"Masa Depan Dayah di Aceh" Review Acehnologi (III : 31)

in #indonesia6 years ago (edited)

images (17).jpeg

Assalamu'alaikum..
Dalam bab ini dijelaskan mengenai beberapa keadaan yang telah dan akan dialami oleh dayah saat ini, serta memberikan opsi berupa pilihan apakah akan terus bertahan dengan sistem yang diterapkan saat ini atau mencoba mencari jalan lain dalam yang lebih adaptif untuk diterapkan pada era kontemporer. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pada zaman dahulu kunci keberhasilan dayah adalah berhasil membangun jiwa manusia secara terus-menerus, mulai dari pengasahan intelektual hingga spiritual sehingga sebelum kemunculan perguruan tinggi, pesantren atau Dayah telah menghasilkan ilmuan yang mampu mengukir sejarah peradaban di Nusantara. Maka tak heran, penulis berargumen bahwa pesantren memiliki peran penting dalam pengembangan peradaban di Asia Tenggara. Konsep Dayah ini juga tak dapat dipisahkan dari sejarah pesantren di Jawa, Surau di Padang, Pondok di Malaysia, dan Pho no di Thailand Selatan. Kuatnya jati diri Dayah belakangan memang telah meredup namun pengaruhnya masih dirasakan. Para petinggi misalnya, biasanya ketika bersilaturahmi selalu mendahulukan pergi ke dayah baik saat hari raya idul Fitri, Idul Adha, maupun hari lainnya.

Saat ini ada fenomena yang mulai dirasakan oleh masyarakat selama 30 tahun terakhir, yaitu munculnya para ustadz yang berkiprah di pesantren terpadu. Fenomena ini kemudian menggeser posisi kelompok dayah dan mengarahkannya menuju perubahan yang cukup signifikan. Jika baru-baru ini perubahan yang dialami oleh dayah sangat dirasakan, maka dapat kita prediksi kondisi dan situasinya beberapa tahun kedepan.

Selanjutnya penulis menegaskan bahwa fondasi peradaban dunia adalah dunia spiritual. Hal ini ia peroleh dari berbagai kajian terhadap peradaban dunia seperti, Cina, Amerika, Eropa,dan lain lain. Jika pun ditarik falam konteks kehidupan dayah maka persoalan spirit tidak dapat diabaikan. Jika para Peradaban lain spirit didapatkan di areal pegunungan, maka dalam sejarah reproduksi spirit di Aceh ternyata banyak dihasilkan oleh para penuntut ilmu di dayah. Spirit inilah yang kemudian menjelma menjadi patron atau pola kebudayaan masyarakat di Aceh. Mereka yang menerima spirit ini mampu menjadi penyuluh masyarakat, baik dan kehidupan sosial maupun keagamaan. Spirit ini yang telah menghiasi sejarah kerajaan Islam hingga saat ini, spirit di hasilkan dari dayah ini kerap disebut sebagai euleume endatu. Walaupun spirit itu semakin lama semakin meredup terutama pasca penjajahan, namun bagaimanapun keadaannya pada saat ini, dayah memiliki tugas yang cukup berat dalam merumuskan dan menerjemahkan kembali spirit Aceh yang sudaj tercabut dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Foto-Utama.jpg

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dayah perlu berubah karena dunia sudah berubah?. Sebagaimana kita ketahui bahwa kita saat ini tengah berada di zaman yang dikenal dengan post-modernisme dan post-sekularisme, dimana konsep kehidupan yang dianut adalah globalisme dan kosmopolitanisme. Dalam hal ini penulis sedikitnya memberikan beberapa pilihan bagi dayah di masa yang akan datang, yaitu: pertama, terus bertahan dengan tradisi keilmuan yang telah berjalan selama ratusan tahun Guna memelihara spirit ke-Acehan. Dengan syarat dayah sebagai benteng terakhir yang bertugas memproduksi ulama ulama dan keluar dari dayah jika ada musuh yang mencoba mengganggu keyakinan masyarakat Aceh. Kedua, melakukan adaptasi terhadap perkembangan terkini di dunia. Dampaknya, mereka tidak hanya menjadi produsen pemikiran, tetapi mampu menciptakan rekayasa dan menarik masyarakat dalam cara pandang mereka. Ketiga, melibatkan diri dalam setiap perubahan dengan cara melakukan re-desain kurikulum. Seperti yang diberlakukan di dayah terpadu atau dayah modern. Efeknya, alumni dayah tidak hanya berperan sebagai ulama, tetapi juga dalam dunia birokrasi dan sosial politik. Keempat, membiarkan dayah seperti apa adanya, tanpa perlu mengajak masyarakat disekitarnya untuk memikirkan perubahan global, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pilihan ini mengandaikan bahwa dayah adalah sebuah lembaga otonom di Aceh dan tidak perlu mendapat perhatian dari pihak manapun.

Opsi ini diberikan lantaran telah diidentifikasinya beberapa tantangan melalui respon masyarakat terhadap perkembangan tradisi keilmuan di dunia ini yang ternyata semakin menjauhkan manusia dari Tuhan, juga adanya trend gerakan keagamaan yang akan terus mencari cara untuk mempertahakan tanah suci dan konsep-konsep kesucian yang ada pada sosok manusia yang dianggap sebagai the chosen.

Pada akhirnya Acehnologi ingin menarik pemahaman kita bahwa dayah adalah satu mutiara peradaban di Aceh. Jika tidak dijaga, maka peradaban di Aceh akan hilang kompas peradabannya, bagaimanapun nantinya cara yang akan dipilih untuk tetap mempertahankan keeksistenannya.