Tafsir Puitik Sejarah Bung Karno (Bagian Pertama)
Belum banyak pembicaraan tentang puisi sejarah, atau puisi yang berisi sejarah, tak sebanyak pembicaraan tentang novel sejarah. Padahal, puisi tentang sejarah sangat banyak, bertebar di beragai media dan buku. Banyak penyair ternama yang banyak, setidaknya sesekali, mengangkat sejarah pada puisi-puisi mereka. Sebutlah Taufiq Ismail yang mencatat peristiwa pergeseran kekuasaan tahun 1965. Chairil Anwar juga cukup banyak menulis puisi bernuansa sejarah, seperti “Diponegoro”, “Perjanjian dengan Bung Karno”, dan “Krawang-Bekasi”. Penyair Leon Agusta, Gunawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, pernah menulis puisi sejarah atau puisi bernuansa sejarah. Belakangan, Rida K. Liamsi banyak menulis puisi tentang sejarah Melayu.
Seperti halnya novel sejarah, puisi sejarah adalah “upaya menafsir ulang sejarah dan menuliskannya dalam bentuk puisi”. Puisi sejarah adalah “tafsir puitik” terhadap sejarah. Penyair, dalam menulis puisi sejarah, mencoba menafsir ulang bagian tententu atau episod sejarah sejarah tertentu sesuai dengan pemahamannya tentang sejarah tersebut. Tentu, agar tidak salah tafsir, tidak salah menggambarkan suasana sejarah yang dipilih, sang penyair perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang sejarah tersebut. Akan tetapi, karena puisi sejarah bukanlah sejarah dalam pengertian ilmiah, bukan ilmu sejarah, maka tidak perlu menuliskannya sedetil teks sejarah. Dalam puisi, sejarah ditafsir ulang atau diberi tafsir baru, direnungkan, diintisarikan, diimajinasikan, diberi metafor baru yang segar, dan ditulis dengan memanfaatkan prinsip-prinsip puitika secara maksimal.
***
Bung Karno adalah tokoh besar, proklamator kemerdekaan, salah satu aktor utama sejarah Indonesia, yang perannya dapat dilacak sejak masa pra-kemerdekaan hingga masa akhir kekuasaannya. Ada sisi suram tentang Bung Karno, tapi lebih banyak sisi terangnya yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi ide-ide baru kebangsaan, bagi proses rekonstruksi dan perubahan sosial kea rah yang lebih baik, dan tentu bermanfaat bagi proses pencerahan bangsa.
Ada satu episod sejarah Bung Karno, atau masa hidup penting Bung Karno, yang dijalaninya di Bengkulu dalam masa hukuman pengasingannya antara tahun 1938 sampai 1942. Istri Bung Karno, Fatmawati, juga dikenal dan dinikahinya di Bengkulu. Karena itu, sejarah hidup Bung Karno tak dapat lepas dari Bengkulu, dan Bengkulu tak dapat menghapus episode sejarah Bung Karno selama menjalani hukuman penegasingan di kota ini. Ada sisi-sisi romantik perjalanan hidup Bung Karno yang dijalaninya di Bengkulu, juga sisi-sisi patriotik dan intelektual, dengan buku-buku, sepeda tua, dan kisah cintanya dengan Fatmawati.
Karena latar belakang sejarah yang menarik itu, antara lain, Panitia Festival Sastra Bengkulu (FSB) 2018, memilih episode sejarah hidup Bung Karno di Bengkulu sebagai tema utama atau sumber inspirasi bagi penulisan puisi para penyair peserta FSB 2018. Tema itu pula yang menjadi kriteria utama Tim Kurator dalam memilih puisi-puisi untuk buku antologi puisi yang disiapkan untuk FSB 2018. Tentu, juga pertimbangan aspek literasi dan kulturalnya, karena Bung Karno adalah seorang tokoh bangsa yang sangat literet, sangat gemar membaca buku, dan juga seorang tokoh yang sangat mencintai karya seni. Mungkin belum ada presiden Indonesia yang koleksi lukisannya sebanyak Bung Karno.
Karena itu, tema tentang perjalanan hidup Bung Karno dan berbagai romantikanya selama tinggal di Bengkulu, menjadi pertimbangan utama Tim Kurator untuk meloloskan puisi peserta, kemudian baru mempertimbangkan kualitas estetiknya. Artinya, kalau ada puisi yang bagus, tapi jika persoalan yang diangkat sama sekali tidak berkaitan sengan episode hidup Bung Karno di Bengkulu, maka akan sulit diloloskan. Sebaliknya, jika ada puisi tentang Bung Karno, tapi kualitas estetiknya buruk, juga tidak akan diloloskan. @ Ahmadun Yosi Herfanda
<br /><center><hr/><em>Posted from my blog with <a href='https://wordpress.org/plugins/steempress/'>SteemPress</a> : http://www.sembahyangrumputan.com/2018/07/23/tafsir-puitik-sejarah-bung-karno-bagian-pertama/ </em><hr/></center>