Seberapa Syukur Atas Segenap Nikmat Yang Sudah Kita Terima
H-1 Lebaran Idul Adha. Saya mengucapkan selamat hari Idul Adha 1439 H. Mohon maaf lahir dan batin. Untuk kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji semoga diberikan kesehatan. Dan mendapat gelar haji yang mabrur. Dalam sebuah hadots Rasulullah Saw bersabda. Haji yang mabrur pahalanya adalah syurga.
Untuk steemian yang belum mendapat panggilan. Semoga dapat terus memperbanyak SBD dan STEEM. Bila sudah cukup untuk mendapatkan nomor porsi segera daftarkan. Karena masa tunggu yang sangat lama. Daftar sekarang berangkat 15 s/d 20 tahun kemudian. Bila usia kita sekarang 30 atau lebih, maka. kita baru bisa berangkat pada usia 50 tahun atau lebih.
Saya tidak sedang membahas kapan kita daftar atau berangkat menunaikan ibadah haji. Tapi pada kesempatan kali ini saya ingin sedikit menegur diri saya. Sudah bersyukurkah saya. Atau masih sangat sedikit syukur atas segenap nikmat yang telah Allah SWT anugerahkan pada saya. Juga pada steemian sekalian.
Sebut saja satu nikmat yang mungkin jarang kita teringat kalau itu sebuah nikmat. Pernahkah kita merasakan menelan ludah itu sebagai salah satu nikmat. Dan pernahkah kita bersyukur atas nikmat itu. Saya dalam sepekan terakhir mengalami panas dalam. Tenggorokan semacam ada sariawan dan meradang. Ada semacam luka sariawan dan radang memerah. Saya kesulitan menelan ludah. Saat itulah saya baru sadar menelan ludah juga sebuah nikmat. Alhamdulillah dengan radang tenggorokan itu saya tersadarkan. Ada nikmat yang selama ini saya abai untuk bersyukur.
Ludah saja susah saya telan. Bagaimana lagi dengan makanan yang lainnya. Belum lagi sesuatu yang panas atau sekedar air hangat. Perih sekali rasanya. Bukankah menelan ludah atau membuang ludah sesuatu yang spele? Tidak. Itu bukan hal yang remeh temeh. Itu nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita.
Lalu bagaimana dengan nikmat iman. Nikmat Islam. Nikmat hidup. Nikmat retina. Nikmat mata. Nikmat alis. Nikmat bulu mata. Saya rasa itu jauh lebih besar dari sekedar nikmat menelan ludah. Dengan cara apa kita harus membayar sebuah nikmat hidayah yang Allah SWT tanamkan dalam dada kita. Cukupkah seluruh kekayaan yang kita punya untuk membayar satu nikmat itu saja. Saya rasa tak tergantikan.
Bagaimana kalau nikmat berkedip Allah cabut dari mata kita. Saat mata lelah tak dapat berkedip. Debu yang menghampiri mata, mata tak dapat berkedip. Lupakah kita. Itu juga merupakan nikmat yang belum kita bayar. Belum kita syukuri.
Allah SWT tidak meminta kita ganti rugi atas segenap nikmat itu. Yang Allah minta adalah pengabdian kita pada-Nya. Hanya meminta kita beribadah pada-Nya. Sebagai bentuk syukur atas seluruh nikmat. Yang bila kita sebut satu persatu. Sungguh kita akan bersimpuh di sajadah untuk sepanjang sisa usia. Tapi Allah SWT juga tidak menuntut kita harus berdiam diri sepanjang masa di Masjid. Karena kita juga diberikan keluasan untuk mencari nafkah.
Di tempat kamu lagi hari raya kah
Belum. Besok hari raya di sini
Pelajaran berharga menjelang kurban, semoga menjadi bahan renubgan bahwa berkurban selain menegaskan level sosial, strata sosial (kemampuan) namun juga intropeksi pengurbanan diri dimana kita melemahkan ego, khilaf dan lupa untuk secara sederhana betasyakkur kepada-Nya.
Posted using Partiko Android