Cerita di Penghujung Tahun
Entahlah, waktu terasa cepat berlalu. Padahal baru saja rasanya menapaki tahun 2020, tetiba sudah berada di penghujung tahun.
Merefleksi ke belakang, tahun ini merupakan tahun yang paling banyak kuhabiskan waktu berada di rumah. Bukan saja aku, tapi semua orang diminta berada di rumah dan melakukan berbagai kegiatan dari rumah. Hal ini untuk meminimalisir penyebaran virus corona yang sedang menjadi pandemi di seluruh dunia.
Namun, jauh sebelum anjuran tersebut ditetapkan, aku telah menghabiskan waktu di rumah. Bukan karena menghindari virus itu, tapi karena aku baru melahirkan seorang bayi perempuan yang kuberi nama Cahya Putroe Semesta.
Dia lahir pada 5 Februari 2020, di mana saat itu dunia sedang disibukkan dengan virus corona. Namun, di Indonesia sedang dihebohkan dengan munculnya kerajaan yang mengklaim diri sebagai penguasa dunia. Sunda Empire, itulah namanya. Sebelum itu juga ada kerajaan lainnya yang juga mengklaim sebagai penguasa Indonesia. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka sehingga pemikiran seperti itu ada.
Isu kerajaan itu pun segera berlalu setelah si Corona memasuki Indonesia di bulan Maret 2020. Saat itu, baru satu bulan umur Cahya dan aku baru menyelesaikan pantangan 44 hari pascamelahirkan yang merupakan tradisi dalam budaya di Aceh.
Aku begitu ingin keluar melihat dunia karena sudah terlalu lama berada di rumah. Namun, sayangnya pemerintah mengeluarkan peraturan untuk tidak beraktivitas di luar rumah, alias stay at home . Jadi, mau tidak mau aku harus memperpanjang masa peristirahatanku di rumah.
Bosan? Jelaslah karena biasanya aku tidak pernah tetap di rumah dan sering jalan-jalan. Namun, di tahun 2020 aku harus menikmati masa di rumah ini dan menjaga bayiku Cahya.
Satu sisi, aku senang bisa belajar menjadi ibu dan merawatnya. Di sisi lain, jiwa petualangku berontak karena aku ingin melakukan aktivitas di luar. Akhirnya aku berdamai dengan perasaan dan menggunakan kesempatan yang ada untuk menghasilkan karya.
Alhamdulillah, dalam pertapaan panjang selama di rumah, aku berhasil membukukan kumpulan opiniku yang berjudul Bukan Catatan Kartini. Buku itu terbit di bulan Agustus setelah melewati proses panjang.
Baca juga Proses Lahirnya Buku Bukan Catatan Kartini
Rupanya pandemi Covid-19 ini kian memanjang. Setiap hari ada saja kasus terinfeksi virus corona dengan isu yang beragam. Masyarakat dibuat takut dengan monster tak kasat mata ini. Bahkan, sudah 9 bulan usia Cahya, aku masih tetap di kampung dan belum balik ke ibu kota, Banda Aceh.
Barulah saat Forum Bangun Aceh (FBA) menawarkanku kontrak menulis success story benefecieries (penerima manfaat) yang mereka bina, aku kembali ke Banda Aceh.
Dari situlah aku bisa kembali jalan-jalan ke Pidie dan Aceh Jaya menemui narasumber yang menjadi tulisan tersebut. Di situlah aku kembali menemukan semangat petualanganku.
Aku berharap di tahun 2021 akan banyak lagi cerita petualangan dari berbagai tempat yang aku kunjungi. Mohon doanya ya.
Bila ada saran dan masukan tempat mana yang perlu aku datangi sebagai bahan tulisan, silakan tulis di kolom komentar. 😊
Kolam Lhok Sijuk di Lambaro Bileue, Kecamatan Kutabaro, Aceh Besar. Keren ne sebagai bahan untuk tulisan walaupun sudah beberapa tulisan terkait tempat tersebut tapi kan setiap penulis beda sudut padang dalam tulisannya. Silakan berkunjung ke tempat itu, semoga terbit tulisan keren dan renyah utk dibaca.
Yuk, besok kita berjalan ke sana. 😁
Great thumbs-up to u
Semoga di Banda Aceh maju ya sebagai kontributor success story benefecieries