HAMPIR HARA KIRI SEBELUM MENJADI PETANI KOPI
Saya tertawa sendiri di atas kursi saat tubuh merebahkan diri. Dikira hanya saya dan beberapa kawan yang berbicara sebelum janari. Pada detik-detik seekor burung membuka kedua sayap dan terbang entah menuju langit yang mana, lamat-lamat suara percakapan menelusuk dinding dari kamar sebelah. Tidak jauh dari percakapan saya dengan kedua orang kawan yang mulai bertumbangan di ruang tengah. Ya, kami berada di sebuah kedai kopi seorang kawan. Ia mempersilakan kami untuk istirah sebelum meneruskan perjalanan. Saya janjian bersama Abah Umed, karena pemilik kedai Kopi Karoehoen itu memesan buku Kota Tujuh Stanza yang diluncurkan sembilan hari sebelumnya. Pertemuan yang menjadi alasan sebuah cerita random yang terabadikan di kedai Kopi Karoehoen Jl. Cimanuk – Garut, Senin malam (25/12/17).
Sebuah peristiwa acak yang menjadi alasan tujuan perjalanan banting arah adalah takdir yang kemudian mengabadikan cerita ini. Saya bersama seorang kawan dengan menggunakan sepeda motor menuju acara pertemuan pegiat literasi (kopdar) di Jatinangor, Bandung. Melewati jalur Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya dari Jalan Galunggung, Kota Tasikmalaya hingga istirahat di Jalan Cimanuk, Garut. Istirah di sebuah kedai seorang kawan, berpagut cerita tentang gerakan komunitas. Dari sinilah awal tujuan berubah arah untuk menghadiri sebuah pertemuan yang dihadiri para pegiat literasi se-Jawa Barat dan nasional.
Akhirnya, saya menginap di Kedai Kopi Karoehoen sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kopdar FTBM di Jatinangor. Tiba-tiba terbersit tentang keinginan untuk menemukan petani kopi yang tidak sekadar berkebun dan usaha saja. Saya mulai menanyakan sosok tersebut kepada Abah Umed dan ia mengenalkan seorang petani kopi yang unik. Ia ternyata masih muda, tetapi telah kenyang dengan dunia bawah tanah. Memilih hutan adalah soal memahami hidup (lagi). Sedang suasana kota adalah sebuah pencarian dirinya untuk warna-warni ilmu pengetahuan. Ia mengatakan demikian karena sekolah pada kehidupan lebih bermakna.
Pada suatu hari ia mencoba hara kiri, menggulung diri dengan gelombang ombak. Hanya saja, seorang anak kecil yang tergulung ombak menghampiri dirinya. Kemanusiaannya bergerak cepat saat itu juga. Menggenggam kaki si anak kecil itu dan membawanya ke bibir pantai. Ombak kecil menyelimuti kedua kakinya, ia merenung soal kematian. Selama belum dijemput malaikat maut, kematian tidak akan pernah bertamu. Sebuah peristiwa yang membuat dirinya berpikir ulang menghargai hidup karena cinta pada seorang perempuan. Dampak permenungan lain yang dialaminya adalah menghargai nasibnya untuk terus hidup. Di sinilah titik awal untuk memurnikan diri. Meski memutuskan pulang ke kampung halaman, tetapi tidak mengetuk pintu rumah yang ditinggali sang ibu. Justru, ia pergi ke sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang-tiang. Ia lebih tenang singgah dan bertapa di tengah hutan. Memutar kembali ingatan untuk menutupi celah-celah kebocoran selama hidup.
Baca lengakap pada tautan: https://raamfest.com/hampir-hara-kiri-sebelum-menjadi-petani-kopi/
Vote exchange site https://mysteemup.club
Hey @vuduabdulrahman, gotta love Steemit! Still awesome platform and community and it's nice having great people contribute so we all benefit. Keep up the good work! Cheers!
Cheers!
Congratulations @vuduabdulrahman! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
To support your work, I also upvoted your post!
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Thank you. :)
Memang sangat menyedihkan sekali bila kita tersadar bahwa pernah mengalami pahitnya cinta sampai harus ingin menghilangkan nyawa sendiri. Beruntung orang-orang yang sadar dan bisa membangun kehidupannya kembali dan telah paham bagaimana menghargai hidup yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Cita telah mengembalikannya. :)