Are we live in age of anger? or apakah kita hidup di zaman kemarahan?

in #indonesia7 years ago (edited)

Pankaj Mishra menulis sebuah buku berjudul "Age of Anger: A History of the Present" pada tahun 2017. Penulis asal India ini menggunakan kata kunci anger untuk melihat fenomena global saat ini. Dalam bahasa Indonesia kata ini dapat diartikan kemarahan. Sebuah kata yang menggambarkan situasi penuh kerisauan, kegelisahan serta putus asa.

220px-Age_of_Anger.jpg
http://www.bestoftheleft.com/_1125_understanding_and_surviving_the_age_of_anger

Mishra menggunakan kata ini untuk menyadarkan umat manusia mengenai hal yang sedang dihadapi. Meningkatnya aksi terorisme, Islamophobia serta politik ultra sayap kanan di dunia bagi Mishra merupakan bentuk kemarahan yang diwujudkan.

Tesis Mishra agaknya tepat untuk menjadi cerminan situasi manusia saat ini. Kemunculan hoax dan aksi vigilantisme atas nama agama ataupun nasionalisme yang terjadi di Indonesia juga merupakan efek lanjut dari kemarahan yang diwajarkan saat ini. Kita mulai membiasakan menampilkan kemarahan dihadapan publik dan tanpa rasa sungkan mewujudkan kemarahan dalam tindakan nyata.

Dalam pandangan penulis, kemarahan yang disebut oleh Mishra pada dasarnya lahir atas ketegangan menghadapi perubahan zaman. Dalam era saat ini berbagai identitas, nilai, serta norma yang berbeda dapat bertemu dalam satu ruang dan waktu yang sama dengan proses yang sangat cepat. Proses yang cepat tersebut dapat terjadi karena kecanggihan transportasi yang sanggup memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan jumlah yang banyak. Selain itu kian masifnya pengaruh media sosial dalam komunikasi global membuat peristiwa dibelahan dunia lain dapat dikonsumsi oleh masyarakat dunia hanya dalam hitungan detik.

170124_BOOKS_anger.jpg.CROP.promo-xlarge2.jpg
http://www.slate.com/articles/arts/books/2017/01/age_of_anger_by_pankaj_mishra_reviewed.html
Kemarahan yang diwajarkan tersebut bahkan sampai pada titik mengkhawatirkan, dimana ia dianggap sebagai sebuah keadilan. Seseorang berhak untuk mewujudkan kemarahan atas dasar rasa keadilan yang seharusnya ia dapati. Kemarahan pada akhirnya menjadi hakim yang menentukan tindakan baik atau buruk. Maka tidak mengherankan persekusi, diskriminasi dan tindakan ekstrimisme kian menjadi topik pemberitaan di media-media masa.

Celakanya kini kemarahan telah pula menjadi materi dasar kampanye politik. Para makelar politik mulai memformulasikan kemarahan untuk menaikkan elektabilitas dan menjatuhkan lawan politik. Ketimpangan sosial, minimnya kepastian atas keadilan dan ketersedian media sosial sebagai medan perang virtual adalah ramuan dasar mencipta kemarahan. Fenomena yang Cherian George sebut sebagai Hate Spin (pelintiran kebencian).

Jadi situasi kemarahan yang Mishra gambarkan merupakan hasil dari ketegangan yang tidak dapat diatasi. Maka untuk itu bersiap-siap atas perubahan zaman serta berhati-hati menghadapi ketegangan sangat penting dilakukan dalam mengurangi timbulnya kemarahan yang diwajarkan.

Ketegangan merupakan sebuah gangguan terhadap perubahan zaman. Sejatinya gangguan tersebut dapat diatasi dengan memunculkan sifat memuliakan sesama manusia. Kita tentu tidak ingin kehidupan manusia kedepan terus diliputi ketegangan-ketegangan setiap merespon perubahan.