Aksi Menahan Massa
Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi ketika ribuan orang memadati jalan utama kota. Mereka membawa spanduk, meneriakkan tuntutan, dan berjalan dengan penuh semangat. Demonstrasi damai yang awalnya teratur, perlahan mulai berubah menjadi gelombang kemarahan yang tak terkendali.
Di garis depan, Inspektur Rahman berdiri tegap bersama timnya. Mereka mengenakan seragam lengkap, rompi anti huru-hara, dan tameng pelindung. Polisi telah diperintahkan untuk menjaga ketertiban dan memastikan aksi berjalan damai. Namun, ketegangan meningkat ketika beberapa demonstran mulai melempar botol air dan batu ke arah petugas.
“Kita harus tetap tenang,” kata Inspektur Rahman kepada anggotanya. “Jangan terpancing!”
Namun, situasi semakin sulit dikendalikan. Seorang provokator dari kerumunan mulai mendorong barikade polisi, memicu reaksi berantai. Suara tembakan gas air mata terdengar, dan massa mulai bergerak liar. Beberapa orang berlarian, sementara yang lain tetap bertahan, berhadapan langsung dengan polisi.
Rahman melihat seorang pemuda dengan wajah tertutup syal berusaha memanjat mobil polisi. Dengan sigap, dia bergerak maju, menahan pemuda itu sebelum situasi memburuk. “Kamu tidak ingin ini berakhir dengan kekerasan, bukan?” tanyanya tegas.
Pemuda itu terdiam. Matanya menatap tajam, namun ada keraguan di dalamnya.
Saat itu juga, dari belakang kerumunan, seorang tokoh masyarakat datang dan berdiri di tengah jalan, mengangkat tangan. “Saudara-saudara! Kita di sini untuk menyuarakan kebenaran, bukan untuk merusak!” serunya.
Suasana hening sejenak. Beberapa orang mulai menurunkan tangan mereka yang menggenggam batu. Inspektur Rahman menarik napas lega. Dengan sedikit dorongan dari para pemimpin aksi, massa akhirnya mulai mundur perlahan.
Malam itu, kota kembali tenang. Tidak ada korban jiwa, tidak ada pertumpahan darah. Inspektur Rahman tahu, menangani massa bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga tentang ketenangan, strategi, dan kata-kata yang tepat di saat genting.