Pilkada Serentak dan Politik Tiktok
Teuku Kemal Fasya
Wacana tentang Pilkada serentak pada 2022 atau 2024 masih riuh saja. Sumbu apinya sudah berlangsung sejak Juni 2020 ketika Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri membahas persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional pada 2024. Putusan itu tekait dengan peluang Pilkada 2015, 2017, dan 2018 bisa terlaksana pada 2020, 2022, dan 2023.
Nyatanya, hanya Pilkada serentak 2015 yang berhasil dilaksanakan, yaitu pada Desember 2020 lalu. Dua fase Pilkada serentak lain akan dilaksanakan pada 2024. Pihak Kemendagri juga mengatakan bahwa Pilkada serentak itu harusnya memang dilaksanakan pada 2024 (Kompas.com, 29/1/2021). KPU R.I sendiri juga menyatakan bahwa siap melaksanakan Pilkada serentak 2024, meskipun sebelumnya sempat mengeluh sulit melaksanakan Pilkada dan Pemilu secara serentak pada tahun yang sama (Kompas.com, 2/2/2021).
Debat Legal
Dua hal itu sebenarnya lebih muncul sebagai tafsir legal yang digunakan untuk melihat pada peluang pelaksanaan Pilkada Serentak nasional yang sebelumnya menginginkan pada 2027. Pihak yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak pada November 2024 berdasarkan pada amanat pasal 201 ayat (8) UU Pilkada No. 10 tahun 2016. Clara et distincta! Jadi tidak terjadi perbantahan tentang pasal pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional.
Namun, politikus adalah sosok yang rupa warna, setiap ruang adalah kesempatan untuk unjuk diri dan berdalih. Sebagian partai politik tetap menginginkan Pilkada Serentak pada 2022 untuk pelaksanaan 2017 lalu dan 2023 untuk yang melaksanakan Pilkada Serentak pada 2018. Mereka berdalih pada draf revisi UU Pemilu pasal 731 ayat (2) dan (3) (Tribunnews.com, 2/2/2021).
Pengikut “mazhab” ini adalah PKS, Nasdem, Demokrat, dan Golkar. Lima fraksi lainnya menolak mengikuti logika itu dan mendukung putusan Pemerintah dan KPU. Mereka menginginkan Pilkada Serentak Nasional pada 2024. Bahkan Gerindra sendiri menyatakan UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada masih layak dipertahankan untuk menjaga kualitas demokrasi, demi melihat perjalanan revisi draf RUU Pemilu yang terlalu banyak berlumpur kepentingan dan pragmatisme politik.
Dinamika politik akhirnya semakin mengerucut pada sikap sinergis dan deliberatif. Golkar akhirnya juga ikut menarik diri dari kelompok yang setuju Pilkada 2022. Salah satu alasannya adalah konsolidasi kepemimpinan nasional dan demi kepentingan bangsa yang sedang bertarung menyelesaikan masalah pandemi Covid-19. Pengalaman Pilkada Serentak 2020 juga memperlihatkan banyak kelemahan demokrasi elektoral yang belum mampu disirnakan, di antaranya adalah politik dinasti, politik uang, dan politik hitam (hoaks).
Pengikut mazhab 2022 dan 2023 tentu mendasarkan pada alibi hukum yang sangat lemah, karena tidak mungkin mengambil kebijakan pada sebuah draf undang-undang yang belum disetujui. Upaya melahirkan RUU Pemilu yang memasukkan pasal tentang Pilkada ke dalamnya masih sumir karena ternyata semakin tebal dan ambigu norma dan nilai hukumnya, lebih kompleks dibandingkan dengan UU Pemilu 7 tahun 2017 yang merupakan kodifikasi tiga undang-undang. UU Nomor 7 tahun 2017 dalam perjalanannya terlihat sangat lemah, terbukti banyak pasal yang luruh setelah di-judicial review. Akibat proses yang tidak jelas dalam sendimen waktu, pemerintah mengambil langkah untuk menetapkan Pilkada Serentak Nasional pada 2024.
Debat Tiktok
Dengan situasi ini jelas bahwa alasan politik yang dimunculkan hal yang artifisal untuk melegalkan “fantasi negatif” yang kadung diperhitungkan di papan catur politik daerah. Tidak ada rasionalitasnya bahwa keputusan ini untuk menjegal Anies di DKI dan Partai Aceh di Aceh. Akhirnya yang harus bertarung adalah akal sehat dengan kaki-kaki argumen yang kokoh. Pada 2017 sendiri oleh 101 wilayah pemilihan, dan itu bukan Aceh dan DKI semata.
