Bupati dan Cara-cara Paguyuban

in #indonesia7 years ago (edited)

imagesumber

Pada suatu khanduri di sebuah paguyuban, seorang panitia pelaksana acara berdiri mengambil microfon, dan berteriak lantang, di hadapan seorang bupati yang kembali mencalonkan diri menjadi bupati, di depan khalayak, di depan timses, di depan semua undangan yang sedang menahan lapar, menunggu dipersilahkan menyantap hidangan;

“ini bukan kampanye, ini adalah ajakan untuk memilih kembali Miswar Ibrahim Njong sebagai bupati. Beliau ini putra daerah kita, baik sekali orangnya. Bayangkan dari jaman dulu hingga sekarang tidak ada satupun bupati yang berani menyumbangkan dana sebanyak dia, 1,5 Milyar sodara-sodara, maka lihatlah hasilnya, asrama kita telah berdiri megah!”

“ Sekali lagi, ini bukan kampanye sodara-sodara. Jika kelak terpilih, sodara Miswar akan menyumbangkan dana lagi sebanyak, DUA MILYAR!”

“Oleh karena itu, ajaklah istri, anak, menantu, ipar dan orang kampung kita untuk memilih dia kembali!”

“Perlu dicatat, ini bukan kampanye ya, jadi jangan ada yang mencoba-coba memelintir khauri ini. Secara kelembagaan paguyuban kita harus tetap indenpenden, tidak boleh memihak kepada kandidat manapun, sekalipun ia pernah menyumbang milyaran rupiah!” tegas sang panitia.

Sebagai bupati, demi mendengar amaran itu, tentu saja aku mengulum senyum. Senyum paling awet yang pernah menghiasi wajahku, bahkan ketika sedang menikmati khauri yang khusus dipersiapkan untukku, senyum itu belum juga lekang. Gila sekali memang efeknya, hingga pulang ke rumah dan beranjak tidur pun, senyum itu masih mengabadi. Hingga kemudian;

“bang, bang neubeudeoh. Ka suboh”

“Bagah that beungeoh agoe, beuklam perasaan lon eh bak rumoh dinas dek”

“gadoh meuglumpoe, neubeudeoh aju, sembahyang, lheuh nyan neujak koh eumpeun-eumpeun leumo keudeh”

“Puep chok, glumpoe agoe”

Sort:  

Hahhahhha puep chok..ilong pih tekejet aduen...tiba tiba lumpoe haha

Ha..ha..ha...cabup lumpo

Ha..ha..ha...cabup lumpo