[Novel Indonesia] Pahlawan Dari Negri Antah-Berantah: Rudolf

in #indonesia7 years ago

Namaku adalah Adela Rose, aku adalah seorang penyihir kerajaan tingkat atas, putri ke tiga dari keluarga Rose. Beberapa pekan yang lalu aku ditugaskan oleh raja Albert untuk melakukan ritual pemanggilan pahlawan, lalu saat ini seseorang yang kupanggil berada di hadapanku.

Tapi semua tak seperti dugaan kami. Ternyata orang yang kami panggil adalah seorang pemuda cacat yang hanya memiliki satu lengan. Ketika proses pemanggilan selesai, ia membuat kami semua panik setengah mati, Karena dari bahu kirinya keluar darah segar seakan baru saja terpotong.

Tak heran, seketika itu raja ikut terkejut dan langsung memerintahkan kami untuk merawatnya. Ia pun memanggilku langsung ke hadapan-Nya lalu menanyaiku apakah ada kesalahan dalam ritual.

Lalu kujawab seharusnya tidak ada masalah, kami bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Ia pun sedikit murka lalu mengusirku dari hadapannya, ia memerintahkanku untuk merawat sang pahlawan dengan baik-baik.

Terpikir dalam benakku, bagaimana bila hilangnya lengan sang pahlawan adalah salahku? Karena kelalaianku dalam memantau pelaksanaan ritual, terjadi kesalahan yang menyebabkan satu tangannya hilang?

Kalau begini, aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapannya. Tapi yang pasti, kami harus segera bersujud memohon maaf di hadapannya ketika ia siuman.

Kemudian sehari setelah ritual, sang pahlawan siuman. Kami pun menanyai identitasnya, namun ternyata ia juga kehilangan ingatannya.

Demi dewa, perasaan takut dan bersalah semakin bertambah dalam benakku.

Seketika itu kupanggil semua penyihir baik pria dan wanita yang terlibat dalam pelaksanaan ritual. Kami semua berdiri berjajar menghadap ke arahnya, lalu bersujud memohon ampun.

"Wahai gusti pahlawan, kami semua datang ingin memohon maaf. Karena kelalaian kami, menyebabkan ritual pemanggilan tidak sempurna, sehingga menyebabkan gusti kehilangan satu lengan. Kami siap menerima hukuman apapun darimu wahai gusti, walau nyawa kami taruhannya."

Wajah kami menempel di lantai, tak sanggup kami mengintip ke atas. Kami tak tahu raut muka seperti apa yang tergambar di wajahnya.

Lalu sang pahlawan pun berbicara.

"Angkatlah kepala kalian, masih banyak hal yang belum kumengerti saat ini. Ada kiranya kehilangan tangan ini, kuyakin kalian pun tak tahu apa penyebabnya. Walaupun tangan ini hilang karena kesalahan kalian, mungkin diriku yang dahulu pun akan memaafkan. Karena aku tahu, kalian sudah dengan susah payah merawat luka ini. Karena itu, angkatlah kepala kalian."

Hati kami luluh mendengar ucapannya. Nada suaranya terdengar lembut, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar bijak. Senyuman di wajahnya begitu tulus dan memesona.

Seketika itu kami mengerti, bahwa dia adalah orang yang baik. Sebuah sosok yang benar-benar pantas untuk disebut sebagai seorang pahlawan.

"Karena masih banyak hal yang tak kumengerti, kuharap kalian bisa membimbingku." Ucapnya sambil menundukkan kepala.

Kami pun menjawab permohonannya dengan penuh ketulusan. Ia pun membalas kami dengan senyuman.


Dua siang dua malam telah berlalu sejak saat itu, kini sang pahlawan sudah mulai pulih. Ia dipanggil oleh raja. Selama dua hari ini aku mengajari sang pahlawan tata krama, mulai dari cara menghadap, cara berbicara, serta cara yang tepat ketika mundur dari hadapan-Nya.

