Menggugat Dikotomi Dunia-Akhirat Perspektif Ahli Agama

in #life7 years ago


Bagaimana pendapat kalian dengan sekelompok orang yang mudah mengafirkan orang lain? Bagiku, sikap itu menggemaskan. Diajak diskusi pun percuma, karena ujung syarafnya sudah beku. Orang seperti itu biasanya akan berdakwah secara bawah tanah, meneglegasi/meniadakan nilai ukhuwah, gerakan dakwah bukan dari kelompoknya dianggap sebagai saingan. Setidaknya itu yang kusaksikan dan kualami. Tanpa ikut terlibat semangat takfiri, mereview penalaran diri akan mengokohkan keyakinan. Dan itulah gunanya ber-otak, kecuali yang otaknya masih dikemas rapi.

Berbicara manusia selalu penting membicarakan masa lalunya. Masa lalu itulah yang disebut sejarah. Dari sejarah, sebuah komunitas akan dapat dipahami nilai terkini yang dianut komunitas tersebut. Nilai inilah yang melatarbelakangi sikap. Menafsir ulang sejarah tentu berimbas pada review nilai yang dianut. Perubahan nilai inilah yang diharapkan menjadi perubahan sikap sebuah kelompok. Itu yang saya tawarkan. Jika tidak laku, yo ben!

Dalam konteks agama, pedoman yang menjadi pegangan umat adalah firman Tuhan yang dapat dilihat dalam bentuk firman tertulis, begitu kebanyakan agama dipahami. Dalam keyakinan saya—dan sebagian orang, firman Tuhan juga dituangkan dalam kalimat tidak tertulis yang dikenal sebagai alam semesta. Dua jenis firman itu bagi saya sama-sama penting, karena keduanya menuntun pada keutuhan pemahaman. Pertanyaannya, mana yang lebih utama, firman tertulis atau firman yang tidak tertulis? Jawabannya (versi saya) adalah; dua-duanya utama. Tuhan memberi dua jenis firman untuk memudahkan manusia menemukan jatidirinya. Mengapa? karena Tuhan memberikan dua modal keunggulan kepada manusia; hati dan akal. Hati lebih digunakan untuk memahami firman tertulis, dan otak lebih digunakan untuk firman tidak tertulis (kauniyah). Oleh karena itu, ulama (versi saya) adalah orang yang tidak hanya memahami firman tertulis, tetapi juga orang yang memahami firman tidak tertulis karena Iman kepada Tuhan. Yang ideal adalah ulama yang memahami kedua jenis firman tersebut. Pertanyaan selanjutnya, mana yang lebih baik, ahli firman tertulis atau ahli firman tidak tertulis? Bagi saya keduanya penting, tidak ada yang lebih baik satu dengan yang lain, dengan syarat; sama-sama percaya adanya Tuhan. Hati tanpa otak, dakwah seperti dagang, rebutan pengikut. Yang mau jadi jamaah ustad model begitu hanyalah para PMI yang kehilangan harapan. Sebaliknya, Otak tanpa hati, hidup akan nir-iman yang menganggap kitab suci setara puisi.

Urusan dunia dan akhirat berkorespondensi satu-satu. Eksistensi di dunia menentukan posisi akhiratnya. Mana yang lebih diutamakan masuk surga dari kedua ahli jenis firman Tuhan tersebut? Jika keduanya sama-sama beriman, maka kebermanfaatannya bagi sesama makhluk Tuhan lah yang paling utama. Bukankah Tuhan pun memerintahkan ketiga hal berikut dilakukan secara bersamaan; beriman, saling mengingatkan dan berbuat kebaikan? Dan tidak boleh memilih diantara ketiga itu kecuali merugi. Jadi, meyakini bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu firman Tuhan yang tertulis merupakan tafsir masa lalu yang perlu dikritisi. Wallahu a’lam bishawab.

Taipei, 6 mei 2018, 01.40 am