Anak Inklusif, Kenapa Jumlahnya Selalu Bertambah?

in #ksi6 years ago (edited)

22 x10RP.jpgDunia pendidikan anak usia dini, sudah aku geluti sejak tahun 2001. Dimulai dengan mengasuh anak-anak sendiri, lalu bertambah dengan anak-anak teman pengajian, dan selanjutnya anak-anak tetangga ikut bergabung.
Mulailah resmi mendirikan sebuah lembaga pendidikan berijin operasional dan diakui keberadaannya.
Di tahun pertama, kami mendapat amanah mengasuh anak didik berkebutuhan khusus namun gejalanya ringan saja. Sulit berkonsentrasi. Dengan terapi dan penanganan yang serius, semua bisa terselesaikan tepat pada waktunya. Artinya ketika anak diharuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dia sudah siap.

Tahun demi tahun hingga saat ini, jumlah peserta didik kami berubah-ubah. Terkadang hanya separuh kelas, dua pertiga kelas, namun ada saaatnya sekelas penuh.
Tentu saja dari tahun ke tahun kami selalu menambah kualitas, baik dari sisi sarana, prasarana, metode pembelajaran dan yang jelas menambah keceriaan anak menikmati masa usia dininya.
Dari sisi keilmuan, karena pengalaman memang guru yang terbaik, ditambah dengan berbagai diklat dan pelatihan, tentu saja a sampai z dunia pendikan anak semakin erat melekat dalam diri kami. Bagaimana menangani perilaku sosial emosi anak, tumbuh kembang dan kognitif bahasa serta kreativitas anak.

Namun yang cukup mengherankan, dari data yang kami anaisa setiap tahun, didapat fakta bahwa jumlah anak inklusif semakin bertambah!
Dari gejala ringan, hingga yang cukup berat sekalipun, semua kami layani dengan niat yang tulus. Karena mereka juga punya hak yang sama dengan anak seusianya.

Ini memacu kami untuk belajar dan belajar lagi. Juga menjadi bahan riset kami, mengapa anak inklusif jumlahnya semakin bertambah.

Didapatlah kesimpulan, walau tidak ilmiah namun fakta di lapangan membuktikan. Pengalaman kami juga cukup menguatkan.

  1. Anak inklusif muncul karena pola asuh orang tua
  2. kurangnya penanganan yang cepat sedini mungkin saat anak belum bersosialisai dengan dunia luar
  3. Tidak jeli menanggapi 'ketidak wajaran' yang sebenarnya sudah muncul, namun kerap dianggap sepele, berharap akan berubah sesuai perjalanan usia.
  4. Karena gaya hidup yang serba instant, ingin cepat sehat ketika anak sakit ,ingin makanan cepat saji, ingin cepat dan mudah mencapai suatu tempat , dan lain-lain.
  5. Orang tua Kurang bersosialisasi dengan 'mahluk hidup ' di sekitarnya. Asyik bersosialisai dengan mahluk hidup nun jauh di sana. Namun ketika mendapat ilmu dari share grup misalnya, skip! Padahal mungkin saja ada ilmu praktis yang bisa dterapkan dikeseharian.
  6. Perkembangan teknologi yang mengakibatkan radiasi tingkat tinggi
  7. Kurang olah raga di alam terbuka.

Itulah sebab yang disinyalir pemicu munculnya anak-anak inklusif. Bahkan betapa miris ketika kita mendapatkan anak didik yang sebetulnya memiliki ke inklusifan namun orang tua tidak merespon, hanya menganggap hal biasa. Ini sangat menghambat proses 'rehabilitasi'. Orang tua tidak kooperatif.

Duh, Bu, halooo!
Ini anak-anak milineum yang harus siap menghadapi tantangan di masa depan. Harus menang bukan jadi pecundang. Harus menjadi generasi yang kuat bukan generasi yang gawat.
Daaan, itu semua tidak bisa instan, harus dibekali dari sekarang. Mari menyadari dan mengisi kelemahan anak, bukan menjejali dengan apa yang bukan porsinya.
IMG20180125140720.jpg
Bekali dengan banyak pengalaman

IMG-20180109-WA0044.jpg
Keceriaan yang tak boleh hilang

IMG20180103110139.jpg
berkolaborasi dengan sebaya

Sort:  

Congratulations @kudo12! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

You can upvote this notification to help all Steem users. Learn how here!