Cyber Crime : Ancaman Pidana Pelaku Penistaan Agama Menurut UU ITE

penistaan agama adalah penghinaan atau celaan yang merendahkan agama. Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Elektronik (UU ITE) adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU ini. Secara umum, UU ITE dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi eletronik dan pengaturan yang dilarang. Perbuatan yang dilarang (cyber crime) yang diatur dalam UU ITE, antara lain, kesusilaan, perjudian, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Kejahatan dunia maya (cyber crime) adalah istilah yang mengacu pada aktivitas dengan komputer atau jaringan kumputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Kejahatan tindak pidana komputer baik dilakukan oleh pelaku terhadap sistem komputer sebagai sasaranya atau menggunakan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan terhadap apa pun yang menjadi sasarannya, sesuai apa yang diinginkannya.

Tindak pidana penistaan agama yang dilakukan di dunia cyber atau dunia maya yang menggunakan teknologi elektronika atau internet tercantum dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Perbuatan yang dilarang dalam pasal 2 ayat (2) UU ITE ini sebenarnya bertujuan untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negative yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.

Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, ,maka pasal 28 ayat(2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tertentu, dengan dasar hukum yang kuat.

KUHP menjelaskan, secara umum penghinaan diatur dalam Bab XVI dan dikelompokkan menjadi 7 bagian yakni, menista, fitnah, penghinaan ringan, penghinaan terhadap pegawai negeri, pengaduan fitnah, persangkaan palsu, dan penistaan terhadap orang mati. Selain itu, di dalam KUHP juga terdapat bentuk- bentuk penghinaan yang lebih khusus seperti penghinaan terhadap presiden/ wakil presiden, penghinaan terhadap Negara, penghinaan terhadap Badan/ Kekuasaan Umum, penghinaan terhadap Golongan, dan termasuk juga di dalmnya penghinaan (Menista) terhadap Agama.

Dalam Undang-Undang ini terdapat 19 bentuk tindak pidana di dalam pasal 27 sampai 37. Satu diantaranya merupakan tindak pidana khusus, ynag dimuat dalam pasal 27 Ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses-nya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Unsur unsur menista agama terdiri dari, perbuatan: mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya.
Melawan hukum: tanpa hak,
Objeknya: informasi elektronik dan/atau, dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Disamping itu pasal 156a KUHP yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutuskan kasus penodaan/ penistaan terhadap agama. Bunyi pasalnya adalah:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan/penistaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan kepada ketuhanan yang maha Esa.’

menurut UU ITE, setiap yang menistakan agama dipidana dapat dihukum hingga enam tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar. Hukuman ini lebih tinggi dari ketentuan UU No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan/penistaan agama. Terlihat bahwa saat ini pengadilan ini lebih memilih untuk menghukum individu karena melakukan penistaan agam dengan menggunakan ketentuan yang yang lebih keras dibawah UU ITE dari pada keputusan presiden No 1/PNPS/1965 atau pasal 156a KUHP . Jika pengadilan harus memilih antara UU ITE dan KUHP dalam kasus mengadili penista agama, pengadilan cendrung lebih memilih menggunakan UU ITE. Sejak 2008, setidaknya tiga orang lebih yang telah dihukum karena tindakan yang dianggap mencemarkan atau menistakan agama berdasarkan pasal 28(2) dan UU ITE.

Ketentuan lain, pada pasal 27(3) UU ITE juga telah digunakan untuk menuntut sesorang yang melakukan tindak pidana penistaan agama.

Happy Reading 🤗