Jelang Pilpres 2019, Belajar lah dari Perang Padri

in #perang6 years ago

Perang Padri adalah salah satu perang yang berlangsung paling lama di Indonesia. Perang yang terjadi di Minangkabau atau Sumatera Barat ini diawali dari perbedaan keyakinan tentang bagaimana cara menjalankan Islam. Perang yang terjadi antara Kaum Padri dan Kaum Adat menjadi cukup besar sehingga menarik perhatian Belanda, dan membuat Sumatera Barat–saat itu Kerajaan Pagaruyung–menjadi rentan dan akhirnya jatuh ke tangan penjajah.

Pasca Pilpres 2014, politik identitas menjadi suatu akar masalah yang tak jarang dijumpai di masyarakat Indonesia. Isu konservatisme agama, khususnya Islam, kian menonjol menjelang Pilpres 2019. Kondisi ini mengingatkan kembali akan babak sejarah Indonesia di masa lalu, jauh sebeluh proklamasi kemerdekaan, yakni Perang Padri di tanah Minangkabau, Sumatra Barat, awal dekade 1800-an.

Konflik laten horizontal saat ini di Indonesia sesungguhnya tak jauh berbeda dengan kelamnya perang saudara di era Perang Padri. Perang yang tercatat dalam sejarah Nusantara sebagai salah satu perang saudara terbesar yang pernah terjadi tersebut ditimbulkan oleh perbedaan pandangan agama dan tradisi, dua identitas kuat yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat hingga kini.

IBADAH HAJI DAN MENUNTUT ILMU AGAMA DI ARAB SAUDI

Seiring kepopuleran Wahabi di Mekkah, Arab Saudi, kalangan ulama kerap menggunakan busana jubah dan surban untuk menunjukkan identitas keislaman mereka. Nanang Tahqiq, dosen Fakultas Ushuluddin dan Falsafah Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan bahwa pemakaian jubah bertujuan menunjukan siapa “kami” dan siapa “kamu.” Di tengah kesulitan masyarakat akibat kolonialisme Belanda, para ulama Islam memilih mengenakan jubah untuk terlihat berbeda dari kolonial Belanda maupun masyarakat setempat yang tak memiliki cukup pengetahuan agama Islam.

Menurut Nanang, jubah atau pakaian gaya Arab pertama kali diperkenalkan di Nusantara oleh para pedagang Arab. Selanjutnya, orang-orang yang pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji maupun menuntut ilmu agama akan kembali ke Hindia Belanda (Indonesia saat itu) dengan mengenakan pakaian jubah. “Jubah di sini sebagai petanda (signified) dan penanda (signifier) bagi orang yang memiliki ilmu agama (Islam) yang tinggi,” kata Nanang.

Kees van Dijk dalam tulisannya “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi,” yang dimuat di Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan menjelaskan bahwa pada abad ke-19, perjalanan haji ke Mekkah masih merupakan perjalanan yang panjang dan berbahaya serta hanya dapat dilakukan oleh relatif sedikit orang Indonesia. Mereka yang kembali dari perjalanan haji biasanya mengadopsi jubah gaya Arab yang kala itu disebut “kostum Muhammad dan surban.” Selain menunjukkan identitas keislaman, jubah juga menguatkan pandangan bersama kaum ulama yang memupuk sikap anti-kolonialisme di Tanah Suci.

KAUM PADRI DAN KAUM ADAT, REFORMIS VERSUS TRADISIONALIS

Tak hanya perbedaan berbusana, kaum ulama dan mereka yang sudah haji juga menunjukkan perubahan perilaku dalam bermasyarakat. Perkembangan Islam yang cukup pesat di tahun 1800-an tak bisa dipungkiri mulai menggeser hegemoni kehidupan adat dalam setiap segi kehidupan masyarakat Minangkabau. Saat itu mulai terbentuk dua kubu sama kuat yang dikenal dengan sebutan Kaum Padri dan Kaum Adat. Istilah Padri sendiri berasal dari bahasa Spanyol “Padree” yang berarti pendeta atau petinggi agama.

Kaum Padri dipimpin oleh tokoh-tokoh yang memegang teguh ajaran dari Muhammad bin Abdul al-Wahhab–yang kemudian sering disebut sebagai Wahabisme–yang mereka pelajari saat menunaikan ibadah haji maupun menuntut ilmu agama di Arab Saudi. Seiring merebaknya Wahabisme di Arab Saudi, ajaran puritanisme Islam tersebut juga tertanam kuat di kalangan haji maupun pelajar dari Saudi. Sepulangnya mereka ke Indonesia, selain mulai mengenakan jubah sebagai simbol identitas, mereka juga memiliki “tujuan mulia” menyebarkan ajaran Islam yang sempurna dan murni di masyarakat, dalam hal ini di Minangkabau, Sumatra Barat.

Di lain pihak, Kaum Adat merupakan kaum yang mengikuti tradisi leluhur dan memegang teguh adat istiadat Minangkabau. Meski demikian, karena pesatnya persebaran Islam di Sumbar, sebagian besar dari Kaum Adat sudah memeluk ajaran Islam.

Ketika Kaum Padri berusaha memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk adat istiadat yang bertentangan atau dianggap “bid’ah,” Kaum Adat justru semakin kuat melaksanakan kebiasaan adat masyarakat Minang kala itu yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, mengunyah sirih, merokok, memakai madat, dan minum minuman keras.

Perdebatan sengit lainnya antara Kaum Adat dan Kaum Padri ialah mengenai pembagian waris berdasarkan garis pihak perempuan atau “matrilineal” dalam kebudayaan Minangkabau, yang dikutuk oleh Syekh Ahmad Khatib karena berbeda dengan hukum waris dalam Islam yang berbau patriarki. Selain itu, Kaum Padri juga menyayangkan longgarnya pelaksanaan ritual ibadah wajib dalam Islam di masyarakat setempat.

Baca Selengkapnya: https://www.matamatapolitik.com/sejarah-belajar-dari-perang-padri-ketika-indonesia-dipecah-belah-agama/