Jika dibaca komentar elite politik di Aceh dan sejumlah tokoh di media sosial bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak Aceh adalah 2022, sesuai dengan semangat Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11 tahun 2006) dan Qanun Pilkada Aceh No. 12 tahun 2016, malah tidak memiliki jejak referensial. Ibarat politik Tiktok, yaitu sebuah aplikasi media sosial yang digemari generasi milenial untuk membagi video dengan berbasis lagu-lagu yang tenar di dunia seperti lagu Black Pink, Doja Cat, Becky G, Black Eyed Peas, BTS, dll. Mereka hanya menjadi “peniru” dengan lipsync (gerak mulut seolah-olah bernyanyi), berjoget seolah-olah orisinal dan artistik, dan merasa sebagai “pencipta”. Padahal tak lebih sebagai mimicry dan ikut tren massal.
Logika pertama yang perlu diluruskan bahwa Pilkada masuk dalam rejim kepemiluan. Artinya regulasi tentang itu tidak dibuat di tingkat lokal tapi nasional. Kedua, dan ini sangat sering diungkapkan sehingga harus diluruskan: UUPA bukanlah lex specialis dari UU Pilkada. Kembali pada nalar pertama, bahwa Pilkada adalah bagian dari rejim kepemiluan yang bersifat nasional yang tata aturannya diatur di dalam undang-undang tersendiri (lex specialis), maka hubungan UUPA malahan menjadi lex generalis.
Hal ini sendiri sudah disebutkan sendiri oleh KPU yang didasarkan pada putusan MK No. 31/PHP-Gub/XV/2017 pada 4 April 2017, bahwa tidak ada hubungan lex specialis dan lex generalis antara UUPA dan UU Pilkada No 10 tahun 2016 yang diubah menjadi UU No. 6 tahun 2020 yaitu Penetapan Perppu No. 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Bahkan Qanun Pilkada Aceh jelas menyebutkan pada pasal 101 ayat (5) dan (6) bahwa pelaksanaan Pilkada gubernur, walikota, dan bupati di dalam wilayah NKRI berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dan jelas semberono jika menyebut undang-undang itu adalah UUPA. Artinya baik untuk Pemilu dan Pilkada yang dilaksanakan di Aceh harus mengacu kepada undang-undang nasional. UU PA bukan undang-undang pelaksana Pemilu dan Qanun Pilkada adalah tetap turunan dari Undang-undang Pilkada yang lebih tinggi posisinya (lex superior derogat legi inferiori).
Situasi ini mirip dengan kisruh Pilkada 2012 ketika Partai Aceh “ngambek” saat Irwandi Yusuf sebagai petahana maju melalui jalur independen. PA sempat bergeming dengan dalih pasal 256 UUPA, yang akhirnya dibatalkan oleh MK. Calon Partai Aceh saat itu sempat urung mendaftar seturut teror dan politik kekerasan yang bersinyal kepada pemerintahan pusat.
Mahkamah Konsitusi akhirnya bersikap. Berdasarkan Keputusan MK Nomor 108/PHPU.D-X/2011 menyatakan calon independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Akhirnya jalan kompromi pun dilakukan melalui Keputusan MK Nomor 1/SKLN-X/2012, sehingga calon Partai Aceh (Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf) juga ikut dalam Pilkada (Teuku Kemal Fasya, “Damai dan Cemas Pilkada Aceh”, Kompas, 10 April 2012).
Bagaimana dengan sikap KIP Aceh yang telah terlanjur ikut keinginan DPRA untuk membuat tahapan Pilkada Serentak pada 2022? (Serambi, 20/1/2021). Silakan KIP mempertanggungjawabkan keputusannya kepada KPU, termasuk memberikan argumentasi yang tepat secara legal, sebagai lembaga penyelenggara yang berlaku imparsial dan objektif dalam mempersiapkan demokrasi lokal. Maka, demokrasi lokal harus sudah jernih dari sejak dalam pikiran!
Teuku Kemal Fasya, antropolog politik Universitas Malikussaleh.
Tulisan ini telah terbit pertama sekali di Serambi Indonesia, 18 Februari 2021