"Cara Berpikir Orang Aceh" Review Acehnologi (III : 27)

in #indonesia6 years ago

images (8).jpeg
http://sumberilmupsikologi.blogspot.com/2015/12/berpikir.html?m=1

Assalamu'alaikum, hi everybody. How's life?semoga senantiasa sehat wal 'afiyat.
Seperti biasanya hari ini saya ingin mereview kembali buku Acehnologi volume 3 tentang cara berpikir orang aceh. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa cara berpikir orang Aceh yang biasa dikenal dengan istilah seumike sangat dipengaruhi oleh faktor tingkat spiritual dan pemahaman mereka terhadap konsep alam (kosmologi). Akan tetapi, cara berpikir ini bisa saja berubah seiring dengan perubahan budaya dan sosial dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Dalam bab ini, penulis ingin melihat bagaimana cara berpikir orang Aceh yang tentu saja telah banyak dilakukan kajian terhadapnya oleh para ilmuwan terdahulu. Salah satu bentuk produk pemikiran yang paling otentik adalah hadih maja yang merupakan nasihat para tetua aceh.

Pada bagian permulaan penulis mencoba memaparkan sedikit pendahuluan yang diteruskan dengan mengambil beberapa kata bahasa Aceh yang sering muncul serta melihat bagaimana konteks penggunaanya dalam kehidupan masyarakat. Seperti kata bangai (bodoh) yang lazim digunakan antar individu karena perbedaan status sosial bukan karena mereka tidak memiliki ilmu. Kata bangai lumrah ditemukan di areal pedalaman atau perkampungan. Selain itu, ada pula beberapa contoh kata lain nya seperti: carong (pintar), hayeu (hebat), ceumarot (memaki), teumeunak (menghujat), teumeutak (memenggal), seumeupoh (saling membunuh), reuboh (rebus) dll. Istilah-istilah inilah yang kerap muncul dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Dengan demikian, tampak bahwa konstruksi berpikir masyarakat Aceh mengikut wilayah dan status sosial. Artinya, orang aceh menciptakan wilayah dan status sosial untuk saling berkonflik atau mencari aliansi sebanyak mungkin. Maka tak heran jika untuk mempersatukan masyarakat Aceh, sering digunakan ritual keagamaan dan sosial kebudayaan. Relasi ini kemudian menciptakan kerangka berpikir untuk melihat diri dan orang lain dari perspektif perkauman. Dalam konteks ini, menurut sejarah setiap kampung terdiri dari kaum (kawom) yang diketuai oleh panglima kawom. Setiap kawom itu terdiri dari beberapa keturunan yang saling mengikat antara satu sama lain, sehingga relasi kawom ini menciptakan sebuah kesatuan sosial yang sangat sukar untuk diadu domba. Kawom diibaratkan sebagai sebuah keluarga, aib kampung (kawom)dianggap sama dengan aib keluarga. Sehingga, harus ditutupi. Ini dikenal dengan konsep bek peumale gampong. Selain itu konsep relasi sosial yang kedua adalah apa yang disebut dengan keurija (kerja). Keurija itu sendiri ada dua yaitu keurija udep (pesta perkawinan)dan keurija mate (khanduri orang meninggal. Keunikan dalam tradisi keurija di Aceh adalah pola pikir membantu tanpa pamrih.

images (10).jpeg
https://www.desktopbackground.org/wallpaper/fantastischen-kosmos-wallpapers-hd-hintergrundbilder-619144

Pada bagian berikutnya penulis buku ini memaparkan bagaimana cara orang Aceh menciptakan pola pikir (seumike) kehidupan mereka. Pola seumike ini dibangun atas tiga fondasi dasar yaitu alam, agama, dan jiwa. Maksudnya, setiap pola pikir untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat mulai dari kawom hingga nangroe dimulai dari bagaimana sikap kita terhadap tiga fondasi ini. Disini, konsep yang ditemukan adalah hana roh, dimana bersentuhan dengan spirit (alam);hana get atau hana jroh yang kerab beehubungan dengan relasi sosial dalam masyarakat (jiwa);dan hana jeut atau hanjeut yang merupakan puncak tertinggi dimana kendali kehidupan orang aceh diatur melalui peraturan-peraturan agama. Dari ketiga pola pikir inilah kemudian dihasilkan aturan-aturan berupa adat atau reusam. Jika ketiga aspek kosmos (alam, jiwa, agama)ini sudah selaras, dapat dikatakan kehidupan orang Aceh sudah timang (selaras), dan lurus (sulu). Artinya, masyarakat tersebut telah mencapai Dar al-salam.