"Dari Teungku Ke Ustad" (Acehnologi III : 32)
Assalamualaikum..
Berhubung ini review terakhir saya pada buku Acehnologi, saya mengucapkan terimakasih kepada teman teman yang sudah membaca postingan saya, dan semoga postingan saya ini dapat bermanfaat bagi teman teman semua .
Nah berlanjut pada review saya pada buku Acehnologi voleme ke III bab ke-32 tentang “ Dari Tengku Ke Ustad”. Nah seperti yang sudah kita ketahui ustad memang sangat berperan penting dalam pembelajaran ilmu agama serta menjadi penjaga ditengah tengah masyarakat. Sehingga seorang ustad itu sangat begitu terpandang dan dihargai dalam masyarakat. Ustad biasanya menjadi guru pengajian di pesantren maupun di dayah, menjadi imam saat sholat berjamaah, bahkan ustad juga berperan sebagai juru dakwah.
Diaceh sendiri ulama berperan cukup aktif, sejak kedatangan islam hingga bergabung menjadi bagian dari republic Indonesia, semua di kerajaan islam ulama lah yang menjadi penasihat khusus bagi sultan atau sultanah, ulama tidak hanya berkegiatan berpusat pada istana kerajaan islam akan tetapi juga dari dayah-dayah diseluaruh penjuru aceh.
panggilan untuk para ulama di Aceh pun beraneka ragam, seperti panggilan Teungku, Abu, Abi, Waled, Abati dan Abun. Dan pada dasarnya itu Teungku Bale dan Ustad itu mempunyai peran yang sama hanya saja setelah modernisasi zaman ini istilah Teungku Bale perlahan mulai berubah menjadi Ustad. Yang dimana keduanya sebenarnya mempunya peranan yang sama untuk mengajarkan pendidikan dan ilmu islam dibalai dayah kepada santri santrinya.
Didalam bab ini bisa kita lihat ada beberapa hal yang penting yaitu, Pertama, kajian ini mengidentifikasikan bahwa diaceh ada dua gelar untuk menunjukkan identitas keagamaan dalam bidang pendidikan islam. Kedua, pada kajian ini tampak bahwa gelar teungku tidak hanya digunakan dalam pendidikan islam, gelar ini juga dipakai oleh anggota GAM yang sama sekali tidak memiliki latar belakang dayah. dan terakhir, ada persoalan yang cukup serius dalam masyarakat aceh, khususnya yang berkaitan dengan kesinambungan sistem pendidikan tradisional, hal ini disebabkan oleh para orangtua yang lebih cenderung mengantarkan anak pada pondok pasantren modern, dan hal inipun turut memprihatinkan karena dapat menurunkan bahkan bisa mengilangkan pengembangan dayah dalam proses pembelajaran ilmu keislaman.