Review Acehnologi

in #indonesia6 years ago

image
http://majalah-annaba.com/2017/01/03/aceh-gemilang-adakan-training-kepenulisan/

Pada siang ini sama seperti biasanya saya akan melanjutkan mereview kembali buku Acehnologi volume 3 bab 29 mengenai tentang Tradisi Kepenulisan Di Aceh. Pada bab ini yang akan dikaji adalah bagaimana dinamika intelektual Aceh dari perspektif perbukuan. Disini yang dapat kita ketahui bahwa dunia perbukuan di Aceh memang tidak begitu banyak jika kita bandingkan dengan di pulau Jawa. Tapi intelektual dan penulis-penulis orang di Aceh tidak bisa dikesampingkan karena mereka memiliki potensi-potensi yang cukup bagus yang dapat kita ajungkan jempol. Para intelektual penulisan di Aceh sudah dari dulu dilakukan dan hasilnya selalu diburu oleh orang luar dengan berbagai cara untuk mendapatkannya. Sehingga hasil para intelektual orang Aceh telah dijadikan sebagai panggung tradisi intelektual bangsa lain.

Meskipun buku-buku yang telah ditulis oleh para intelektual lebih banyak dituliskan dalam bentuk bahasa Melayu, yang menjadi rujukan bagi agama umat Islam di Nusantara. Ulama yang produktif di Nusantara seperti ulama Syaikh Nurdin Ar-Raniry, Syaikah Abd Rauf al-Singkili, dan Hamzah Fansuri selalu dijadikan rujukan dan acuan untuk dibahas. Tidak hanya itu para ulama tempoe doeloe juga tidak kalah hebat dalam ide mereka dalam kitab kuning.

Dari pembahasan diatas timbul pertanyaan apa saja faktor yang membuat seseorang mau menulis buku di Aceh? Pertama, para ulama menulis buku karena ingin mengisi kekosongan literatur keislaman. Karena pada zaman dulu tidak secanggih sekarang yang dulunya tidak mempuyai google atau internet dan inilah yang meyebabkan para ulama menulis buku sebagai rujukan untuk para penuntut ilmu, berbeda dengan sekarang yang sudah gampang dalam mencari bahan pelajaran dari google. Kedua, para ulama menulis karena ada permintaan dari penguasa. Disini maksudnya kitab/buku yang ditulis oleh ulama menjadi sebagai pegangan pemimpin dalam menjalankan pemerintahan. Ketiga, respon terhadap keadaan terkini. Maksudnya menulis yang tujuannya untuk menjawab permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Aceh. Keempat, menulis untuk berpolemik. Maksudnya sesuatu yang ditulis tujuannya untuk mengisi bahan diskusi para ilmuan. Kelima, menulis sebagai sebuah bagian dari pekerjaan intelektual. Maksud disini adalah menulis itu sudah menjadi bagian dari panggilan jiwa seorang ilmuan yang sudah menjadi keinginan sendiri bagi mereka untuk menulis tanpa adanya paksaan.

Para penulis Aceh selalu memunculkan sisi sejarah dari perjalanan intelektual mereka. Jadi ketika mereka menulis tentang Aceh pasti selalu ada kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerjaaan yang pernah ada di bumi Aceh. Hal yang paling lazim di dalam perbukuan Aceh adalah permasalahan mengenai peperangan. Karena pasca kedatangan Belanda dan pasca bergabung dengan Indonesia, Aceh selalu di tetor tanpa henti yang memicu timbulnya peperangan. Karena itulah para penulis Aceh menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan yang dituangkan didalam buku yang menjadi referensi bagi pembaca.

Dalam usulan bab ini dapat kita simpulkan bahwa karya-karya para intelektual penulis di Aceh menjadi kebanggaan sendiri bagi masyarakat Aceh dan menjadi keharusan bagi kita untuk memperhatikan perjuangan penulisan itu sendiri. Dan dengan adanya karya para penulis Aceh ini dapat diperkenalkan dan dijadikan acuan bagi para generasi muda untuk mewariskan jiwa kepenulisan supaya penulis di Aceh tidak hilang jejaknya dan dengan itu para generasi muda dapat mengharumkan nama Aceh dengan karya-karya mereka.

Semoga bisa diambil manfaatnya. Terima kasih

Sort:  

السلام عليكم ورحمة الله برباطوه