ACEHNOLOGI 3 (BAB 28 TRADISI BERGURU DI ACEH)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh pembaca yang budiman semoga kalian selalu mendapatkan ridho dari Allah Subhanallahu wata'ala.

Dalam bahasa Aceh berguru adalah meugure, menurut istilah meugure adalah belajar kepada ulama atau guru didayah maupun dimadrasah, yang mana tradisi meugure ini sama sekali tidak bisa dihilangkan, kenapa demikian? Karena tidak mungkin seseorang bisa meraih kesuksesan dan kepintaran dalam suatu bidang ilmu pengetahuan tanpa didampingi seorang gure, gure ini berperan didalam pendidikan sebagai wadah untuk mengarahkan kita agar ilmu yang kita ambil benar dan sesuai dengan apa yang orang terdahulu pelajari, oleh karena itulah pentingnya tradisi meugure ini di terapkan.

Pasti disetiap daerah mempunyai tradisi meugure tersendiri, di bab kali ini saya ingin meriview apa yang telah ditulis bapak Kamaruzzaman dalam bukunya Acehnologi dalam Bab Tradisi Taradisi Berguru di Aceh.

Dalam bab tersebut dayah merupakan wadah pertama bagi seseorang dalam berguru dan dayah ini juga merupakan spirit yang utama bagi Bangsa Aceh. Karena orang yang sudah belajar atau berguru disini maka akan kelihatan dampak posifitifnya bagi kehidupan bermasyarakat. Dayah ini sudah lama ada, bahkan meugure di dayah merupakan Tradisi Aceh yang paling asli di Nusantara.

Hal ini disebabkan karena lembaga pendidikan ini mampu menghasilkan self (jiwa) yang memiliki spirit ke Aceh an. Kemudian berlanjut kepada being (keberadaan) sebagai wujud manusia didalam permukaan bumi ini, karena fitrah manusia itu tidak bisa terlepas dari namanya berguru atau meugure. Jika seseorang tidak berguru dan meugure maka wujud atau keberadaan dia sebagai manusia sangat sulit dikatakan, karena perbedaan manusia dengan hewan adalah pemikiran mereka, yang mana untuk mencerdaskan pemikiran tersebut adalag dengan meugure.

Dari meugure tersebut banyak lahir tokoh tokoh besar seperti Hamzah Fansuri yang mana baliau ini adalah tokoh Sufi. Yang kental akan beragamanya menurut masyarakat di Aceh, dan beliau juga banyak di kenal baik di Aceh sendiri maupun dijawa. Hamzah Fansuri dalam bab ini memberikan dua contoh tentang self dan being. Yang mana memiliki 7 makna. Pertama, ada yang menjelaskan kata mawjud yang memiliki dua wilayah yaitu dhahir dan bathin. Kedua, ada yang menjelaskan konsep mahiyyah. Ketiga, ada yang menjelaskan konsep huwiyyah. Keempat, ada yang menjelaskan konsep 'ayn. Keenam, ada yang menjelaskan konsep mutlak. Ketujuh, ada yang menjelaskan konsep Zat.

Saya juga tidak mengerti apa yang dimaksud Hamzah Fansuri tersebut karena tingkat keilmuan saya belum bisa menjelaskan apa yang beliau maksud, tetapi jika kita lihat dari penjelasan dibuku tersebut beliau mencoba untuk menjelaskan pemikiran para ulama tentang self dan being.

Sebenarnya pemikiran ini sudah tidak lagi begitu tampak dan perlahan lahan mulai dilupakan banyak orang tetapi masih ada juga sebagian kecil Para sarjana yang memiliki kapasitas keilmuan tinggi sampai sekarang masih ada yang mengkajinya, mereka biasanya mengkaji tentang konsep kedirian dan kehambaan.

Ini bukanlah suatu keterbelakangan karena peristiwa ini juga terjadi kepada pemikiran terkenal di Barat, seperti Hegel misalnya. Tetapi sebagian masih tetap jua membangun keberangkatan intelektual dari spirit (Geist) yang dibangun oleh Hegel.

Singkat cerita proses pemahaman seperti ini akhirnya menjadikan seseorang hanya sekedar shaleh bukan menjadi seorang pemikir. Sehingga orang yang tidak bertanggungjwab mulai merasuki pemikiran mereka, seperti pemahaman snouk Hurgronje. Karena masyarakat hanya menerima tanpa memikirkannya, sehingga para ulama harus meyakinkan mereka agar tidak kehilangan kepercayaan yang di anut.

Hingga kini Aceh kehilangan kejumudah dunia pendidikan, kehilangan peradaban serta kehilangan sistem berfikir karena Aceh telah kehilangan spirit intelektual. Tidak seperti dahulu Aceh memiliki sarjana sarjana sarjana hebat seperti Prof. DR. Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. DR. Haji Abu Bakar Aceh, Tengku Haji Amelz dan Prof. Ali Hasjmy. yang mana mereka memiliki intelektual tinggi tetapi lahir dari pendidikan lokal, dan hampir semua mereka tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan modern, kemudian penulis menyebutkan penyebab mereka bisa seperti itu ada beberapa alasan
yang pertama, karena adanya kegelisahan pada sebagian akan apa yabg telah diwariskan kepada generasi Aceh berikutnya. Kedua, mereka para sarjana juga mengerti akan pentingnya intelektual dan seperti bahasan kita di atas untuk menciptakan seseorang yang berintelektual adalah harus adanya meugure atau berguru. Ketiga, walaupun para sarjana terdahulu suadah terkenal tetapi ke Acehan mereka tetap ada dan mereka tidak pernah melupakan Aceh ini.