2018: Terujung Tahun, Mimpi Hingga Ke Mimpi Lagi
MESKI BANYAK anjuran pergantian tahun baru masehi tak layak dibicarakan, apalagi dirayakan. Apa boleh buat. Toh, kita sudah kadung dikerubung oleh penanggalan almanak yang begini rupa. Sejak lahir kedunia. Mungkin sudah ada sejak lahir kedua orang tua kita. Hari-hari terlewatkan dengan hitungan tanggal ini. Segala sesuatu ditandai berdasarkan tanggal dan nama-nama bulan masehi, hijriah ada tapi tak terlalu resmi. Perihal kenapa cantuman dalam surat menyurat--termasuk pula surat cinta, piutang--ijazah, dan pelbagai berkas resmi tak resmi lainnya, tanggal yang tertera secara lazim hanyalah dalam hitungan masehi belaka.
Jika pun ada yang menerakan penanggalan versi hijriah, paling cuma sekadar pelengkap saja. Begitu pun penentuan hari-hari libur juga mengacu pada jenis penanggalan yang sama. Ini memang merujuk pada apa yang dianut secara nasional oleh pemerintah. Pemerintah pun menganutnya biar seragam dengan masyarakat global. Kita orang jelata hanya bisa manut-manut saja.
Dalam keadaan manut-manut begitulah, hitungan tahun masehi itu akan bertambah satu angka dalam hitungan jam ke depan. 2018 hendak berpindah ke angka 2019. Artinya ini sudah sampai ke penghujung tahun. Sudah benar-benar terujung. Saat-saat seperti inilah kiranya cocok untuk merangkum apa saja yang telah berlaku setahunan ini. Sejak Januari silam hingga sekarang. Bertambah umur adalah niscaya. Besok akan menuju pada penambahan selanjutnya.
Tapi pasal apa saja yang sudah kita perbuat, perkara apa yang tercapai, apa yang belum, atau apa yang tidak terkerjakan sama sekali, tentu perihal yang patut untuk direnung-renungkan kembali. Setidaknya dengan perenungan yang ada, kita bisa mengatur ulang mimpi yang harus bisa tercapai tahun esok. Meski pada kenyataannya banyak di antara kita yang terjerumus pada berbanyak-banyak mimpi saja: tahun depan aku akan begini, aku mesti dapat itu, dan lain sebagainya. Melulu mimpi. Kerja tunggu nanti.
Yang begitu itu sungguh sudah jadi penyakit tahunan bagi banyak orang. Aku salah satu pengidap kronisnya. Sebab setiap di ujung tahun selalu bertekad akan melakukan sesuatu yang berbeda, katakanlah begitu, tapi ketika tahun tersebut hendak berganti, kenyataan yang ada cuma nihil belaka. Kosong. Pun jika berisi, itu tak lebih dari pada isian yang sangat-sangat memalukan untuk ditonjol-tonjolkan sebagai capaian.
Untuk kesadaran yang ada, berkecil hati, menyesali diri, merutuk hingga mengutuk diri, bukanlah perilaku yang bermanfaat. Kecuali hanya akan mendatangkan perasaan mudharat, bikin kita jadi inferior sejak dalam pikiran. Ujung-ujungnya jadi kurang percaya diri. Ujung-ujungnya setan laknat jadi kerap singgah di pikiran, mengiming-imingi nikmat bunuh diri. Ujung-ujungnya kita jadi phobia pada harapan, merasa ngeri pada cita-cita.
Sungguh orang tanpa cita-cita tak ubahnya kecoa. Hidup untuk begitu-begitu saja. Aktivitas bernafas dan makan dan berak sekadar mengisi waktu sebelum mati. Maka ketimbang jadi kecoa lebih baik tetap jadi manusia. Meski sebatas manusia yang cuma bisa mengatur ulang cita-cita atawa mimpi setiap mendapati tahun sudah demikian terujungnya.
Congratulations @bookrak! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
Click here to view your Board
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
To support your work, I also upvoted your post!
Do not miss the last post from @steemitboard: