itu anaknya terlepas dari tangan. Ia sendiri tersangkut dipohon dan selamat.

“Saya selama ini tidak pernah pergi ke kuburan massal untuk berdoa karena saya yakin keluarga saya tidak di situ,” ujar dia. Selama 13 tahun terakhir Taufik selalu berdoa di bekas rumahnya Kompleks Pola Yasa Kajhu Blok F Nomor 22.

“Saya yakin istri ada di sekitar situ, saat air datang mengulung, paling jauh mereka baru berlari sekitar 200 meter. Karena kenangan terakhir ada di rumah, makanya saya ke sana.”

Dari anaknya kecil, Taufik selalu mengajarkan putrinya alamat rumah mereka, jika suatu hari nanti putrinya tersesat, ia tahu jalan pulang.

“Lagi pula, saya yakin putri saya ingat alamat kalau ia selamat pasti akan pulang kerumah,” sayangnya, sudah hampir empat belas tahun, anak perempuan dan istri Taufik tak pernah kembali ke rumah.

“Kalau anak saya masih ada mungkin sudah kuliah,” kenangnya.

Taufik bercerita ia sempat depresi setelah tsunami, istri, anak, serta mertuanya tidak ditemukan. Beragam cara ia lakukan untuk menemukan orang yang dicintainnya itu. Pencarian bertahun itu tidak membuahkan hasil.

“Bahkan, sampai saya mencari orang pintar dan sebagainya.”


Kartu identitas milik istri Taufik Alamsyah. FOTO: Khiththati/acehkitacom.

Firasat Taufik benar, istrinya ditemukan tak jauh dari belakang rumah mereka. Jenazah Sri Yunida dan 45 korban tsunami lainnya ditemukan secara tidak sengaja oleh pekerja pembangunan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) Nirwana, di Dusun Lam Seunong, Gampong Kajhu, Kabupaten Aceh Besar.

Sri Yunida sendiri dikenali dari SIM C yang ditemukan dalam dompet di saku celananya. Walaupun ada kartu identitas yang lain, tapi hanya surat izin mengemudi itu saja yang masih utuh.

Taufik kemudian menguburkan kembali istrinya di perkarangan rumahnya yang sekarang di Desa Lamreung kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, malam itu juga.

Tiga tahun setelah tsunami, Taufik menikah kembali dengan Faiziah (45). “Faiziah juga bahagia saat mendengar kabar Yunida sudah ditemukan karena penantian 14 tahun ini terbayar.

***


Mayat korban tsunami Aceh yang ditemukan di Kajhu, Aceh Besar. FOTO: Khiththati/acehkitacom

Qudri bergegas menuju dusun Lam Seunong pagi Rabu tanggal 19 Desember. Ia mendapatkan kabar bahwa ditemunya jasad korban tsunami tahun 2004.

Warga Kompleks Pola itu masih memakai baju dinasnya. Ia sibuk memberi kabar kepada keluarga yang lain mengenai penemuan ini.

“Keluarga saya yang hilang belum ada yang ketemu jadi setiap ada yang seperti ini saya selalu datang untuk memastikan," kata pagawai Dinas Pendidikan itu.

Qudri dan puluhan warga lainnya menanti satu persatu jenazah yang dibawa ke depan meunasah desa sebagian dari mereka datang untuk menonton dan mengabadikan proses itu.

Penemuan itu menghebohkan warga. Para pekerja perumahan sedang menggali saluran untuk septic tank pada Rabu pagi (19/12) di kompleks perumahan KPR Nirwana. Namun, mereka malah menemukan kantong jenazah dalam jumlah besar tertimbun di tempat itu.

“Selasa sore ada dua orang pekerja yang datang kepada saya mengaku melihat kantong hitam ditempat mereka menggali,” jelas Muhammad Yahya.

“Saya datang untuk melihat dan saya bilang itu mayat, dan karena sudah sore kabar itu kami simpan dulu, terlebih saya kira mungkin hanya dua atau tiga saja,” tambahnya lagi.

Sore itu, kakek 73 tahun itu sedang duduk-duduk di serambi meunasah yang berada tepat di depan lokasi penemuan. Ia tengah bersantai sambil mendengarkan ceramah sore di Radio Baiturrahman sambil menunggu datangnya waktu azan magrib.

“Penemuan jasad korban tsunami satu atau dua itu biasa terjadi sehingga saya tidak panik,” kisahnya lagi. Keesokan paginya selepas melakukan peusijuk dan melakukan penggalian lagi mereka terkejut bahwa ada banyak kantong yang ditemukan.

“Kami tidak pernah mengetahui ada kuburan massal disitu kalau tau tentu saja pembanguan rumah ini tidak akan diizinkan,” ujar Samwil ketua pemuda Desa Kajhu.


FOTO: Khiththati/acehkitacom

Samwil bersama warga lain beramai-ramai melakukan kembali prose fardu kifayah terhadap korban.

“Nanti bagi yang ditemukan identitasnya silahkan diambil dan dibawa pulang tapi kalau mau dikuburkan kembali disini juga boleh.”

Menjelang waktu Isya semua jenazah selesai di salatkan dan siap dikuburkan kembali. Walaupun suasana hujan warga bersemangat melakukan semua prosesnya.

Ada empat jasad yang berhasil teridentifikasi berdasarkan tanda pengenal yang ditemukan dalam kantong jenazah, yaitu Mariam Husin, warga Ule Jurong Baroh, Simpang Tiga, Pidie; Sri Yunida; Faizal Reza warga Idi, Aceh Timur; dan Burhanuddin warga Lambada Lhok, Baitussalam.

Keempat jenazah itu semuanya dibawa pulang oleh keluarga untuk dikebumikan kembali. Jenazah Mariam Husin dan Faizal Reza diantar menggunakan mobil milik PMI Banda Aceh.

“Kita sekeluarga sangat bersyukur dan lega dengan penemuan ini, setiap tahunnya ketika peringatan tsunami kami selalu membuat kenduri dan doa di rumah,” kata Muhammad Fauzi.

Menurut Fauzi abangnya, Faiza Reda memang tinggal di kosan Kajhu. “Abang mahasiswa Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry dan hari itu minggu biasanya kalau nggak ada kegiatan dia dirumah saja.”

Selain karena ditemukan identitas, keluarga meyakini itu Faisal karena pakaian yang dikenakannya.

“Baju itu itu hadiah ibu dan ibu sangat yakin itu Faisal. Penantian ibu selama 14 tahun ini berakhir sudah dan abang ketemu." []



Posted from my blog with SteemPress : http://www.acehkita.com/akhir-penantian-setelah-14-tahun/