Review Acehnologi (Vol 3 Bab 26 tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh)

in #indonesia6 years ago

Assalammua'laikum Wr...Wb kali ini saya akan me-review kembali buku Acehnologi vol 3 bab 26 tentang Makna Dan Peran Bahasa Aceh.

20180515_145022.jpg

Bahasa Aceh belum menjadi satu subjek mata pelajaran atau mata kuliah yang di ajarkan secara berkelanjutan di sekolah atau perguruan tinggi. Studi mengenai sastra Aceh masih bisa dikatakan tidak begitu banyak di lakukan oleh para peminat studi bahasa. Dan keberadaan bahasa Aceh, semakin hari semakin mengkhawatirkan, selain tidak kerap digunakan sebagai bahasa pengantar, juga sudah sangat sedikit karya yang ditulis dalam bahasa Aceh.
Penggunaan bahasa Aceh di dalam ruang public tidak menjadi hal yang sangat penting. Bahasa ini tidak lagi digunakan dalam kegiatan formal. Sehingga wujud bahasa Aceh lebih menjadi sebagai bahasa rakyat, dari pada bahasa resmi.
Ketika saya duduk di bangku sekolah menengah pertama yaitu SMA Negeri 1 kaway XVI disana siswa dan siswi masih banyak yang menggunakan bahasa Aceh. Bisa dikatakan hampir semua murid berbicara dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Itu semua karena lingkungan tempat saya bersekolah masih dalam kawasan perkampungan (meugampong).
Berbeda jika kita pergi ke kota meulaboh disana banyak terdapat siswa bahkan hampir semua dari mereka berbicara dengan memakai bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia. Sampai saya lanjut ke perguruan tinggi yaitu di Universitas Islam Negeri Ar-raniry banda Aceh, disana bisa dikatakan hampir semua mahasiswa mempergunakan bahasa Indonesia tanpa terkecuali, tidak ada batasan wilayah tempat tinggal atau tidak ada perbedaan baik yang berasal dari desa atau kampung maupun dari kota sekaligus. Kalau pun mereka berbicara dengan bahasa Aceh mungkin cara mereka berbicara jauh telah mengalami perubahan tidak seperti bahasa yang sering digunakan semasa di kampung dulu, yaitu bahasa Aceh kekinian yang bahasanya seperti orang asing yang baru belajar bahasa aceh. Dengan demikian bahasa aceh berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan.
Posisi bahasa dalam satu komunitas sangat penting, sehingga peneliti antropologi sosial, ketika ingin mendalami pikiran suatu masyarakat, cenderung memulai dengan memahami bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Proses pemahaman ini bukan semata untuk memahami pengaruh bahasa dalam kehidupan sosial, akan tetapi juga konsep-konsep dan symbol yang di gunakan oleh masyarakat itu sendiri. Jadi tidak mungkin kita dapat memahami pola piker masyarakat tanpa kita memahami bahasa terlebih dahulu.
Dengan demikian faktor bahasa memainkan peran yang cukup signifikan dalam pembentukan kebudayaan atau bahkan peradaban sekalipun.
Kajian di atas mengambarkan bahwa fondasi kebudayaan dan peradaban adalah bahasa. Maka bisa dibayangkan bagaimana nasib suatu kebudayaan dan peradaban, jika mereka tidak lagi menggunakan bahasa mereka baik secara formal maupun secara informal.
Bahasa Aceh bukanlah bahasa nasional ataupun internasional namun Aceh pernah menjadi pusat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke-17. Walaupun saat itu bahasan yang dipergunakan adalah melayu-pasai, namun keberadaan bahasa Aceh telah menciptakan suatu kebudayaan tersendiri bagi masyarakat Aceh.
Untuk membangkitkan kembali semangat berbahasa dan berbudaya Aceh, maka cara yang perlu dilakukan adalah : pertama, memperkenalkan kembali jati diri ke-Aceh-an pada generasi muda. Kedua, menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa kebudayaan di privinsi ini. Ketiga meyakinkan masayarakat Aceh bahwa bahasa Aceh adalah bahasa endatu (bahasan nek). Keempat, melakukan kajian mengenai bahasa Aceh. Kelima, membuka dialog kebudayaan untuk memperhadapkan kekuatan filosofis bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini.