MURID-MURID YANG JENUH BELAJAR

in #pendidikan7 years ago (edited)

clases_suexo.jpg_525981578.jpg (Sumber Foto : filo.news)

Sebelum menjadi seorang pengajar atau pendidik, katakanlah saya sebagai guru dalam arti tersebut. Seseorang yang mentransfer ilmu kepada para perserta didik di sekolah formal. Sebelumnya, saya pernah menjadi murid juga. Menjadi penerima materi dalam proses belajar mengajar. Contoh pngalaman ini akan saya arahkan ke suasana Sekolah Menengah Atas (Senior High School).

Dulu sekali, banyak guru (teacher) yang mengajar di kelas saya dengan metode-metode pembelajaran yang menjenuhkan. Bukan hanya saya, tetapi teman-teman saya pun merasakan demikian. Kejenuhan itu mulai datang setelah kami mengenal guru-guru tersebut menggunakan cara mengajarnya dengan ‘berceramah’. Metode itu kami anggap menjenuhkan sekali. Tidak ada simulasi atau games dalam proses pembelajarannya. Kami hanya mendengarkan materi tanpa berdiskusi. Waktu itu kami disuapi ilmu-ilmu hafalan, konsep-konsep para ahli, teori-teori pelajaran yang tercetak di buku paket pelajaran. Jika guru sedang berhalangan mengajar atau tidak masuk kelas. Kami sering di luar dan berbincang tentang banyak hal, sebagian teman lainnya ada yang ke kantin untuk membeli jajanan, sisanya ada di kelas sambli menulisi hal hal yang menjenuhkan, atau sekedar ngobrol dengan nada bicara yang membuat gaduh seisi ruangan.

Era tahun 2000-an kami sudah mulai merasakan perkembangan teknologi informasi. Kami mulai merasakan styles dalam bergaul dan berpenampilan yang keren dengan acuan kelompok-kelompok yang ngehits pada zaman itu, semisal gayanya anak-anak band dan anak-anak ekstrakurikuler Basket. Apa yang dikenakan mereka seolah, itulah yang keren, gaya, stylist, dan gaul. Pada era tersebut pun kami mulai mengenal sepeda motor yang dimodifikasi dengan knalpot balap (racing), dicat dengan pilox, body yang ditempel sticker punk rock, dan jenis variasi sepeda motor lainnya. Sehingga beberapa teman yang memiliki sepeda motor, sering berdsikusi soal itu. Di zaman saya, seorang teman yang membawa sepeda motornya ke sekolah itu kalah kerennya dengan anak seni sastra, yang terlihat kucel dan lebay, sok idealis dan pendiam. Teman laki-laki yang membawa motor itu, sering dikerumuni perempuan-perempuan cantik. Bahkan mereka (teman perempuan saya) sering berkompetisi dengan teman perempuan lainnya, untuk mendapatkan hati si pemilik motor, supaya bisa nebeng di motornya. Cukup ngeri memang. Karena persoalan gaya akan selalu menjadi daya tarik setiap manusia, dan kita kadang tidak mau kalah dalam menggunakan gaya-gaya hidup yang uptodate.

Korelasi antara murid-murid yang jenuh belajar dengan gaya hidup yang merajai mereka. Di tahun ini pun saya merasakan kembali kondisi yang saya ceritakan di atas. Sebagai guru saya merasakan ‘karma’ dari perbuatan saya dulu ketika jadi siswa, yang apatis terhadap cara mengajar guru di depan kelas. Tetapi yang menjadi pembedanya ada pada sikap kesantunan dan kesopanan pelajar zaman now dengan murid zaman doeloe. Zaman dulu, kami masih memiliki kesopanan terhadap guru yang sudah berjuang mengajarkan kami materi pelajaran dan pengalaman-pengalaman berharga dari mereka. Tapi zaman ini, di tahun 2018 ini. Saya merasa murid-murid kurang mengenal arti kesopanan terhadap orang dewasa, apalagi orang tua dan guru-gurunya.

Contoh kecil saja. Ketika di kelas, saya tengah membuat simulasi dalam pembelajaran menulis Puisi Rakyat. Metode atau cara belajar yang dipakai sangat sederhana, siswa ditugasi untuk membuat “syair” lalu dimusikalisasikan. Tujuan saya membuat simulasi dari pembelajaran puisi rakyat tersebut adalah, agar siswa dapat menelaah syair yang dibuatnya dengan sentuhan seni musik atau membuat syair menjadi lebih kuat dengan pengemasannya oleh lagu atau nada yang mereka ciptakan sendiri atau bisa mengambil dari lagu yang sudah ada.

Dari hasil pengamatan saya, ketika menjelaskan langkah-langkah atau proses pembuatanya, saya dengan keras menerangkannya, dan membimbing mereka dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Tetapi tanggapan mereka cukup membuat saya sedikit kecewa. Mereka tidak langsung mempraktikannya, malah ada yang sedang membuat tugas dari pelajaran lain di luar pelajaran Bahasa dan Sastra. Pada akhirnya saya tegur. Di beberapa kursi dan meja yang terisi di bagian kanan ruangan, ada murid yang tengah menggambar di buku catatannya paling belakang. Selebihnya, mereka hanya ngobrol dan asyik dengan candaan yang entah apa tema pembicaraannya. Bahkan ada pula yang tiduran, seperti malas dengan kegiatan pembelajaran.

Saya berasumsi bahwa mereka melakukan hal-hal demikian, terlihat jenuh dengan kegiatan belajar formal mereka di sekolah. Mungkin karena cara saya mengajar kurang membuat mereka greget. Namun ketika saya berdiskusi dengan teman sejawat saya di sekolah, mereka pun kewalahan dengan murid-murid zaman sekarang, yang kurang aktif dan kurang beretika, dan mungkin juga mereka sudah terlena dengan asyiknya teknologi informatika, yang membuat mereka dengan mudah mekases bahan materi, juga berbagai kesenangan mereka dengan games-games canggih, juga tontonan-tontonan di dalam media sosial yang lucu-lucu. Dari persoalan tersebut, saya harap kita sebagai pengajar dapat terus berpikir dan menyusun strategi secara kontekstual dan dekat dengan keseharian mereka, serta system kurikulum pendidikan pun, harus lebih dikembangkan lagi. Agar ada keselarasan dalam berbagai aspek. Sehingga muncul solusi-solusi yang canggih dan tepat guna. (Ihsan Subhan)

Cianjur, 2018