Tentang Sejarah, Tentang Dirinya yang Tak Lagi Muda – Bagian 1
Kau pernah mendengar Batavia? Sebuah kota yang pernah sangat maju dulu kala. Mungkin kau lupa, sekadar mengingatkan. Ini kota penuh duka. Penuh tipu daya. Aneka percampuran adat budaya. Disesaki manusia berbagai watak dan ras. Beda bahasa. Warna kulit. Kelamin. Tua. Muda.
Kau tahu? Batavia merupakan pusat dagang yang tidak terlupakan. Tempat bermula VOC[1] menggencarkan tabiatnya ke seluruh nusantara. Mereka menyebut kita Koloni. Kolonis adalah kita yang tinggal di negeri jajahan. Orang yang datang dari negara metropolitan ini memeras negeri kita sampai babak belur. Meraka menyebut kita Kompani padahal jelas-jelas kita penduduk pribumi. Mereka menggelar kemenangan dengan menyeru kita melakukan kerja paksa. Menjadikan nenek moyang kita sebagai budak sampai akhir hayat.
Batavia hanya sebuah nama, nama pemberian untuk daerah jajahan mereka. Dasarnya, kata Batavia merupakan nama sebuah suku, suku yang mungkin kau saja tidak tahu di mana. Suku itu bernama Germanik[2] yang bermukim di tepi Sungai Rhein[3] pada zaman Kekaisaran Romawi. Kau dan aku tidak pernah lupa para penjajah dari Nederland[4] itu tak lain keturunan dari suku bermata biru dan rambut pirang ini.
Kota Batavia tidak bisa dipisahkan dengan Sunda Kalapa yang didirikan di pelabuhan Jayakarta. Kesultanan Banten pernah menguasai pusat perdagangan Kerajaan Sunda ini. Pusat perdagangan yang semula bernama Sunda Kelapa ini didirikan kira-kira pada abad kesepuluh. Masa itu masih lekat zaman Hindu. Lihat saja Prasasti Tugu yang masih berdiri kokoh di perkambungan Batu Tumbuh. Prasasti sejarah ini tidak bisa lepas dari peran Raja Purnawarman.
Ilustrasi
Perebutan kekuasaan kerap terjadi di Batavia. Sampai akhirnya Jepang meluluhlantakkan kota dagang ini tahun 1942. Nama Batavia hilang seiring buaian Jepang pada penduduk untuk memihak mereka. Jepang mengganti Batavia menjadi Jakarta.
Kau mungkin bertanya, aku bukan ingin menceritakan dongeng masa lalu. Ini kenangan sebuah nama. Banyak literatur yang bisa kau pelajari untuk nama Batavia. Kota perdagangan masa silam yang sangat jaya. Penjajah menjadikan Batavia sebagai tumbal menggerakkan tabiat mereka.
Batavia tetap sebagai kota berpengaruh besar, aku pernah berkhayal jika perdagangan bisa terjadi dengan hebat lagi di sini. Negeri kita tidak akan carut-marut. Kau tahu sendiri, Batavia sekarang sudah menjadi sesuatu yang berbeda. Kau boleh bangga menjadi suku Betawi[5], namun kau jangan lupa di Batavia bukan hanya sukumu yang pernah menetap. Banyak dara Bali mengadu nasib masa itu. Warga Tiongkok. Suku lain. Penjajah itu, Portugis, Belanda, sampai Jepang. Mereka banyak menanam benih sebelum lari kalang kabut. Peranakan dari mereka menjadikan kotamu banyak digandrungi naturalisasi.
Banggamu terhadap Batavia atau bahkan Betawi, bukan harus menjadikan negeri ini berpijak pada kebiasaanmu. Perjuangan meraih Batavia menjadi Jakarta sebagai Ibu Kota kerap menghabiskan darah. Bambu-bambu runcing, pengungsian ke pedalaman, perjanjian tipu muslihat sampai penahanan pejuang kemerdekaan. Mereka tidak saja dari Betawi, tujuh belas Agustus bukan milik sukumu saja. Dari titik nol kilometer ujung Sumatra sampai penghabis batas Irian Jaya, mereka sama memperjuangkan kemerdekaan.
[1]Verenigde Oost-Indische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 merupakan perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.
[2]Keturunan Belanda dan Jerman mayoritas berasal dari suku ini.
[3]Sungai Rhein adalah salah satu sungai terpanjang di Eropa, dengan panjang 1.230 km. Sungai ini berasal dari Pengunungan Alpen di Swiss.
[4]Belanda
[5]Suku asli Batavia
Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tentang-sejarah-tentang-dirinya-yang-tak-lagi-muda-bagian-1