Senyum Ganjil Radali ben Uma

in #indonesia7 years ago

image

Tujuh tiga puluh pagi, Serda Paijo terjaga dari tidurnya yang tak bisa dikatakan pulas. Sudah empat bulanan ini, sejak ia meninggalkan batalyon infantri di kota Jember dan dikirim untuk memberantas pemberontakan di Aceh, tak satu malampun ia bisa benar-benar tidur. Bayangan kematian selalu mengahantui kepalanya. Dalam pikirannya, seolah ia punya nama telah berada dalam daftar antri di buku catatan malaikat pencabut nyawa.

Perihal tidur ini sebenarnya sudah pernah ia keluhkan pada komandan pos tempat ia bertugas. Terutama setelah peluru yang ia lepaskan dari moncong senjata untuk pertama kalinya menghantam sasaran sebenarnya. Sebelumnya saat dalam medan latihan, para instruktur selalu mendoktrin kepala serdadu muda itu untuk tak ragu melepaskan peluru. Tapi bagaimanapun, mengetahui peluru yang melesat dari bedilmu benar-benar menembus tubuh manusia adalah sesuatu berbeda dengan menembak sasaran di medan latihan.

Serda paijo tahu betul, setiap peluru yang ia lepaskan bisa saja menambah kerja malaikat pencabut nyawa. Ia bahkan sesekali berfikir jika ialah malaikat pencabut nyawa itu sendiri. Dan pengalaman pertama mencabut nyawa manusia adalah sama berkesannya saat pertama kali melepas perjaka.

Namun bagi komandan posnya, pengaduan serupa itu adalah hal yang lumrah ia terima. Terutama dari seorang prajurit muda yang baru pertama kali ditugaskan menuju medan tugas seperti ini. Bagi komandan Trisno, masalah yang dialami Paijo lambat laun akan terkikis seiring bertambahnya pengalaman tempur serdadu bau kencur itu. Komandan Trisno menanggapi aduan sulit tidur Serda Paijo dengan berlagak bijak layaknya seorang bapak. Namun dalam hatinya, ia tertawa geli melihat keluguan Serda Paijo.

Paijo sendiri masuk tentara setelah tamat sekolah menengah di desa. Tak berlama-lama, pemuda berbadan tegap itu langsung lulus tes pada kali pertama ia mencoba. Pilihannya menjadi tentara sebenarnya ialah sebab lahan pertanian milik bapaknya kini telah tiada. Uang hasil penjualan tanah itu kemudian digunakan sebahagian sebagai pemulus ianya masuk tentara.


image

Itu adalah kamis malam saat regu dua yang pulang patroli rutin membawa tangkapan ikan besar. Istilah ikan besar menunjukkan bahwa yang ditangkap adalah seorang petinggi dalam struktur komando Gerakan Aceh Merdeka. Radali ben Uma adalah panglima sagoe yang membawahi para gerilyawan di seantero Ujoeng Keumeunyan. Malam itu ia sedang naas ketika tentara memergokinya berada di rumah saat Radali pulang untuk memberi nafkah segumpal daging di selangkangannya. Ia diciduk serdadu Republik ketika sedang berada di atas perut istrinya. Radali dalam keaadaan telanjang di angkut ke Pos tentara dekat jembatan Alue Keumeunyan tanpa sempat melawan.

Saat itu, hujan rintik-rintik sedang turun menghujam bumi. Radali ben Uma masuk kerumah lewat pintu belakang yang memang sengaja tak pernah di kunci. Hal itu dilakukan istrinya atas perintah Radali agar jika sekali waktu ia pulang, maka Radali dapat leluasa masuk kerumah tanpa harus mengetuk-ngetuk pintu.

Radali tak sadar bahwa sejak senja meremang jingga telah ada belasan tentara yang mengendap di semak-semak belakang rumahnya. Para tentara itu mengatur posisi membentuk huruf U dan dengan sabar menunggu kepulangan Radali. Hal itu mereka ketahui dari seorang informan yang mengatakan bahwa panglima sagoe itu kerap pulang saban malam jum'at untuk menggauli ia punya istri.

Tiba di Pos Alue Keumeunyan, Radali langsung diseret masuk kedalam sebuah sel yang ada dibelakang Pos. Ruangan yang disebut sel itu sendiri sebenarnya adalah bekas kamar mandi yang pintunya telah diganti dengan jeruji besi. Di dalam sel tersebut Radali di kurung sebelum akhirnya siap untuk di interogasi.


image

Serda Paijo saat itu tengah membersihkan senjatanya saat komandan Trisno memanggilnya keruang interogasi. Seketika itu juga Paijo datang memenuhi panggilan komandannya tersebut. Tiba diruang interogasi, Paijo melihat Radali ben Uma duduk terikat pada sebuah kursi besi dan tampak sudah tidak berdaya. Darah segar mengucur dari tiap lubang yang ada di wajahnya. Bahkan di sudut kanan bibirnya yang bengkak, terdapat sebuah luka menganga dengan darah yang telah membeku.

Menyaksikan pemandangan serupa itu, Serda Paijo merasa sedikit kasihan. Naluri manusianya mengatakan bahwa kondisi Radali mutlak membutuhkan pertolongan medis atau malaikat maut akan dengan senang hati memisahkan nyawa dari raga lelaki malang yang benar-benar telanjang itu. Tapi Radali tak terlihat takut barang sedikitpun. Matanya tajam menatap muka sekalian serdadu yang ada di sana satu persatu. Dan meski bibirnya telah membengkak dan matanya kelihatan sulit untuk terbelalak, ia kelihatan tersenyum. Sebuah senyum yang ganjil menurut mata serdadu muda macam serda Paijo.

Komandan Trisno lantas menyerahkan sepucuk senjata jenis FN ke tangan Paijo. Komandan celaka itu meminta Paijo menghabisi nyawa Radali malang. Trisno mengatakan bahwa segala kekacauan yang terjadi di seantero Ujoeng Keumeunyan adalah ulah Radali dan gerombolannya. Akibat ulah mereka pula, Paijo harus ditugaskan kesini untuk kemudian tersiksa sepanjang malam selama berbulan-bulan. Radali dan gerombolannya adalah penyebab tak nyenyaknya tidur Paijo belakangan ini. Jika mereka tak berontak, maka saat ini Paijo pasti sedang berada di baraknya yang nyaman, di markas batalyon infantri nun jauh di seberang pulau sana.

Serda Paijo dengan dingin menempelkan ujung senjata di kepala Radali. Beberapa detik berlalu ia belum juga menarik picu. Di pandangnya lekat-lekat mata Radali malang itu. Ini adalah kali kedua aku menjadi malaikat pencabut nyawa, begitu pikirnya.

Radali ben Uma yang malang jelas sadar, ini adalah detik-detik terakhir ia hidup. Sebentar lagi nyawanya akan segera berpisah dari raga. Ia menatap tajam ke arah serda Paijo. Segurat senyum kembali tersungging di bibirnya yang nyaris lumat. Kali ini lebih lebar dan tentunya lebih ganjil dari sebelumnya.

Sort:  

Terima kasih telah berpartisipasi!

Siap.... Sama2 bg