ACEHNOLOGI 3 (BAB 23 JEJAK SPIRIT ACEH)

Bismillah. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh pada kesempatan dipagi hari ini saya kembali ingin meriview buku bapak KAMARUZZAMAN BUSTAMAM-AHMAD pada bab bab jejak spirit Aceh.

pertama saya ingin menjelaskan bahwa setiap daerah itu memiliki beragam jenis tradisi, dari makanan, adat, seni, bahkan sampai yang sifatnya tidak terlihat tetapi dirasakan yaitu sesuatu kekuatan spirit yang mana kekuatan tersebut hidup di dalam masyarakat tentunya ini semua dirasakan oleh orang yang hidup di perdesaan yang mana mereka lebih akrap dengan alam ketimbang orang yang hidup diperkotaan.

Mungkin inilah yang coba dijelaskan oleh penulis bahwa di setiap masyarakat yang hidup di perdesaan memiliki kekuatan spirit tersebut, tak jauh jauh kita ambil contohnya, di Aceh sendiri mempunyai hal itu yang masih dipraktikkan yaitu tradisi "meununtut euleume" dikalangan masyarakat Aceh yang hidup beberapa abad lamanya. Yang menjadi pertanyaan didalamnya mampukah masyarakat kini menggali lagi aspek aspek fondasi spirit Aceh? Tentu saja ini memerlukan waktu yang panjang karena mengingat sekarang masyarakat mulai meninggalkan hal hal yang berhubungan dengan zaman dahulu dan sekarang masyarakat Aceh sudah di racuni dengan Falsafah materialisme.

Dalam bahasan kajian Asia Tenggara disebutkan yang tercantum dalam buku tersebut lanskap kekuatan spirit tersebut berada di sekitar kita yang menyatu dengan Alam yaitu dikawasan gunung, pepohonan dan sungai. Penulis menceritakan yang mana jika suatu wilayah tersebut memiliki kekuatan spirit yang kuat baik itu dari gunung, pepohonan dan sungai maka akan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat setempat. Yang mana masyarakat masih mempunyai kepercayaan yang mistis terhadap gunung, pepohonan dan sungai tersebut.

Namun tak bisa dipungkiri jika kita mengupas spirit tersebut maka akan menggiring kita kepada sejarah. Tetapi jika kita melihatnya dari segi budaya maka ada 3 hal yang harus kita perhatikan yaitu tentang budaya, sejarah dan Tradisi Aceh.

Selanjutnya penulis juga menghubungkan tentang budaya Aceh yang menjadi spirit dikala itu ketika Aceh melawan Belanda para ulama menjadikan perang sabil sebagai spirit perjuangan yang sama sekali tidak bisa di abaikan. Itu semua jika didalam ilmu sosial sangat bergantung kepada persoalan spirit.

Selanjutnya beliau juga menjelaskan tentang makna makna simbolik yang terkandung dalam spirit Aceh yang dipahami masyarakat perdesaan dan perkotaan, menurut mereka masyarakat perdesaan itu hanya sebagai simbol ke Acehan. Sedangkan bagi masyarakat desa itu semua merupakan bagian kehidupan sosial dari kemasyarakatan.

Penulis disana menyebutkan ada beberapa cara memajukan pembangunan Aceh yang pertama, dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan simbol simbol tersebut sepeti jika di Aceh adanya kenduri maulud, tari tarian adat yang mana manusia bersusah payah untuk memberikan yang terbaik agar masyarakat Aceh bangga dengan Adatnya sendiri.

Kedua, melalui ilmu pengetahuan. Yang mana pemikiran pemikiran masyarakat pada tempo dulu itu dapat dijadikan sebagai kebudayaan yang sangat mapan. Dimana ilmu itu sangat memperngaruhi kemajuan semua negeri. Karena pemahaman terhadap cara pandang ke Acehan mutlak diperlukan.

Ketiga, paham ke Acehan yang dijadikan spirit. Misalnya ada pandangan orang Aceh tidak boleh menjadi kafir, karena tanah Aceh adalah tanah para Aulia. Yang mana kata ini adalah batas spiritualitas tidak bisa dinegosiasikan lagi, kemudian batas ini dijadikan para ulama untuk membentuk paradigma masyarakat Aceh. Dalam hal ini dayah dan para ulama lah yang menjadi spirit Aceh karena para ulama mencari Ilmu ditutup dengan sebuah jalan sufi yang dikenal dengan tarekat.

Selanjutnya penulis juga menekankan di bab tersebut yang bahwa di Aceh ini tak lepas dengan spirit para Ulama, yang mana mereka berkuasa dalam simbol alam dan penduduk setempat bergantung pada tingkat spritual mereka, oleh karena itu penduduk Aceh sangat patuh dengan para Ulama, apapun yang dikatakan Ulama maka mereka akan berusaha mengerjakan. Karena dikawasan tersebut mereka dianggap wali yang mana memiliki kelebihan seperti keuramat dan keilmuan yang mereka anggap sebagai spirit.

Keempat, dalam bab saya review ini kesultanan juga berpengaruh terhadap kebangkitan spirit Aceh yang mana jika kesultanan/ itu hilang, maka spirit akan mengendur, kemudian penulis memberikan contohnya, pada masa dahulu hilangnya otoritas kesultanan di Aceh telah menyebabkan kehilangan spirit di Aceh.

Dalam bab ini penulis menyimpulkan pertama, membuka kembali kajian mengenai spirit di Aceh adalah sesuatu yang amat menarik. Kedua, spirit Aceh yang sekarang tidak lagi berhubungan dengan Ulama dan kesultanan seperti yang ada di masa jayanya. Ketiga, keinginan orang yang ingin membangun spirit aceh ditentang dengan adanya orang yang merugikan bangsa sendiri.