Sebelum ia sampai di ruang singgasana, aku mengingatkan pada sang pahlawan untuk terakhir kalinya. Aku mengatakan padanya untuk bersikap dengan sopan di hadapan raja. Di negeri ini jabatan seorang raja adalah yang paling tertinggi di atas segalanya. Menurut kepercayaan kami seorang raja sudah selayaknya bagaikan utusan dari para dewa. Ucapannya mutlak, dan mendustakannya berarti telah melawan seluruh negeri.

Kemudian sang juru panggil pun berbicara.

"Izinkan saya memanggilkan tamu anda Yang Mulia. Ia adalah orang yang akan menyelamatkan negeri kita, tak memiliki nama dan ingatan, datang dari ritual pemanggilan. Sang Pahlawan dari negeri antah-berantah datanglah menghadap," ucap sang juru panggil.

Sang pahlawan pun mengangguk, ia pun berjalan memasuki ruang singgasana disertai olehku di belakangnya. Kami menggunakan pakaian mewah layaknya seorang bangsawan. Dipilin dari benang-benang sutera, didesain oleh ahli-ahli terbaik di negeri ini, dijahit dengan tangan-tangan yang paling terampil. Dengan jubah menggantung dari bahu kami, sarung tangan berwarna putih, pakaian ketat yang gagah dan menawan, disertai pedang suci milik sang pahlawan di sebelah kiri pinggangnya, lalu dengan sebuah keris di dada kirinya.

Kini rambut putihnya telah disemir menjadi pirang. Ia berjalan dengan gagahnya, pesona ketampanannya dapat memikat hati siapa pun.

Kemudian ia menunduk.

"Hamba datang menghadap," ucapnya.

Aku berada di belakangnya mengikuti gerakannya.

"Selamat datang wahai pahlawan, bagaimana kabarmu?" balas sang raja dari singgasana.

"Atas berkat dari para dewa, tubuhku telah pulih sepenuhnya."

"Aku senang mendengarnya. Kali ini aku hanya ingin melihat wajahmu. Bagaimana dengan ingatanmu?"

"Tentang itu, aku masih belum bisa mengingat apapun."

"Bahkan nama pun?"

"Bahkan nama pun aku tak ingat."

"Baiklah, kalau begitu namamu saat ini adalah Rudolf. Gunakan nama itu sementara hingga engkau mengingat nama aslimu."

"Dengan hormat, hamba menerima nama ini."

Raja pun mengangguk lalu tersenyum.

"Esok hari, aku ingin menyaksikan kemampuanmu. Sudah kusiapkan seorang lawan untukmu, maka dari itu persiapkan dirimu."

"Baik Yang Mulia."

"Bagus, sekarang mundurlah," ucapnya dengan senyuman lagi.

Seketika itu pun kami berdua memberi hormat lalu mundur dengan perlahan, kemudian berbalik menuju pintu keluar.

Pintu ruang singgasana pun ditutup, seketika itu Rudolf sang pahlawan menghela nafas. Kami berbincang selagi berjalan menuju arah ruang perawatan.

"Ternyata cukup sulit juga ya, punggungku sempat gatal tapi aku tidak bisa menggaruknya."

"Hmph ...."

Tak sengaja aku tertawa dengan spontan.

"Ada apa ...?"

"Bukan apa-apa. Ekspresimu memang mudah terbaca ya. Sebenarnya aku juga ingin membantumu saat itu, tapi aku juga tidak bisa melakukan apa-apa ..."

"Benarkah??"

"Ya, dan juga mungkin raja menyadarinya. Itulah mengapa ia dengan segera menyuruhmu mundur."

"Entah kenapa sekarang rasanya aku malu ...."

"Tak apa ini pengalaman pertamamu, wajar-wajar saja. Tapi dari sikapmu, secara keseluruhan sudah terlihat sangat baik dan sopan."

"Ya, tentang itu, aku merasa bahwa aku sudah terbiasa berbicara sopan sejak dulu."

"Mungkinkah ingatanmu sedikit demi sedikit kembali?"

"Entahlah."

Beberapa hari yang kami lewati telah membuat kami cukup akrab. Tak seperti saat pertama kali kami bertemu, yang penuh dengan suasana canggung dan kaku, saat ini kami sudah dapat mengobrol dengan lancar.

