Guru, Pahlawan dengan Tanda Jasa
Kata orang, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, tidak bagi saya. Enam hari setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Kaisar Hirohito (bertakhta 1926-1989) berupaya membangun kembali bangsanya yang telah luluh lantak itu. Caranya, memerintahkan menteri pendidikannya untuk menghitung jumlah guru yang tinggal dan masih hidup. Menurut kabar, jumlah guru yang tersisa di Jepang pada saat itu sebanyak 45.000 orang.
Kaisar memberikan lima perintah kepada guru. Pertama, guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu. Kedua, guru harus lebih disiplin dari murid. Ketiga, guru harus lebih pintar daripada murid. Keempat, pendidikan itu harus bisa menuntun industri. Kelima, para guru dikirimkan ke luar negeri, diminta sang kaisar belajar dengan benar, lalu pulang ke Jepang.
Bagi saya yang menarik dari kisah ini adalah “candunya” kaisar pada sang guru. Ia butuh guru untuk membawa Jepang bangkit dari keterpurukan. Hanya itu? Tentu tidak. Mari kita ke pedalaman Papua.
Barnabas Kedeikoto, namanya. Ia lulusan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bakti Jayapura pada 1968. Barnabas mengabdikan diri untuk menjadi guru di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Paniai.
Liputan6.com mengisahkan, sepanjang hidupnya, pria ini tidak pernah keluar dari tempat tugasnya di pedalaman pulau kepala burung ini. Bahkan meski sekadar mengunjungi keluarga di kampung halamannya. Itu pun tidak dilakukannya.
Saat liburan, hampir semua guru pergi ke kota. Namun dia tidak pernah meninggalkan tempat tugasnya. Hingga masyarakat pun menyebut dia "tekoda ewanetai kudu" yang artinya guru penjaga sekolah.
Pria yang biasa disapa Pak Guru Kedeikoto ini biasanya tidak sampai setahun menjadi pengajar di satu kampung dan terus berpindah ke kampung lain, hingga seluruh pedalaman Papua betul-betul dijelajahi dan dikenalnya.
Walau harus jalan kaki melewati gunung terjal, lereng bukit dan lembah untuk berpindah dari kampung satu ke kampung lainnya, pak guru tetap jalani tugas dan tanggung jawabnya dengan setia demi mengabdi bangsa dan negara.
Di masa tuanya, pada 1989 Pak Guru Kedeikoto kembali ke kampung halamannya di Modio untuk menetap di sana. Kampung ini terletak di bagian selatan Kabupaten Paniai.
Padahal ada nota tugas dari dinas pendidikan agar Pak Guru Kedeikoto bertugas di kampung lain. Namun Kedeikoto bersikeras ingin mengabdi dan menetap di kampung halaman sendiri.
Akibatnya, selama 5 bulan beliau mengajar di SD YPPK Modio tanpa gaji dan jatah beras. Pada bulan berikutnya setelah kepala sekolah di tempat beliau mengajar melaporkan ke dinas barulah gaji dan jatah berasnya dialihkan kembali untuk Pak Guru lewat Kepala Kampung kampung tempat beliau mengajar.
Cukuplah dua kisah luar biasa itu yang sampaikan. Pastinya ada ribuan kisah keteladanan guru yang terkadang diabaikan oleh banyak orang. Mereka lupa bahwa mereka sendiri dan generasi negeri ini mampu menembus peradaban dunia semata-mata hanya karena guru.
Mereka juga lupa bahwa segala cara yang dia tempuh untuk menembus batas-batas tirani kebodohan adalah karena guru. Mereka juga lupa bahwa kegelapan menjadi terang benderang manakala guru hadir meneranginya. Ia ibarat lilin yang rela dirinya termakan api asalkan dapat menerangi alam semesta ini. Ia juga ibarat sumbu yang sedikit demi sedikit “dilahap” api. Sumbu itu lama kelamaan hilang tak berbekas, dan orang pun kemudian lupa bahwa “sumbu” pernah meneranginya.
Dengan melimpah ruahnya pengorbanan guru itu, patutkan ia disebut pahlawan tanpa tanda jasa? Patutkah ia dibayar 5 ribu per jam? Sementara di sana banyak orang yang telah “dimanusiakan” oleh guru melahap bayaran jutaan rupiah.
Mereka yang telah “dimanusiakan” itu hidup berselemak harta, sementara guru harus menahan sakit, mengikat perut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika guru mengeluh, banyak orang bersilat lidah sambil berkata “Ikhlas, yang sabar”. Sampai kapan guru harus ikhlas dan sabar. Tanpa dinasihati pun, ikhlas dan sabar telah meudarah gapah dalam dirinya.[]