Safiah dan Seruling Bambu #5
Jam dinding di ruangan tamu sudah menunjuk ke arah jam duabelas pas. Tursahan bergegas ke belakang rumah, supaya tak ada satupun orang yang dapat melihat apa yang akan ia lakukan, sebab belakang rumahnya dipenuhi pohon-pohon bambu yang begitu rapat, saking rapatnya, kucing pun tidak bisa lewat pergi kencing ke sana.
Tanpa ancang-ancang dan mantera-mantera yang jelas. Cukup niat yang kuat saja di dalam hatinya. Ya, Tursahan akan melawan matahari, tepatnya, memandang selama mungkin ke pusat titik matahari di langit sana.
Ia menengadah, memicingkan mata, silau, silau, cahaya begitu penuh di mengarah ke bola matanya, baru beberapa detik, terasa begitu perih bola matanya, ia menyerah. Nyeri bukan main.
Tursahan meringis. Matanya berair. Apakah orantua itu bercanda? Ia mulai lagi. Demi membuat Safiah juga jatuh hati padanya. Ia latihan terus menerus.
Awalnya ia cuma bertahan beberapa detik saja, semakin keras ia coba lagi, akhirnya bisa juga ia tatap titik pusat matahari itu selama beberapa menit, dan akhirnya ia coba lagi dengan tekad yang menggebu-gebu, dan akhirnya…
Malam-malam yang dialami Tursahan jadi begitu terang. Seolah ada lampu raksasa yang tiada padam-padam dalam bola matanya. Baginya kini, hari malah jadi terbalik, siang jadi malam dan malam jadi siang.
Tak butuh waktu begitu lama, kabar Tursahan yang menjadi gila sudah tersiar cepat di seluruh desa. Tursahan pergi berkeliaran pada malam hari, dan tidur pada siang hari.
Orang-orang heran melihat tursahan pergi ke sawah pada malam hari, dalam gelap gulita begitu, bagaimana pula cara ia melihat.
Dan yang paling aneh lagi, kalau biasanya Tursahan main seruling pada malam hari yang sunyi, sekarang ia memainkan seruling bambunya di tengah hingar-bingar suara bocah-bocah yang bermain tali.
Desa jadi gempar. Perbincangan di warung-warung kopi biasanya hanya perihal politik, sabung ayam, togel dan janda cantik, sekarang berkisar dan berubah menjadi pembincangan tentang Tursahan yang aneh bin ajaib itu.
Ibu-ibu tetangga tak kalah tanding membicarakannya juga. Yang mengenal Tursahan tentu saja beranggapan bahwa ia sudah tidak waras lagi. Lalu muncul inisiatif dari kepala Desa, bagaimana kalau Tursahan itu dipasung saja?
Supaya tidak berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Berhubung Tursahan tidak memiliki kerabat dekat yang banyak, usulan kelapa desa diterima begitu saja.
Jadilah Tursahan dipasung di dalam rumahnya sendiri. Kaki-kakinya dirantai.
Awalnya Tursahan menolak, kenapa pula ia harus dipasungkan?
Ia melawan orang-orang yang hendak memegang tangannya, butuh sepuluh pemuda tangguh yang diturunkan untuk menyergap Tursahan.
Akhirnya, lama-lama Tursahan mulai menyadari bahwa ada yang salah dari dirinya, sejak kegiatan melawan matahari tempo hari. Ia seperti tercerabut dari bumi. Ada yang berteriak-teriak di dalam telinganya, “Safiah.. Safiah..” Ia pikir itu pertanda bagus dan beranggapan laku spiritualnya menantang matahari telah berhasil.
Ternyata salah besar. Sekarang ia malah dituduh gila. Mungkin sudah takdir, pikirnya. Ia mulai pasrah. Tanpa perlawanan yang berarti. Tursahan berhasil dipasung.
Bersambung