"Hei Rudolf, kamu belum pernah pergi ke luar istana kan? Bagaimana kalau nanti setelah pemeriksaan kita pergi ke luar? Aku akan memandumu jalan-jalan."

"Kurasa tidak masalah, aku juga bosan jika tinggal di tempat ini terus."

"Benarkah ...!! Asiiik!!!"

"Tentu, aku mengandalkanmu Adela,"


Aku adalah seorang pahlawan, tapi aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan. Adela mengatakan bahwa aku dipanggil untuk melawan raja iblis yang hendak menguasai dunia. Namun meskipun begitu, aku masih belum mendapatkan gambarannya. Adela bilang bahwa untuk saat ini aku tidak perlu memikirkannya terlebih dahulu, ia akan menjelaskan segalanya ketika aku sudah pulih.

Pemeriksaan telah dilakukan, aku pun keluar dari ruang tabib menuju kamar pribadiku. Di seluruh badan, aku masih mengenakan pakaian yang sama sejak melakukan pertemuan dengan raja. Apakah aku harus menggantinya? Ataukah aku akan keluar dengan pakaian seperti ini saja?

Kurasa Adela akan segera datang ke ruanganku beberapa waktu lagi, aku harus segera bersiap-siap. Bagaimanapun, selama dua hari ini Adela lah yang telah mengajariku banyak hal. Terutama menulis dan membaca, berkat cara mengajarnya yang mudah membuatku dapat segera memahaminya.

Walaupun aku masih belum bisa membaca dengan baik, tapi aku sudah mulai fasih. Yang harus kulakukan hanyalah membaca gulungan setiap harinya. Banyak hal yang bisa kupelajari dari membaca, mulai dari hal-hal yang sederhana hingga hal-hal yang rumit.

Kalau dipikir-pikir, mungkin aku termasuk orang yang beruntung. Karena kebanyakan orang biasanya tidak bisa membaca. Orang-orang yang bisa membaca hanyalah dari yang tergolong masyarakat kelas atas. Terlebih lagi, sumber bacaan sangatlah langka. Untuk satu tulisan hanya tersedia satu kopi. Itulah mengapa gulungan sangatlah bernilai.

Satu tulisan biasanya dibuat dalam beberapa lembar kulit kambing. Kemudian direkatkan pada kayu lalu digulung dan diikat. Gulungan-gulungan itu biasanya disimpan di perpustakaan Akademi, yang berada di sebelah utara dari istana kerajaan.

Selagi aku memilih-milih pakaian, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu.

"Permisi ..."

Kudengar suara Adela dari luar sana. Aku pun bergegas menuju pintu lalu membukanya.

"Halo, mmm .... Rudolf." ucap Adela memberi salam.

Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih yang indah. Dari seluruh sisinya tak terlihat kotoran sedikit pun, benar-benar putih bersih bagaikan salju. Wajahnya memang seperti biasa, namun masih tersisa bekas riasan ketika bertemu dengan raja. Aroma tubuhnya wangi menyerbak memanjakan hidungku.

"Ah, Adela. Silahkan masuk dulu. Aku masih kebingungan memilih pakaian."

"Baiklah,"

Aku bisa melihat ekspresi senang dari wajahnya, aku juga turut senang melihatnya. Aku mengundangnya masuk lalu menyuruhnya duduk di sofa tamu yang berada di tengah ruangan.

"Adela, bisakah kamu memilihkan pakaian untukku? Aku masih belum mengerti mana yang sesuai dengan seleramu."

"Tentu!"

Setelah beberapa waktu, akhirnya Adela memilih satu pakaian. Tak jauh beda dengan pakaian yang kugunakan ketika pertemuan dengan raja, bergaya bangsawan militer. Sepertinya, di negeri ini seorang bangsawan harus menjaga wibawanya ketika di luar istana.

Kemudian kami pergi keluar istana, di antar menggunakan kereta kuda melewati gerbang. Seketika itu, seluruh pemandangannya membuatku takjub.

