test 1 Anti Cheetah
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu memberikan fatwa dalam masalah di atas, “Potongan rambut wanita bisa jadi modelnya menyerupai potongan rambut laki-laki dan bisa jadi tidak. Bila sekiranya modelnya seperti potongan rambut laki-laki maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang tasyabbuh/menyerupai laki-laki (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas, bab Al-Mutasyabbihina bin Nisa’ wal Mutasyabbihat bir Rijal)
Bila modelnya tidak sampai menyerupai laki-laki, maka ulama berbeda pendapat hingga menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, tidak mengapa. Di antaranya ada yang berpendapat haram. Pendapat yang ketiga mengatakan makruh. Yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu adalah perbuatan tersebut makruh.
Sebenarnya, memang tidak sepantasnya kita menerima segala kebiasaan dari luar yang datang pada kita. Belum lama dari zaman ini, kita melihat para wanita berbangga dengan rambut mereka yang lebat dan panjang. Tapi kenapa keadaan mereka pada hari ini demikian bersemangat memendekkan rambut mereka? Mereka telah mengadopsi kebiasaan yang datang dari luar negeri kita. Saya tidaklah bermaksud mengingkari segala sesuatu yang baru. Namun saya mengingkari segala sesuatu yang mengantarkan perubahan masyarakat dari kebiasaan yang baik menuju kepada kebiasaan yang diambil dari selain kaum muslimin.
Adapun sandal ataupun sepatu yang tinggi, tidak boleh digunakan apabila tingginya di luar kebiasaan, mengantarkan pada tabarruj, dan (dengan maksud) mengesankan si wanita tinggi serta menarik pandangan mata lelaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Maka, segala sesuatu yang membuat wanita melakukan tabarruj, membuat ia tampil beda daripada wanita lainnya, dengan maksud berhias, maka haram, tidak boleh dilakukannya.
Tentang pemakaian make up, tidak mengapa bila memang tidak memberi madharat atau membuat fitnah.
Masalah bercelak ada dua macam:
Pertama: Bercelak dengan tujuan menajamkan pandangan mata dan menghilangkan kekaburan dari mata, membersihkan mata dan menyucikannya tanpa ada maksud berdandan. Hal ini diperkenankan. Bahkan termasuk perkara yang semestinya dilakukan (bagi lelaki maupun wanita, pen.) Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencelaki kedua mata beliau, terlebih lagi bila bercelak dengan itsmid (Celak jenis tertentu).
Kedua: Bercelak dengan tujuan berhias dan dipakai sebagai perhiasan. Hal ini dituntut untuk dilakukan para wanita/istri, karena seorang istri dituntut berhias untuk suaminya. Adapun bila lelaki memakai celak dengan tujuan yang kedua ini maka harus ditinjau ulang masalah hukumnya. Saya sendiri bersikap tawaqquf (tidak melarang tapi tidak pula membolehkan, pen.) dalam masalah ini. Terkadang pula dibedakan dalam hal ini antara pemuda yang dikhawatirkan bila ia bercelak akan menimbulkan fitnah, maka ia dilarang memakai celak, dengan orang tua (lelaki yang tidak muda lagi) yang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah bila ia bercelak.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 8-11)
Dalam masalah sepatu bertumit tinggi, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Al-Walid Abdul Aziz ibn Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memfatwakan, “Memakai sepatu bertumit tinggi tidak boleh, karena dikhawatirkan wanita yang memakainya berisiko jatuh. Sementara seseorang diperintah secara syar’i untuk menjauhi bahaya berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Janganlah kalian membunuh jiwa kalian.” (An-Nisa’: 29)
Selain itu, sepatu bertumit tinggi akan menampakkan tubuh wanita lebih dari yang semestinya (lebih tinggi dari postur sebenarnya, pen.). Tentunya yang seperti ini mengandung unsur penipuan. Dengan memakai sepatu bertumit tinggi berarti menampakkan sebagian perhiasan yang sebenarnya dilarang untuk ditampakkan oleh wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka atau bapak-bapak mertua mereka (ayah suami) atau anak-anak laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari suami-suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki dari saudara lelaki) atau keponakan laki-laki dari saudara perempuan mereka atau di hadapan wanita-wanita mereka.” (An-Nur: 31) [Fatwa no. 1678, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 17/123-124]
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://babaraonline.wordpress.com/2013/04/19/hukum-seputar-berhias/