Soal Yerusalem, Donald Trump Menabuh Genderang Perang? / About Jerusalem, Donald Trump Beating the War Drum?
Suka atau tidak suka, Donald Trump (DT) yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, telah membuat dunia heboh. Akan tetapi di balik kehebohannya, ternyata harga minyak dunia merambat naik, yang setelah ke sekian lamanya terpuruk, dan pembelian senjata sudah tentu akan semakin meningkat. Ujung-ujungnya AS yang diuntungkan. Banyak pihak yang menghujat DT, tetapi DT adalah pengusaha ulung yang tahu bagaimana membaca peluang bisnis di balik kebijakannya. Sikap pemerintah Indonesia untuk menolak dan menyatakan di belakang Palestina patut dihargai dan didukug. Akan tetapi jangan terkecoh, karena mungkin DT sedang menghitung seberapa jauh dampak kebijakannya dapat mengamankan kursi kekuasaan kepresidenannya yang sedang digoncang. Jika sikapnya membuat aman kekuasaannya, maka jangan berharap DT akan mengubah kebijakannya. Sebagai pengusaha ulung, DT sudah terlatih dengan spekulasi tingkat tinggi. Kelihatannya spekulasi politiknya ini akan menjadi senjata pamungkas untuk dapat bertahan pada kekuasaannya.
Like it or not, Donald Trump (DT) who recognizes Jerusalem as the capital of Israel, has made a world of excitement. But behind the excitement, it turns out that world oil prices are rising, which after a long slump, and the purchase of weapons will certainly increase. In the end the US who benefited. Many people blaspheme DT, but DT is a great businessman who knows how to read business opportunities behind his policies. The Indonesian government's stance on rejecting and declaring behind Palestine is deserving of respect and support. But do not be fooled, because maybe DT is calculating how far the impact of its policy can secure the seat of power of the presidency that is being shaken. If his attitude keeps his power secure, then do not expect DT to change his policy. As a skilled entrepreneur, DT has been trained with high-level speculation. It seems that his political speculation will be the ultimate weapon to survive in his power.
Donald Trump has beaten the drums of war in the Middle East by admitting unilaterally Jerusalem as the capital of Israel. Terrorism will increase, to counter the terror of Donald Trump. In fact with the war, Donald Trump will gain multiple benefits by selling weapons for the war. Surprisingly the countries involved in the war may be equally armed to the US. Western countries such as France and Britain have declined, especially from the largest Muslim countries. War was made for weapons business and oil control. The world's most oil-rich Muslim countries in the Middle East will be squeezed out, as its oil will be controlled by the United States to buy weapons and the security of its country. American political pragmatism may well propagate to Indonesia, if US control of the gold mine in Freeport is disrupted. Perhaps the US will provoke an armed conflict in Papua as a political pressure to the Indonesian government.
Donald Trump telah memukul genderang perang di Timur Tengah dengan mengakui sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Terorisme akan meningkat, untuk membalas teror yang dilakukan Donald Trump. Sesungguhnya dengan perang, Donald Trump akan memperoleh keuntungan berlipat dengan menjual senjata untuk peperangan itu. Anehnya negara-negara yang terlibat perang mungkin saja sama-sama belanja senjata ke AS. Negara Barat seperti Perancis dan Inggris telah menyatakan menolaknya, apalagi dari negara-negara yang berpenduduk muslim terbesar. Perang memang dibuat untuk bisnis senjata dan penguasaan minyak. Negara-negara yang berpenduduk terbesar muslim yang kaya minyak di Timur Tengah akan diperas habis, karena minyaknya akan dikuasai AS untuk membeli senjata dan pengamanan negaranya. Pragmatism politik Amerika mungkin saja bisa merambat ke Indonesia, jika penguasaan AS akan tambang emas di Freeport terganggu. Mungkin saja AS akan memprovokasi konflik bersenjata di Papua sebagai tekanan politik kepada pemerintah RI.
Sungguh PBB itu bagaikan harimau yang ompong giginya. Banyak keputusan PBB yang tidak dijalankan oleh pihak Israel yang dibackingi AS. PBB tidak berdaya menghadapinya, bagaikan anjing menggogong kafilah tetap berlalu. Negara-negara Arab sebenarnya mempunyai senjata yang dahsyat, yaitu minyak. Negara-negara di dunia ini, termasuk AS masih bergantung pada energi dari minyak. Jika negara-negara muslim bersatu dan menggunakan senjata minyak sebagai kekuatan penekan dan penyeimbang, tentu akan membuat AS dan sekutunya tidak bertindak semena-mena. Akan tetapi sayang negara-negara Arab yang kaya minyak itu, terpecah belah dalam fanatisme yang sempit. Dengan mudahnya mereka diadu domba dan terseret dalam konflik kekerasan. Mereka membelajakan kekayaan minyaknya untuk membiayai perang dan membeli senjata untuk berperang. Hal yang sama kehidupan muslim di Indonesia, banyak ormas dan partai politik, dan menjadi lahan perebutan kekuasaan dan bisnis. Akibatnya institusi sosial keagamaan terseret dalam konflik dan para tokohnya saling merendahkan, bahkan sampai mengkafirkan. Negeri yang kaya dan subur, tercabik-cabik oleh konflik kekerasan sosial. Ikhtilafu ummati pun telah menyimpang dari fundamental etiknya, sehingga berubah, tidak lagi menjadi rahmat, tetapi sebaliknya menjadi laknat.
Really the UN is like a toothless teeth tiger. Many UN decisions are not executed by the Israeli side who backed the US. The United Nations is powerless to face it, as dogs carve out caravans still pass # # Arab countries actually have a powerful weapon, that is oil. Countries in the world, including the US still depend on energy from oil. If Muslim countries unite and use oil weapons as a force of suppressors and counterparts, it will certainly make the US and its allies do not act arbitrarily # But unfortunately the oil-rich Arab countries are split in narrow fanaticism. They are easily plundered and dragged into violent conflict. They spend their oil wealth to pay for war and buy weapons to fight. The same thing in Muslim life in Indonesia, many mass organizations and political parties, and become a struggle for power and business. Consequently religious social institutions are dragged into conflicts and their characters degrade each other, even to the point of affirming the rich and fertile States, torn by social violence. Ikhtilafu ummati had deviated from the fundamental ethics, so changed, no longer a grace, but instead became anathema.