Menanti Maaf dari Paya Bujok Tunong (2)

in #indonesia7 years ago (edited)


Source

Sebelumnya
Lanjutan 1

San, di ujung runcing bebuahan Solanum Betaceum benakku terpacak pada runcing taringmu yang kemilau saat tersenyum. Aku berharap empat belati-runcing di barisan geligimu itu menghunjam bahuku. Terserah... boleh kanan atau kiri, boleh juga keduanya; ketika cuma jangat yang menjadi pembatas kita, kau boleh mengakses setiap tombol neural yang akan melambungkanku ke Nebula.

Embun yang menggelayut manja di ujung dedaun Leucaena Leucocephala membangkitkan kenang pada kerling matamu saat melirik marah atas usilku di jam Fisika. Padahal lemparan gumpal kertas yang kubidik ke bahumu tak berisi kata, sekedar mengirim pesan rindu memasuki warangka.

Jadi aku mesti bagaimana, San...?! Tahukah engkau, menatapmu saat menampilkan kejudesan membuatku mengenang rujak di sebuah persimpangan?! Bedanya salivaku menggenang di rongga mulut tanpa harus gigi menggilas cabe rawit.

Sungguh... aku suka cara kita berbicara tanpa kata. Aku dengan hasrat yang tak mampu dibendung waduk Kedungombo di satu sisi, sementara engkau dengan marah-dendammu -yang tak kuingat pasti apa sebabnya- di sisi lain. Kau tak paham saja betapa semakin kau kirim tatap nan mencabik jantung itu, semakin ingin aku menikmati siksamu...

Kau, tanpa sadarmu telah membimbingmu dalam lingkar sadomasokisme-mental; Sebab, menyakitimu, dengan tujuan puncak asmara sekalipun, akan terasa berdosa bagiku.

Bersambung...