[IDN-ENG] Warung Kopi 'Rumah' Bagi Pemuda(i)-Coffe Shop 'Home'For Youth(i)
how are you steemians? sebelumnya saya mendo'akan teman-teman dalam keadaan sehat serta selalu berada dalam lindungan Allah swt. malam ini saya akan memberikan lagi opini saya tentang remaja dan warung kopi di Aceh. setelahnya, saya berharap bisa bertukar pendapat dengan teman-teman steemians sekalian.
>
[IDN}
Smartphone tak henti-henti berdering, puluhan pesan masuk pada sebuah multichat Line. Semua sibuk pada bahasan tempat untuk pengerjaan tugas kelompok yang di berikan sang dosen.
“di warkop itu saja, tempatnya luas dan tidak terlalu rame”, tungkas pesan seorang teman.
“di warkop ini aja, wifi nya kencang”. Balas teman yang lainnya lagi cepat.
Setelah sekian perdebatan yang lama di chat, tempatpun di tentukan.
Bergegaslah saya menuju ke lokasi tersebut. Saya dan teman-teman mulai mengerjakan tugas dari perkuliahan kami.
Fenomena biasa pun terlihat, ya seperti biasanya warkop di ibu kota ini selalu ramai dan tidak pernah sepi. Baik muda atau mudi, tak hanya siang, malam pun jadi. seolah kota yang terkenal dengan “seribu warung kopi” secara tidak langsung menyediakan ‘rumah’ bagi pengunjungnya.
Kenapa saya mengatakan rumah? Karena hampir setengah dari jumlah warung kopi di ibu kota serambi mekkah ini buka selama 24 jam. Bahkan salah seorang teman saya sering tidur di warkop langganannya.
Bermodalkan satu gelas teh hangat, kita bisa duduk dan memakai wifi gratis selama 24 jam. Kalau perlu, bisa bawa baju sekalian pindahan ke warkop.
Inilah yang membuat ‘hiburan’ di Aceh berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Tak ada bioskop, tak ada banyak mall-mall besar (bahkan cuman ada dua) atau gedung dengan lantai bertingkat-tingkat. Seolah hiburan satu-satunya hanyalah warkop dan wisata dengan jarak yang jauh-jauh untuk di tempuh.
Hampir semua aktivitas harian bahkan acara besar di lakukan di warung kopi. mungkin karena itulah warung kopi kian hari kian di bermunculan di ibu kota ini. Buku mulai di tinggalkan, asalkan ada internet semua beres. Tak heran jika banyak mahasiswa di Aceh susah untuk bersaing setelah lulus dari bangku perkuliahan. Bagaimana tidak, generasi yang di tempah adalah generasi copy paste. Hanya sedikit mahasiswa yang tidak peduli tentang hal tersebut dan bisa berfikir aktif dan inovatif, hanya sedikit.
Sudah selayaknya kita tidak hanya menjadi generasi terperdaya oleh westernisasi atau kebarat-baratan. Tidak harus selalu mengikuti budaya luar bahkan sayang sekali apabila budaya kita sendiri hilang dan tidak di lestarikan. Kita boleh peka terhadap zaman, tapi apakah kita juga harus ikut-ikutan terseret kedalamnya? Seolah ada yang mendoktrin jika tidak melakukan ini tidak keren, jika tidak mencoba itu tidak gaul dan sebagainya.
Karena itulah, pendidikan di Aceh mulai merosot karena dari kecil kita sudah biasa melakukan hal yang biasa di anggap benar oleh orang tua kita, lingkungan kita serta orang-orang di sekitar kita.
Oleh karena itu, marilah mencoba memperbaiki diri sendiri, benahi apa yang bisa di benahi. Dan jika memungkinkan, mulailah mempengaruhi orang di sekitar kita untuk saling berbenah dan memajukan diri untuk Aceh yang pasti.
[ENG]
Smartphones do not stop ringing, dozens of incoming messages on a multichat Line. All were busy on the spot where the group assignments were assigned to the lecturer.
"In the warkop alone, the place is wide and not too crowded", said a friend's message.
"In this warkop aja, wifi is fast". Reply other friends again quickly.
After a long debate in chat, tempatpun in specify.
Rush me to the location. Me and my friends started doing the assignment from our lectures.
Ordinary phenomenon was seen, yes as usual warkop in the capital is always crowded and never quiet. Whether young or mud, not just day, night was so. As if a city famous for "a thousand coffee shops" indirectly provide a 'home' for visitors.
Why do I say home? Because almost half of the total coffee shop in the capital this mecca porch is open for 24 hours. Even one of my friends often slept on his warkop subscription.
With one glass of warm tea, we can sit and use free wifi for 24 hours. If necessary, can take all shirt clothes to warkop.
This is what makes 'entertainment' in Aceh different from other big cities. There is no cinema, there are not many big malls (even there are only two) or buildings with floor level. As if the only entertainment is warkop and tour with a long distance to go.
Almost all the daily activities and even big events are done in the coffee shop. Maybe that's why more and more coffee shops in popping up in this capital city. Books start in leave, as long as there is internet all right. No wonder if many students in Aceh are difficult to compete after graduating from the lecture bench. How not, the generation in the templates is the generation of copy paste. Few students do not care about it and can think actively and innovatively, just a little bit.
We should not only become a generation outwitted by westernization or westernized. Not necessarily always follow the outside culture even if our own culture is lost and not preserved. We can be sensitive to the times, but do we also have to go along with them? It is as if someone is suggesting that if they do not do this it is not cool, if not try it is not slang and so on.
Therefore, education in Aceh began to decline because of the small we are used to doing the usual things are considered true by our parents, our environment and the people around us.
Therefore, let's try to improve ourselves, fix what can be fixed. And if possible, start influencing the people around us to clean up and advance ourselves for a definite Aceh.
thanks you for visiting my blog. if you like this post, please follow and up vote
see you on the next post!
Follow @teukurizzamuly