Baru kali ini aku melihat aktivitas sebenarnya di negeri ini, negeri Gandalfa. Banyak orang berjalan mondar-mandir, berjual-beli, dan anak-anak yang bermain. Di tengah kota tersebut terdapat sebuah menara waktu, untuk mengingatkan para masyarakatnya. Di dalamnya terdapat lonceng yang biasa berbunyi pada pukul 6 pagi, pukul 12 siang, dan pukul 6 sore. Setelah pukul enam sore, tidak ada satu pun anak-anak yang boleh keluar. Mereka harus berada di rumah didampingi oleh orang tua.

Pertama-tama kami pergi ke tempat yang menjual pakaian. Sebenarnya aku tidak ada keinginan khusus, tapi kurasa Adela tetaplah perempuan, sekali-kali ia ingin berbelanja. Kami memilih-milih pakaian, mulai dari gaun berenda, gaun polos, hingga pakaian dengan rok pendek. Pada akhirnya Adela membeli satu gaun polos berwarna biru.

Kemudian kami melanjutkan jalan-jalan. Kali ini kami menghampiri tempat opera. Dilakukan di ruangan terbuka, dengan sebuah panggung berada di tengah-tengah penonton, biasanya ada yang bermain peran setiap pekannya. Untungnya kami berkunjung di waktu yang tepat, saat ini kota sedang mengadakan festival penyambutan pahlawan. Walaupun belum diumumkan siapa identitas dari sang pahlawan, tapi seluruh negeri merayakannya.

Pertunjukan pun berakhir, Adela pergi dari opera dengan mata berkaca-kaca. Bagiku pribadi, tak ada hal yang begitu menakjubkan dengan ceritanya, walaupun tidak buruk namun tidak sampai membuatku ingin menangis. Tapi sepertinya memang ini perbedaan antara pria dan wanita.

Langit sudah mulai menguning, namun udaranya masih sangatlah hangat. Kami pun memutuskan untuk berkunjung ke akademi.

Pada waktu seperti ini biasanya akademi sudah mulai sepi, namun dapat kulihat masih ada orang yang berlalu-lalang. Pertama kami melewati bagian taman, di tempat ini terdapat banyak sekali jenis tanaman. Setiap jenis tanaman diberi label nama di batangnya, agar dikenal oleh siapa pun yang mengunjungi akademi ini.

Desain bangunannya begitu megah dan mewah, dengan dinding-dinding kokoh yang terbuat dari beton membuatnya terlihat megah. Kami pun berjalan melewati lorong, Adela menuntunku ke perpustakaan. Di tempat ini terdapat banyak sekali rak-rak gulungan di setiap sudut. Adapun gulungan-gulungan itu diletakkan secara menumpuk sesuai dengan temanya.

Di sini aku bisa melihat bahwa Adela terlihat sangat gembira, senyumannya lebih menawan dari biasanya. Setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab dengan penuh pesona. Kurasa aku turut merasa senang jika ia juga senang.

Kemudian kami kembali menyusuri lorong yang berbeda. Di tempat ini ada beberapa orang yang sedang belajar di kelas-kelas. Mereka duduk-duduk di kursi mendengarkan ucapan seorang guru.

Aku sempat memerhatikannya sejenak, lalu kami memutuskan untuk pulang.

Di tengah perjalanan menuju gerbang keluar, seorang pria menyapa Adela.

"Hai Adela, lama tak jumpa." Ucap pria itu dengan riang.

"Hai Andreas, apa kabar ...," balas Adela.

"Kudengar sekarang kamu jadi penyihir kerajaan ya, selamat atas promosinya"

"Terima kasih, dan kudengar kamu jadi pengajar di sini ya Andreas?"

"Ya, dan untungnya aku sudah mulai biasa dengan pekerjaan ini"

"Syukurlah kalau begitu,"

"Ngomong-ngomong, siapakah pemuda di sampingmu ini Adela? Mengapa kalian bergandengan tangan?"

"Oh ya, biar kuperkenalkan. Dia adalah Rudolf, tunanganku saat ini ...."

Aku menunduk tersenyum kepadanya.

"Perkenalkan, namaku Rudolf."

====

Jangan lupa follow! :D