Di Balik Rasa Pahit Kopi
Dani menatap cangkir kopi di depannya. Asap tipis masih mengepul, membawa aroma yang khas—pahit, kuat, dan sedikit membakar di hidung. Ia menyeruput perlahan, membiarkan rasa pahit itu memenuhi lidahnya. Seperti hari-harinya belakangan ini, semuanya terasa pahit.
Hidup tak pernah memberinya banyak pilihan. Sejak kecil, ia sudah terbiasa bekerja keras, membantu ibunya menjual gorengan di pinggir jalan. Ayahnya meninggal saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar, dan sejak itu, tanggung jawab keluarga perlahan berpindah ke pundaknya. Dani tidak pernah mengeluh, tetapi sering kali ia bertanya dalam hati, mengapa hidup harus seberat ini?
Hari ini, kepahitan itu terasa semakin pekat. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya di sebuah pabrik kecil. Pandemi yang datang membawa dampak buruk, membuat perusahaan harus mengurangi jumlah karyawan. Dani, yang belum lama bekerja di sana, termasuk salah satu yang harus pergi.
Ia menarik napas panjang. Pahit. Seperti kopi yang kini tinggal separuh. Namun, ia tahu, di balik kepahitan itu selalu ada sesuatu yang bisa dinikmati—kehangatan, aroma yang menenangkan, dan semangat yang perlahan tumbuh kembali.
Dani menatap ke luar jendela. Matahari mulai muncul, menyinari jalanan yang basah oleh hujan semalam. Ia menyadari sesuatu: pahitnya kopi bukan untuk disesali, tapi untuk dinikmati. Seperti hidup, pahit bukan berarti akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih baik.
Ia meneguk sisa kopinya, lalu bangkit. Sudah saatnya mencari jalan baru.