BENANG MERAH PENANTIAN
Kuraba pada sesuatu yang coba hinggap di bahu,
Benang merah, berserbuk kaca.
Setiap saat bisa menyayatkan luka...
Bahkan patahkan mata pisau, Tanpa terasa.
Benang itu tangkai kuntum,..
Mawar berduri banyak, dari layangan putus benang.
Mencari, memilih...
Landasan hinggap untuk berpijak.
Agar tak terkapar, di jalan setapak.
Aku belum berusaha pergi,
Dari binar yang menohok kesepianku yang memang sepi.
Dan dia sepertinya mengerti, tentang musim ini,
Ketika mencoba menyudutkan untuk satu putusan,
Membebankan
Untuk menjadi satu penantian.
Ini …, mestikah jadi dillema?
Di luar permohonanku.
Di luar do’a ku.
Di luar sujudku.
Dia seperti terlemparkan,
Dilemparkan, atau melemparkan diri pada lajurku.
Jalur yang menambatkan aku di dermaga ini.
Terminal penantian...
Tak semua yang bertandang
Mengalir jadi sya’ir.
Tapi dirimu memaksakan rhytme,
Menutupkan salam pada sajak sajak yang sama.
Memberi jalan mesti tak kubuka.
Memberitanda, meski tak kuraba.
Mengharap canda,
Kendati tak kusapa.
Aku masih mampu meraba hatiku.
Yang masih bertengger tanpa geming di singgasana nya.
Dan tak terpungkiri, bila masih menanti ketukan hati.